Asap mengepul dari mulut usai Adrian menyalakan rokoknya…
Dia menyukai momen ini, dimana seluruh karyawan tengah sibuk bekerja sehingga ruang merokok ini begitu sepi. Di saat nikotin mulai bekerja memberikan ketenangan dalam sel-sel saraf di seluruh tubuhnya, Adrian mulai dapat berpikir jernih dan satu pertanyaan terlontar, “Kenapa dia begitu kesal mendapat tugas meliput berita Paus Fransiskus? Padahal dia bergairah sekali ketika harus mewawancarai politisi busuk atau bandar narkoba….”
Pikiran Adrian terlempar ke masa lalu, ke saat-saat ketika dia mulai meninggalkan ibadah di gereja. Itu semua berawal dari masalah di kampus, di mana dia mulai mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini dia percayai. Agama, Tuhan, surga dan neraka—semuanya mulai tampak seperti takhayul belaka.
Adrian ingat bagaimana dia merasa dikhianati oleh sesuatu yang seharusnya memberikan ketenangan. Ketika segala sesuatu di kampus menjadi begitu kacau padahal dia membutuhkan pegangan. Dia justru merasa bahwa keyakinannya hanya memberi janji tanpa bukti. Itu adalah titik baliknya. Dari sanalah, dia memutuskan untuk menjadi agnostik, menolak segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan fakta.
“Mungkin itu sebabnya aku terus dikejar bayangan masa lalu,” bisik Adrian. “Aku mencoba hidup berdasarkan fakta, tapi perasaan bersalah itu, ketakutan itu, masih ada di sana. Masih tersembunyi, menunggu untuk menyerang.”
Adrian sebenarnya tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Sejak kecil, dia diajarkan untuk berdoa sebelum makan, pergi ke tempat ibadah setiap minggu, dan menghafal ayat-ayat suci. Lingkungan di sekitarnya juga mendukung keyakinan ini; teman-teman, guru-guru, bahkan tetangga semua memegang teguh ajaran agama mereka. Adrian tidak pernah meragukan apa yang diajarkan padanya. Itu adalah kebenaran mutlak—atau setidaknya, begitulah yang dia pikirkan.
Namun, semuanya mulai berubah ketika Adrian masuk ke perguruan tinggi. Di sana, dia bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda, memiliki kepercayaan yang beragam, bahkan beberapa tidak percaya pada agama sama sekali. Pertemuan ini menjadi pengalaman yang membuka mata baginya. Diskusi panjang di kafetaria kampus, seminar-seminar tentang filsafat, dan pertemuan dengan dosen yang memicu pemikiran kritis mulai menggoyahkan keyakinan Adrian yang selama ini tak tergoyahkan.
Suatu hari, setelah mengikuti sebuah diskusi tentang asal-usul alam semesta, Adrian merasakan sesuatu yang aneh. Diskusi tersebut, yang membahas tentang Big Bang dan teori evolusi, memunculkan pertanyaan yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya: seperti,
“Apa benar dunia diciptakan dalam tujuh hari?”, karena itu terdengar terlalu sederhana, membangun sebuah negara menjadi adidaya seperti Amerika saja butuh waktu ratusan tahun, sementara Indonesia butuh waktu lebih dari enam dasawarsa hingga Jokowi sampai meminta perpanjangan waktu memerintah hingga tiga periode untuk menyelesaikan pembangunan ibu kota negara baru, jadi tujuh hari terdengar konyol…