CAHAYA DI BALIK BAYANG

Lewi Satriani
Chapter #29

Bab 29 : 5 September 2024

Seperti yang telah diperkirakan, ratusan ribu orang memadati area di sekitar Gelora Bung Karno sejak pagi. Ratusan mobil dan bis yang digunakan para umat untuk menjangkau stadion tersebut bahkan berbaris rapih di lapangan parkir di dalam stadion, di jalan protokol seperti Sudirman, Asia Afrika, sampai Gelora, bahkan tempat parkir gedung-gedung kantor di sekitar GBK juga menjadi sasaran untuk dihuni.

Adrian sudah menyelesaikan dan mengirim laporan tentang kunjungan Sri Paus di Masjid Istiqlal ke email kantor sehingga dia bisa sedikit bernafas lega sore ini, apalagi Mulyadi sudah memberi ijin mengikuti misa apabila Adrian memang menginginkannya.

“Tumben, biasanya gue disuruh rodi.”

“Supaya elu cepat pulih dan dapat pencerahan buat balik ke agama,” sahut Mulyadi dengan cengiran lebar.

“Bagaimana mau konsen misa kalau elu ngasih juga kartu tanda pers buat masuk ke pintu khusus GBK,” Adrian berkata kesal sambil melambai-lambaikan ID Card yang ditaruh Mulyadi di atas mejanya. “Ini tetap nyuruh kerja namanya.”

“Kan bisa sekalian. Sambil menyelam minum air,” ujar Mulyadi terkekeh. “Yang penting jangan lupa laporannya nanti malam.”

Adrian merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya ketika dia melangkah masuk ke dalam Gelora Bung Karno. Stadion yang biasanya dipenuhi oleh sorak-sorai penonton olahraga kini dipenuhi oleh puluhan ribu jemaat yang datang dari berbagai penjuru untuk menghadiri misa yang dipimpin Paus. Matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat mewarnai langit dengan semburat oranye, memberikan suasana yang sakral dan menenangkan.

Di tengah hiruk-pikuk persiapan jurnalistik sepanjang pagi ini, Adrian merasa ada yang berbeda kali ini. Biasanya, dia begitu fokus pada pekerjaannya—mencari sudut pandang terbaik, menyusun pertanyaan, dan memastikan semua detail liputannya sempurna. Namun, hari ini, ada sesuatu yang lain yang menyita pikirannya. Kisah Paus Yohanes Paulus II dan Mehmet Ali Ağca terus berputar di kepalanya.

Dia memang tidak lagi dihantui mimpi buruk ditembak oleh lelaki berwajah tak dikenal yang kemudian diketahuinya sebagai Rizky setelah berhasil menangkap lelakit itu, tapi kini ada semacam perasaan yang terus berkecamuk antara membarakan dendam kemarahan atau harus mengampuni orang itu. Ketidakpastian itu sungguh menguras energi dan konsentrasinya dari mengerjakan tugas sepenuh hati.

Ribuan umat Katolik telah diijinkan masuk ke dalam Gelora Bung Karno sejak pukul satu siang, mereka memadati setiap sudut stadion dengan harapan, doa, dan antusiasme. Antusiasme mereka terutama tampak dari seragam warna-warni yang juga menghiasi stadion dengan suasana cerah, seragam warna-warni itu rupanya sebagai penanda asal paroki dan provinsi. 

Mereka begitu militan karena sepanjang berada di dalam stadion sampai selesai Misa, panitia sama sekali melarang siapa pun yang sudah masuk ke stadion untuk makan atau minum, itu berarti mereka harus menahan lapar dari siang hingga kemungkinannya malam nanti. Sesuatu yang enggan dilakukan Adrian, oleh karenanya dia memilih datang agak sore dan makan terlebih dahulu, lagipula dia sudah mendapat kabar dari sesame wartawan bahwa Paus baru akan datang jam setengah lima. Jadi buat apa datang lebih awal?

Sofia termasuk rombongan yang sudah duduk manis di dalam stadion. Entah jam berapa gadis itu masuk ke dalam stadion namun Sofia mendapat tempat duduk di zona tengah, zona yang berhadap-hadapan dengan panggung mimbar utama, dan dia sudah mengamankan tempat duduk bagi Adrian bilamana lelaki itu jadi datang. Dan gadis itu begitu sumringah karena Adrian menepati janjinya.

Lihat selengkapnya