Adrian duduk di dalam mobil yang meluncur tenang di jalan yang mengarah ke lokasi dimana gedung reuni SMA-nya akan dilaksanakan. Dengan jendela yang terbuka dia menyetir dengan kecepatan sedang disertai rokok terselip di tangan. Lelaki itu merasa sedikit gelisah, sudah 10 tahun dia tidak bertemu dengan teman-teman lamanya, dan dia memang tidak terlalu suka pertemuan-pertemuan macam ini, yang baginya hanya buang-buang waktu karena semua orang di tempat itu sepertinya sibuk membual tentang keberhasilan mereka setelah 10 tahun lulus dari sekolah.
Bukan hanya pada situasinya, Adrian juga tidak menyukai dress code yang disematkan pada undangan, yang bertuliskan Smart Casual. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud jenis pakaian Smart Casual, sehingga dia akhirnya memilih batik lengan pendek dan celana jeans…karena baginya tampilan itu yang membuatnya santai dan tampak pintar, atau Smart.
Sayangnya, dia jelas tidak bisa menolak hadir karena ajakan itu datang dari Mulyadi, atasannya, dan dia sudah memberi begitu banyak bantuan kepadanya…termasuk yang terakhir pada karirnya dimana Adrian menerima Surat Pengangkatan dari Direksi, yang menjadikannya sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Kota.
Dia ingat ucapan Mulyadi di Warung Sop Kambing Pak Sugeng sebelum berpisah, seakan menekankan bahwa dia memang harus datang ke reuni ini, "Tenang saja, Adrian. Ini cuma reuni. Mereka semua masih teman-teman lama kita, hanya saja sekarang mereka lebih tua dan... yah, mungkin sedikit lebih mapan."
Adrian cuma tersenyum kecil, "Ya, gue tahu. Hanya saja, gue merasa banyak hal yang berubah. Dan gue tidak punya perubahan apa-apa yang berarti untuk diceritakan."
Setiba di tempat acara, Adrian disambut oleh pemandangan yang ramai. Aula besar yang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan di langit-langit. Meja-meja bundar tersebar di seluruh ruangan, dihiasi dengan bunga segar dan lilin yang memberikan suasana hangat. Di sudut ruangan, ada meja prasmanan dengan berbagai hidangan lezat dan minuman yang mengundang.
Begitu melihat Adrian, Mulyadi berjalan menghampirinya dengan tangan terentang, malam itu dia bukanlah atasannya di Jurnal Kota melainkan bertindak sebagai panitia sekaligus tuan rumah yang bagik bagi tamu-tamu undangan acara reuni, “Malam Adrian. Senang elu akhirnya bisa datang.”
“Tentu,” sahut Adrian pendek sambil membalas pelukan Mulyadi.
“Oh, by the way…selamat untuk jabatan barunya,” Mulyadi terkekeh. “Gue sudah yakin dari awal kalau mereka pasti menyukai elu.”
“Berkat bocoran dari elu. Makasih juga buat rekomendasinya,” Adrian menanggapi.
“Lupakan dulu kerjaan. Kita nikmati acara malam ini, oke?”
“Siap…”
Keduanya masuk ke dalam ruangan, dan Adrian menyapukan pandangan berkeliling ruangan kepada tamu-tamu undangan yang sudah berkumpul. Beberapa dari mereka masih dikenalinya, beberapa diingat dengan samar, ada juga yang terlupakan, dan sebagian kecil malah baru disadarinya kalau mereka pernah ada dan satu sekolah dengannya.
Awalnya pertemuan ini cukup menarik karena Adrian bisa kembali membina jejaring pertemanan dengan mereka namun lambat lan Adrian mendapati dirinya dikelilingi oleh percakapan tentang karir, jabatan, keluarga, dan pencapaian hidup, seperti yang sudah dia duga sebelumnya.
Teman-teman lamanya sibuk memamerkan keberhasilan mereka masing-masing. Suasana yang awalnya hangat, kini terasa membosankan bagi Adrian. Semua orang seakan berlomba untuk menunjukkan siapa yang paling sukses. Beberapa dari mereka ada yang menanyakan tentang dirinya dan keadaannya seperti Sinyo Lembong, anak kutu buku yang sekarang menjabat sebagai Fund Manager di sebuah perusahaan sekuritas, "Adrian! Jadi, kerjaan kamu sekarang wartawan ya? Pasti seru dong bisa keliling dunia!"
Adrian, "Nggak juga. Kerjaan gue lebih banyak di dalam negeri. Tapi lebih banyak kerja kerasnya daripada serunya."
Sinyo, "Saya dengar kamu hampir kena tembak ya, waktu itu? Wah, kalau saya pasti sudah berhenti kerja!"
Percakapan itu sepertinya hanya sekedar basa-basi, dan sama seperti orang-orang lain Sinyo kemudian sibuk bercerita soal dirinya dan keberhasilannya mendapatkan puluhan milyar dari bisnis tradingnya yang tidak dimengerti oleh Adrian. Percakapan dengan orang berikutnya juga berlanjut dengan topik-topik yang sama, membuat Adrian merasa terasing. Dia mulai merasa reuni ini tidak lebih dari sekadar ajang pamer kesuksesan. Namun, saat dia hampir kehilangan harapan untuk menikmati malam itu, matanya tertumbuk pada seorang wanita yang berdiri sendirian di sudut ruangan.
Wanita itu adalah Sofia…
Sofia terlihat berbeda dari biasanya. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dihias dengan sedikit ikal yang jatuh dengan anggun di bahunya. Dia mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, yang pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya berseri-seri dengan senyum yang selalu menenangkan Adrian selama sesi terapi mereka, tetapi malam ini ada sesuatu yang lebih—sebuah kilau yang membuatnya terlihat begitu memukau.
Adrian terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Sofia, psikolog yang selama ini membantunya, ternyata adalah teman SMA-nya. Bagaimana dia bisa tidak menyadarinya selama ini?