CAHAYA DI BALIK BAYANG

Lewi Satriani
Chapter #4

Bab 4 : Perhatian di Tengah Kesepian

Adrian sering duduk sendirian, menatap keluar jendela, berpikir tentang apa yang salah dalam hidupnya. Dia merasa kosong, seolah-olah semua yang pernah ia perjuangkan tak lagi berarti. Pekerjaannya sebagai jurnalis, yang dulu jadi sumber kebanggaannya, kini terasa seperti beban. Dia tidak lagi merasa ada gunanya untuk terus berjuang jika itu hanya akan menghancurkan hidupnya dan hubungan dengan gadis yang ia cintai.

Hari-harinya di rumah sakit kemarin terasa bagaikan mimpi buruk yang tak berkesudahan. Meskipun tubuhnya perlahan mulai pulih, rasa sakit di hatinya semakin parah. Dia merasa dikhianati oleh satu-satunya orang yang selalu dia andalkan. Kehidupan yang pernah dia kenal kini terasa seperti reruntuhan, dan di atasnya, hanya ada puing-puing dari mimpi yang hancur.

Pandangan Adrian kembali beralih ke layar laptop yang masih putih bersih. Yang tertulis disana hanya namanya namun taka da judul ataupun sepenggal kalimat yang terpikirkan olehnya sejak membuka laptop empat jam lalu. Hari itu dia mencoba kembali menulis, berharap itu bisa menjadi pelarian dari pikirannya yang gelap, tetapi kata-kata yang biasanya mengalir dengan mudah kini terasa terhenti.

Selalu begini tiap kali dia mencoba menulis selama seminggu ini, ingatan tentang penembakan itu kembali menghantuinya, menghentikan semua kreativitasnya. Dia merasa seperti bayangan pria yang menembaknya selalu mengawasi dari sudut pandangnya, mengingatkannya bahwa hidupnya tidak lagi aman.

Bahkan ada perbedaan yang besar terjadi kepadanya, Adrian merasa dirinya lebih paranoid bila mendengar suara asing yang muncul di sekeliling apartemennya. Suatu waktu bahkan dia nyaris meloncat naik ke atas meja mendengar suara ceklik pintu apartemen penghuni di sebelahnya.

“HAAAHHH…” Adrian menjerit pelan ketika mendengar pintu apartemennya diketok. Kali ini ketokan itu benar-benar ada di depan sana.

“Brengsek!” dia memaki dalam hati, lalu menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh karena ketakutan yang tidak beralasan.

Begitu membuka pintu Adrian mendapati Mulyadi berdiri di depan pintu apartemennya. Mulyadi terperangah mendapati Adrian yang lusuh dan acak-acakan, kelihatannya bahkan Adrian sudah lupa mandi berhari-hari. Ucapan pertama yang terlontar dari bibirnya, “Kenapa elu kelihatan lebih baik di rumah sakit?”

“Masuklah…” ujar Adrian seraya membiarkan pintu tetap terbuka.

“Gue yakin elu pasti belum makan,” Mulyadi menyodorkan bungkusan plastik berisi kardus pizza di tangannya.

“Jauh-jauh dari kantor kemari cuma mau bawain ini?”

“Gue nggak kepingin anak buah terbaik gue mati kurang gizi.”

“Gue selamat dari penembakan, dan gue yakin gue pasti selamat dari kelaparan.”

“Untung ada gue kan yang menyelamatkan elu.”

Lihat selengkapnya