CAHAYA DI BALIK BAYANG

Lewi Satriani
Chapter #2

Bab 2: Melewati Sakratul Maut

Suara mesin medis yang berdetak monoton adalah hal pertama yang menyambut Adrian ketika dia membuka mata. Cahaya putih dari lampu di langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipitkan mata saat mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Di sekitarnya, dinding putih rumah sakit terasa dingin dan asing, jauh dari kehangatan dan kenyamanan rumah yang biasa dia rasakan.

Seluruh tubuhnya terasa berat, dan ketika mencoba bergerak, rasa sakit di sisi tubuhnya membuatnya tersadar sepenuhnya tentang apa yang telah terjadi.

Adrian berbaring di atas ranjang rumah sakit, dengan lengan terinfus dan perban melilit hampir seluruh bagian tubuhnya, mulai dari leher bawah hingga pinggang. Luka di tubuhnya masih terasa perih, meski rasa sakit itu tertutupi oleh obat penghilang rasa sakit yang mengalir melalui infus, dan itu membuatnya mengerenyit beberapa kali. Dia mencoba bergerak, tapi rasa sakit yang tajam menyusup ke seluruh tubuhnya, memaksanya untuk tetap diam.

"Ah...," gumamnya pelan, merasa berat untuk bahkan sekadar mengeluarkan suara. Lagi-lagi diliriknya lengan kirinya yang terinfus, dan pandangannya menyapu ruangan rumah sakit yang sepi.

Di samping tempat tidur, sebuah meja kecil dipenuhi dengan bunga-bunga segar dan kartu ucapan dari teman-teman dan kolega yang mengirimkan doa dan harapan kesembuhan. Adrian memejamkan matanya sejenak, merasa campuran rasa syukur dan kesepian yang mendalam. Bersyukur karena bisa lolos dari maut, sekaligus kesepian karena tidak ada seorang pun yang menemaninya ketika dia membuka matanya untuk yang pertama kali.

Adrian memandang ke arah jendela, di mana langit biru di luar terasa kontras dengan suasana hatinya yang kelabu. Sambil menatap keluar, pikirannya kembali ke saat-saat sebelum penembakan, ketika hidupnya masih terasa normal dan tanpa beban. Dia berusaha mengingat bagaimana dia bisa sampai di sini, dan kenangan itu datang menyerbu.

Momen itu seperti mimpi buruk yang berulang kali menghantui pikirannya. Detik-detik sebelum peluru menembus tubuhnya terus berputar dalam benaknya, seolah-olah dunia tidak bisa bergerak maju dari saat itu. Dia teringat bagaimana dia menikmati sore itu, tanpa menyadari ancaman yang mengintai. Sore yang tenang di taman, kemudian suara tembakan, rasa sakit yang luar biasa saat peluru menembus tubuhnya, dan akhirnya, kegelapan. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Sekarang, kesadarannya telah dibentuk ulang oleh kekerasan yang begitu tiba-tiba dan tak terduga, dan rasa takut yang baru mulai muncul, menggantikan ketenangan yang dulu dia miliki.

Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia sadar bahwa dia harus terus maju, tetapi bagaimana caranya? Rasa sakit fisik ini hanyalah sebagian kecil dari rasa sakit yang menghantam batinnya. Dia merasa seperti hidupnya telah diambil darinya—tidak hanya karena nyaris mati, tetapi karena dia tidak lagi bisa melihat dunia dengan cara yang sama.

Yang juga menyebalkan hatinya adalah kenyataan bahwa dia tidak tahu seperti apa wajah penembaknya dan alasan kenapa dia ditembak, sesuatu yang makin menggoreskan luka dalam perasaannya, membuatnya ibarat seekor tikus masuk dalam perangkap yang tidak tahu kenapa dirinya bisa berada dalam situasi demikian dan diliputi kecemasan hebat karena tahu dirinya akan mati sewaktu-waktu.

Apapun itu, yang jelas dia butuh sesuatu untuk melenyapkan dahaga yang mendadak menyerang kerongkongannya. Adrian berusaha menggerakkan tangan setelah menyadari jari-jemarinya sudah bisa dirasakan dan digerakannya. Tujuannya adalah air minum yang ada di meja di samping tempat tidurnya, yang entah bagaimana bisa ada di situ. Mungkin memang sesuatu yang disiapkan seandainya pasien siuman dari pingsan atau komanya, dan Adrian sungguh membutuhkannya.

Lihat selengkapnya