Karena tak ada lagi yang dikerjakan hari itu setelah berita terakhir yang jadi tugasnya sudah di email ke Mulyadi, Adrian memutuskan meninggalkan kantor lebih cepat dan pergi ke Deli. Dia sampai di Deli Café jam setengah enam sore, duduk di meja pojok kanan, dan memesan kopi lebih dulu sembari menunggu Sofia selesai dari kerjaannya.
Kopi yang dipesannya datang lima menit kemudian, diletakkan dengan diiringi senyuman oleh pelayan cantik yang mengantarnya, mungkin berharap Adrian akan memberi kesan baik sebagai rekomendasi dari mulut ke mulut tentang café tempatnya bekerja. Tidak perlu perlakuan khusus sebenarnya, cukup dengan secangkir kopi yang enak lelaki itu senang untuk bisa datang kembali kemari.
Adrian langsung tenggelam dalam wangi kopi yang dihantarkan oleh uapnya yang masih mengepul. Uap itu melayangkan lamunan Adrian dalam pikirannya yang dipenuhi berbagai hal. Dia mulai merenungkan bagaimana kebencian dan dendam telah membentuk hidupnya. Sebagai seorang jurnalis, dia sering menggunakan kemarahan dan rasa tidak adil sebagai bahan bakar untuk mengejar kebenaran. Namun, setelah kejadian dengan Rizky dan setelah mengetahui rahasia Clara, dia mulai mempertanyakan apakah kebencian dan dendam benar-benar sepadan dengan biaya emosional yang harus dia bayar.
"Apakah kebencian ini benar-benar memberiku kekuatan, atau hanya membuatku semakin lemah?" pikir Adrian.
Dia merenungkan bagaimana kebencian telah menggerogoti hubungan dengan Clara, bagaimana hal itu mungkin telah membuatnya buta terhadap rasa sakit yang dialami oleh orang yang dia cintai. Adrian juga merenungkan bagaimana dendam Rizky terhadap dirinya hampir mengakhiri hidupnya, dan bagaimana kebencian yang sama sekarang menggerogoti dirinya dari dalam.
Pemikiran soal itu terus berkecamuk di pikirannya, apalagi setelah membaca kisah Paus Yohanes Paulus II yang sepertinya memburunya dengan rasa bersalah bila kemarahan ini terus terpelihara. Adrian tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup seperti ini. Kebencian dan dendam hanya akan membawa lebih banyak kehancuran, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Dia tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk melepaskan semua perasaan negatif ini, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya.
"Aku harus menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalu, dengan Clara, dan dengan diriku sendiri," pikir Adrian, meskipun dia tahu bahwa itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Hari itu, perasaan Adrian campur aduk. Ia selalu merasa bahwa pengampunan adalah hal yang sulit, terutama ketika seseorang telah melukai dirinya begitu dalam. Namun, jika Paus bisa melakukannya, mengapa itu sulit dia lakukan? Apa yang membuat dirinya berbeda? Pikiran-pikiran ini terus berputar di kepalanya hingga waktu berlalu tanpa ia sadari…
“Kamu sudah sampai?” terdengar Sofia menegur, sekaligus membuyarkan lamunan Adrian. “Cepat sekali.”
“Oh, hai Sofia. Yeah, kebetulan kerjaanku bisa selesai cepat.”
“Jadi bagaimana ketemu dengan Paus hari ini?” gadis itu bertanya seraya duduk di kursi di hadapan Adrian.
“Dia oke,” Adrian. “Banyak hal yang bisa dipelajari darinya. Sepertinya berita yang kutulis tentang pesan-pesannya di Katedral dan dampaknya bagi Indonesia sudah naik di portal Jurnal Kota.”
“Sudah sempat membacanya sedikit waktu jalan kesini,” komentar Sofia. “Aku iri karena kamu bisa melihatnya langsung. Nggak hanya di GBK nanti.”
“Sayangnya, KWI tidak membuat sessi interviu dengan Paus atau ada acara khusus, semacam meet and greet dengan media contohnya. Komunikasinya hanya satu arah saja.”
“Dia kan bukan artis. Kalau ada pun sepertinya kalian yang bakal kebingungan,” Sofia tertawa. “Paus kan bicara dalam bahasa Italia.”