Aisyah duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga, menatap catatan yang berisi jadwal harian. Hari-harinya di pesantren terasa jauh berbeda dari sekolah umum yang pernah dia jalani.
“Dari mulai bangun subuh, lalu ngaji, terus ke kelas, dan belum lagi ekstrakurikuler...,” gumamnya, sambil menggaruk kepala. “Rasanya otakku hampir meledak!”
Saat itu, Puput mendekatinya dengan senyuman. “Hey, Aisyah! Kenapa kelihatan bingung gitu?”
“Jadwalnya padat banget, Put. Aku harus ngaji, ikut pelajaran, lalu ada ekstrakurikuler. Kadang aku merasa kesulitan buat ngikutin semuanya,” keluh Aisyah, mengusap wajahnya dengan frustrasi.
“Coba kamu buat jadwal belajar yang lebih rapi. Misalnya, sesuaikan waktu belajar dengan waktu istirahatmu. Yang penting, jangan lupa untuk memberi waktu untuk dirimu sendiri juga,” Puput menyarankan.
“Gimana ngatur waktu istirahat? Orang jam tidur aja udah diatur kok, ada jadwalnya sendiri-sendiri,” Aisyah memegang keningnya.
“Justru itu adalah tantangannya, coba dulu deh, bikin time manajemen! Pasti ketagihan!,” Puput menyarankan sekaligus meyakinkan.
“Ya sih, itu sih ide bagus. Tapi kadang, waktu istirahat pun terasa kurang,” Aisyah mengeluh lagi. “Kamu tahu kan, rasanya semua orang di sini cepat sekali belajar?”