Adrian melangkah perlahan menuju Taman Kota, tempat di mana hidupnya hampir saja berakhir. Langit sore yang cerah kini memudar menjadi jingga, dan bayang-bayang panjang pepohonan menambah kesan melankolis di taman itu. Jalan setapak yang pernah dilaluinya terasa begitu familiar, meskipun kini perasaannya jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sana.
Langkah-langkah Adrian membawa dirinya ke bangku taman tempat dia pernah duduk sebelum penembakan terjadi. Bangku itu kini kosong, hanya dihiasi oleh daun-daun yang jatuh berguguran. Di sekelilingnya, suara burung-burung yang pulang ke sarang dan desiran angin menambah suasana yang damai, hampir membuatnya lupa bahwa tempat ini pernah menjadi saksi kejadian yang sangat kelam.
Adrian duduk di bangku itu, mencoba mengingat kembali setiap detail dari hari yang mengubah hidupnya. Bayangan pelaku yang samar-samar di ingatannya terus menghantui. Namun, ada sesuatu yang terasa kabur, sesuatu yang belum bisa dia pahami sepenuhnya.
Dilayangkannya pandangan berkeliling, sesemakan di sebelah barat sana waktu itu menjadi tempat beberapa anak bermain petak umpet, kolam kecil dengan air mancur di sampingnya juga diingatnya menjadi spot terbaik bagi dua pasang muda-mudi berfoto-foto, sementara patung aneh yang menurut masyarakat sekitar disebut ‘gajah’ karena bentuknya yang bulat dengan belalai di kepala waktu itu juga jadi tempat bersandar petugas kebersihan taman usai membuang sampah dedaunan ke tong sampah di sampingnya.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, Adrian melihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk di bangku tak jauh dari situ, melukis pemandangan taman. Pria itu tampak tenang, dengan kanvas kecil di hadapannya dan cat air yang berwarna-warni menghiasi kertas. Adrian langsung ingat—pria itulah yang menolongnya pada hari penembakan itu. Tanpa berpikir panjang, Adrian berdiri dan berjalan mendekati pelukis itu.
“Permisi,” sapa Adrian dengan suara lembut. Pria itu menoleh, tampak sedikit terkejut, tetapi kemudian senyumnya muncul ketika mengenali Adrian.
“Oh, si masnya. Syukurlah mas selamat,” jawab pelukis itu dengan ramah. “Berapa lama dirawat di rumah sakit?”
“Yang saya tahu dari cerita perawat, saya koma sampai tiga hari. Setelah itu masih pemulihan di rumah sakit sekitar semingguan.”
“Lumayan juga,” komentar sang pelukis. “Bagaimana keadaan mas sekarang? Kelihatannya sudah pulih benar.”
“Saya baik-baik saja, terima kasih. Justru saya datang ke sini mau mengucapkan terima kasih ke bapak. Bapak sudah menyelamatkan hidup saya saat itu,” Adrian berkata dengan tulus.
Pelukis itu tersenyum lebih lebar, namun ada sorot mata yang menunjukkan rasa rendah hati. “Ah, saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Siapa pun akan melakukan hal yang sama.”
“Oh, ya pak. Nama saya Adrian Dompu,” Adrian mengacungkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“Saya Wahyu Cokro…” si pelukis setengah baya itu membalas jabatan tangan Adrian. “Masnya kerja dimana?”
“Saya jurnalis di Jurnal Kota,” jawab Adrian.