Kembali ke Jakarta dengan hati yang lebih lapang…Adrian yakin keputusannya datang ke Medan sesuatu yang tepat. Waktu itu Adrian meninggalkan rumah sakit itu dengan hati yang lebih ringan, menyadari bahwa terkadang perpisahan yang baik bisa menjadi awal dari penyembuhan yang sesungguhnya. Clara, di sisi lain, merasa bahwa luka-luka dari masa lalunya mulai sembuh, dan dia bisa melangkah maju dengan kehidupan yang baru.
Walaupun hari-harinya kosong tanpa kehadiran Clara namun itu sudah menjadi suatu yang ‘biasa’ pada beberapa hari belakangan, dan itu membuat Adrian tidak terlalu kehilangan. Dia bisa jauh lebih berkonsentrasi pada pekerjaannya. Yang menyenangkan adalah mimpi buruk yang kerap menghantuinya kini berhenti…
Yang membuat Adrian sedih justru pemberitahuan dari Klinik milik Sofia bahwa Kamis depan merupakan sessi terakhir. Setelahnya Adrian sudah terbebas dari kewajiban untuk berkunjung karena dari hasil penilaian secara akumulasi dinyatakan traumatis Adrian sudah berangsur pulih. Dan di sessi terakhir Adrian akan mendapat pernyataan resmi di atas kertas, secara ‘hitam-putih’, agar Adrian dapat kembali aktif bekerja dengan kondisi mental yang sehat.
Adrian memasuki ruang terapi dengan perasaan campur aduk. Keterkejutannya makin menjadi ketika mendapati bahwa yang menyambutnya bukan Sofia melainkan seorang terapis muda yang belum pernah dia temui sebelumnya. Ruangan itu terasa berbeda, seolah kehilangan kehangatan yang biasa dia rasakan ketika Sofia ada di sana.
"Selamat siang, Pak Adrian. Saya Maya, salah satu rekan kerja Dr. Sofia. Hari ini dia tidak bisa hadir karena ada urusan kerja di tempat lain, jadi saya akan menggantikannya untuk sesi ini. Semoga tidak keberatan?"
Adrian tertegun sejenak, "Oh... tentu saja, tidak masalah. Tapi, apakah Dr. Sofia baik-baik saja?"
Maya tersenyum ramah, "Ya, dia baik-baik saja, hanya ada urusan yang mendesak. Kita bisa mulai, Pak Adrian? Saya sudah diberi catatan oleh Dr. Sofia tentang perkembangan Anda."
Adrian mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada keraguan dan kegelisahan. Sesi terapi berlangsung dengan lancar, Maya menjalankan tugasnya dengan profesional, namun Adrian merasa ada sesuatu yang hilang. Tanpa kehadiran Sofia, sesi itu terasa lebih dingin dan mekanis.
Seperti yang diberitahukan melalui notifikasi text di ponselnya, Maya kemudian memberikan semacam kertas sertifikat berupa penilaian perkembangan Adrian yang menyatakan hasilnya sangat memuaskan. Sayangnya, bukan Sofia yang memberikan itu sehingga Adrian merasa sesuatu yang diharapkannya sebagai puncak kebahagiaan di akhir sessi ini raib seketika. Momen ini terlalui dengan…datar…
Usai sesi konsultasi dan sekeluarnya dari tempat kerja Sofia, Adrian mencoba menghubungi gadis itu. Tadinya dia berencana mengajak Sofia untuk makan siang sama-sama untuk merayakan hari terakhir ini. Dengan ketidakhadiran Sofia tentu rencana itu buyar sudah. Hadiah yang sudah dia siapkan di mobilnya sebagai kejutan juga masih teronggok dengan manis di bangku belakang kendaraannya. Adrian menelepon beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Setiap panggilan berakhir dengan nada sibuk atau masuk ke pesan suara. Dia mulai merasa cemas, ini bukan Sofia yang biasa dia kenal…atau apakah ini memang Sofia yang sebenarnya?
Pikirannya terbelah antara meyakini bahwa Sofia merupakan professional yang melakukan segala teknik, termasuk berpura-pura menaruh cinta padanya dan membina hubungan yang lebih intim, sekedar untuk menyembuhkannya atau bertanya-tanya apakah Sofia marah atau kecewa karena Adrian pergi ke Medan, menemui Clara yang masih terhitung sebagai pacarnya, tanpa memberitahunya.
Sementara itu, pikirannya kembali ke perjalanan ke Medan. Pertemuannya dengan Clara memang membawa penutupan, tapi bisa jadi itu juga akan menimbulkan jarak baru antara dirinya dan Sofia. Apakah Sofia merasa dikhianati karena dia mendatangi mantannya tanpa bicara terlebih dahulu? Atau jangan-jangan sang psikolog saat ini sedang dilanda kecemburuan yang amat sangat karena menyangka Adrian mungkin kembali ke pelukan Clara, yang membuat Sofia enggan bicara meski dia menelponnya berkali-kali.
Adrian mengirim pesan terakhirnya jam tiga sore setelah puluhan telepon dan pesan yang dikirimnya sebelumnya tak berbalas. “Are you Ok? Apa lagi marah sama aku?”