Adrian menatap kardus di atas mejanya, proses interogasi yang berjalan hampir tiga jam di kantor polisi tadi sungguh melelahkannya, mereka kembali menanyakan hal yang kurang lebih sama dengan yang ditanyakan kepada Mulyadi demi melengkap Berkas Acara Pelaporan, BAP, yang sudah disusun berdasarkan aduan Mulyadi.
Jawabannya kurang lebih hampir sama dengan yang sudah diketahui polisi karena Adrian juga tidak melihat dengan jelas wajah penyerangnya sehingga tidak ada hal baru selain daripada polisi mendengar penyerangannya itu dari sudut pandang korban. Jadi karena dirinya tidak tahu banyak dia menganggap interogasi polisi tadi hanya buang-buang waktu.
Namun interogasi tadi mungkin belum apa-apa dibandingkan kardus yang ada di atas mejanya itu. Tidak ada yang lebih melelahkan daripada melihat kardus dengan isinya yang berantakan dimana di dalamnya terdapat benda-benda yang Adrian tahu akan menyakitinya karena berhubungan dengan kejadian penembakan dirinya.
Mulyadi sudah menanyakan apakah Adrian yakin dengan hal ini. Adrian membalas dengan anggukan mantap dan mengutip kata-kata Sofia, “Soalnya gue diminta menulis essay tentang apa yang terjadi pada saat itu. Menulis selengkapnya dengan mengingat tiap rinciannya. Katanya menuliskan kembali trauma yang terjadi bisa menyembuhkan.”
Bossnya hanya mengangkat bahu, “Gue sudah selesai menulis berita elu dan diunggah ke portal. So, sebenarnya gue sudah nggak perlu bahan-bahan ini lagi. Terserah saja mau elu apakan ini semua…”
Adrian membuka laptop dan mulai menulis daftar materi yang dikeluarkannya satu persatu dari dalam kardus tersebut. Dia menemukan video rekaman CCTV, dua berkas file tebal laporan polisi, hasil penelusuran jejak digital yang mungkin ditinggalkan oleh pelaku, kamera yang dibawanya ke taman saat kejadian. Ternyata Mulyadi juga telah mencetak beberapa gambar yang tersimpan dalam memori kamera dan kebanyakan diantaranya menunjukkan sejumlah foto pada detik-detik sebelum penembakan.
Dari foto-foto tersebut Adrian mendapati jarak dirinya dengan sang penembak tidak terlalu dekat sehingga jangankan mengenali wajah si pelaku, untuk melihat apakah sosoknya gemuk atau kurus juga tidak terlalu jelas. Apalagi si pelaku saat itu mengenakan jaket berlapis yang membuatnya tampak lebih ‘besar’ dari seharusnya. Sebaliknya, Mulyadi sepertinya yakin bahwa orang yang ditangkap polisi itu memang pelakunya sehingga seolah ‘memaksa’ dirinya untuk mengatakan iya kepada pihak berwenang.
Adrian mulai mengetik di laptop, menuliskan kembali apa yang dilakukannya di taman, bagaimana dia sampai ke taman, dan apa yang ditemuinya di tempat itu dan beberapa menit kemudian dia sudah tenggelam dalam kenangan…ide yang terlintas di kepalanya makin banyak sehingga tanpa sadar Adrian menarik sebatang rokok, menyalakannya, menghisapnya tiga kali sebelum kemudian melanjutkan mengetik…
TOK TOK TOK
Dia tak mendengar ketokan di pintu karena sibuk dengan pemikirannya sampai ketokan tersebut berubah menjadi gedoran. Lelaki itu menengok ke pintu dan memastikan bahwa suara ketokan itu memang berasal dari pintunya. Mendecak kesal ketika gedoran itu terdengar lagi.
“Ya…ya…sebentar…” Adrian bangkit dari kursi lalu berjalan menghampiri pintu dengan menggerutu. “Mengganggu aja…”
Diintipnya keadaan di luar dari lubang pintu dan tak mendapati siapapun di sana. Hanya ada lubang hitam menempel. Tunggu… lubang hitam? Baru saja menyadari keanehan itu terdegar suara ledakan dan sesuatu meluncur cepat menembus mata Adrian. Lelaki itu terdorong oleh hembusan kuat benda yang datang dari balik pintu dan desingan yang kuat memekikan telinganya seketika. Adrian kehilangan tenaganya seiring dengan darah membanjur keluar dari belakang kepalanya yang berlubang sebelum roboh pingsan ke belakang…