Ketika Adrian membaca lebih banyak surat, dia merasakan dadanya semakin sesak. Ada perasaan bersalah yang mulai merayapi pikirannya, menyadari betapa sedikit yang dia ketahui tentang Clara, wanita yang pernah begitu dekat dengannya. Dia selalu berpikir bahwa dia mengenal Clara, bahwa dia memahami segala sesuatu tentangnya, tetapi kenyataannya, dia hanya melihat permukaan dari seorang wanita yang sangat kompleks.
Clara mencoba melarikan diri dari masa lalu itu, tetapi bayang-bayangnya selalu mengejarnya, tidak peduli seberapa jauh dia pergi.
"Aku berusaha keras untuk menjadi kuat, untuk melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Tapi ternyata, semakin aku mencoba melupakan, semakin dalam luka itu mengakar dalam diriku, apalagi karena bunda tidak pernah sembuh dari luka itu. Kami memang hidup lebih tenang sepeninggal ayah setelah dia tewas tertembak dalam dinasnya di Timor-Timur, namun itu tidak mengurangi kenyataan bahwa keluarga kami sudah pecah. Masing-masing jiwa kami juga pecah…aku merasa diriku terpecah-pecah, dan setiap kali aku mencoba untuk menyatukannya, bagian lain dari diriku malah hancur."
Bukan hanya Clara saja yang menjadi pikiran Adrian, dia bahkan sempat memikirkan soal ibu Clara. Wajahnya yang lembut dan penuh kasih itu tidak pernah menunjukkan bahwa dia pernah mengalami siksaan sadis macam ini dalam perkawinannya, bahkan Adrian berpikir sepertinya tidak ada yang sesuatu pun dari wanita tua itu yang membuatnya pantas menerima perlakuan jahat dari lelaki mana pun.
Selama mengenal wanita itu, Adrian bahkan tidak pernah mendapatkan ucapan menyindir, mengkritik, atau nada keras darinya. Bayangkan saja, dibangunkan begitu rupa olehnya di jam dua pagi saja wanita itu tidak marah sedikitpun, malah melayaninya dengan memberi kopi dan mengajaknya ngobrol, sehingga Adrian tidak mengerti bagaimana suaminya bisa bertindak begitu gila terhadapnya.
Sungguh wanita malang! Adrian senang kalau akhirnya suaminya itu tewas di medan perang. Pria brengsek itu layak mendapatkannya…
Adrian kembali kepada surat-surat Clara, dia sampai di salah satu surat terakhir, dan itu adalah yang paling menyakitkan. Di surat itu, Clara berbicara tentang perasaannya terhadap Adrian, bagaimana dia mencintainya, bagaimana dia bahagia jadi kekasihnya, bagaimana dia begitu bangga pada Adrian yang begitu keras mencapai cita-citanya dan gigih mempertahankan idealismenya.
Walaupun tampak bahagia, namun di beberapa bagian surat tersebut juga menyiratkan kekuatiran Clara tentang dirinya yang tidak pernah bisa jadi bagian dalam kehidupan Adrian, tidak pernah diberi ruang oleh lelaki itu untuk menyatukan visi mereka, dan hal-hal yang sudah didengarnya dari Ibu Clara sewaktu dia mengunjungi rumahnya terakhir kali. Dan rupanya itu sesuatu yang juga dilihatnya dari sang ayah kepada ibunya…ada kemiripan yang baru disadarinya beberapa tahun setelah menjalani asmara dengan Adrian.