Sore selepas ashar seperti yang sudah dijanjikan Pak Lik Kadi, Adit seolah ga sabar untuk menunggu momen itu. Ya, sore ini dia akan diantar Pak Lik Kadi untuk ziarah ke eyang putrinya dan sekaligus ke peninggalan keraton Jipang yang masih tersisa.
Di siapkan tas pinggang dan di cek pula barang barangnya.
“Hape full, tripod siap, notes dan pulpen redi.” Gumam Adit. "Yok ah gaskeeennn!" Pekik Adit tanpa disadari sambil berjalan keluar kamarnya.
Diapun duduk di bale bale depan rumah sambil menunggu Pak Lik Kadi menjemputnya
Ga lama kemudian...
Tin tin tin!
Bel motor matic Pak Lik Kadi sudah meraung kencang. Demi melihat Pak Lik Kadi sudah menjemputnya wajah Adit pun diliputi senyum merekah dan bergegas membonceng.
“Setiap hari pulang dari sawah sore gini om?” Tanya Adit
“Ya Ndak juga le, kalau menjelang panen ya sampek sore. Jaga sawah dari burung burung enprit." Kata Pak Lik Kadi
“Enprit?” Adit mengulang kata yang diucapkan Pak Linknya itu.
Pak Lik Kadi tertawa lepas “Iya sejenis burung gereja itu lho.” Terangnya baru tersadar kalau keponakannya itu ga paham jenis burung versi bahasa Jawa.
Motor Pak Lik Kadi melaju terus, perjalanan hanya sebentar ga memakan waktu lima menit dari rumah. Tiba juga Pak Lik Kadi dan Adit di lokasi pemakaman umum.
Mata Adit mengernyit,
“Ternyata peninggalan Keraton Jipang ini satu lokasi dengan pemakaman umum desa.” Ujar Adit lirih.
Matanya berkeliling menyapu lokasi, di gapura tertulis besar MAKAM GEDONG AGENG JIPANG. Tulisan itu mungkin biasa namun bagi Adit itu seolah tulisan yang menegaskan sebuah aura kewibawaan.