Adrian berdiri di depan pintu ruko yang kini resmi menjadi tempat baru bagi "Rumah Baca Harapan." Bangunan itu sederhana, namun kokoh, dan dipenuhi dengan harapan bagi masa depan anak-anak difabel yang belajar di sini. Mata Adrian menyapu kerumunan yang berkumpul di tenda yang ada di depan ruko; anak-anak yang menjadi pelajar di rumah baca ini, anak-anak difabel yang jadi undangan, termasuk para wartawan, beberapa tokoh masyarakat, dan tentunya Dirga, yang menjadi penanggung jawab tempat itu, yang berdiri di dekatnya dengan senyum penuh syukur. Di sisi lain, Sofia, tunangannya, menatap Adrian dengan mata yang penuh dukungan.
“Hai, akhirnya datang juga…” Dirga menyalami Adrian.
“Sori telat. Ada rapat redaksi dulu yang nggak bisa ditinggalin.”
“Nggak apa-apa. Kita juga belum mulai, kok. Acaranya lima belas menit lagi,” sahut Dirga. “Mau minum dulu?”
“Nggak usah, makasih! Gila, sudah lama juga ya kita nggak ketemu? Lima tahun?”
“Yeah, beginilah akhirnya sejauh ini…” kata Dirga melambaikan tangan ke sekeliling ruangan. “Berkat bantuan dari Jurnal Kota selama lima tahun ini.”
“Syukurlah. Aku juga sudah melaporkan hal ini ke Direksi dan mereka titip salam untuk kamu,” kata Adrian.
“Apa kita mulai saja acaranya? Semua petugas sudah hadir,” Dirga bertanya.
“Silakan saja. Aku mengikuti acara tuan rumah,” jawab Adrian.
Dia berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah Sofia setelah memberinya kecupan di pipi, “Hai, sudah lama?”
“Belum kok,” jawab Sofia. “Kamu lapar?”
“Habis ini saja kita makan,” kata Adrian. “Kasihan mereka harus lama menungguku.”
“Selamat datang, semuanya,” Dirga yang sudah berdiri di podium memulai acara dengan suara tenang namun tegas. “Hari ini, kita berkumpul untuk merayakan sesuatu yang lebih dari sekadar peresmian sebuah bangunan. Kita merayakan harapan, semangat, dan kebangkitan. Hari ini adalah tentang memberikan kesempatan kepada mereka yang sering kali dilupakan, dan saya merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari ini.”