Hari itu adalah hari yang dinanti-nantikan oleh semua anggota Kudaireng. Suasana di aula pesantren terasa penuh semangat. Di panggung, banner bertuliskan "Pemilihan Ketua Kudaireng" tergantung dengan ceria, sementara di depan kursi, para santri sudah berkumpul, tak sabar menantikan acara dimulai. Aisyah duduk di antara teman-temannya, matanya berbinar penuh harapan.
“Aku deg-degan, ya!” Firzania mengaku kepada Aisyah yang duduk di sebelahnya, wajahnya tampak sedikit gelisah.
“Tenang, Zania. Ini hanya pemilihan ketua, bukan ujian akhir!” Aisyah tertawa sambil merapikan buku catatan di pangkuannya. “Dan ingat, kamu masih punya posisi penting di OSIS!”
“Ya, tapi aku ingin bisa berkontribusi di Kudaireng juga. Rasanya aneh tidak bisa mencalonkan diri,” Firzania menjawab, sedikit kecewa. “Aku sudah mempersiapkan banyak ide.”
Aisyah menatap sahabatnya itu. “Kamu sudah berbuat banyak untuk organisasi kita. Aku yakin, siapapun yang terpilih akan melanjutkan semangatmu. Dan ingat, ada banyak cara untuk berkontribusi.”
Setelah pembukaan yang hangat oleh Ustadzah Mafika, yang menjadi pembawa acara, memberikan kesempatan bagi para calon ketua untuk menyampaikan visi dan misi mereka. “Silakan, bagi yang ingin maju, kami persilakan,” ujarnya.
Ifa, Firzania dan Aisyah maju ke depan, diikuti sorak-sorai antusias dari para santriwati yang memenuhi ruangan aula hari itu.
Urutan pertama adalah Ifa. Sebagai calon ketua Kudaireng urutan nomor 1.
“Baik Ifa, silahkan berikan pidato sebagai calon ketua Kudaireng nomor urut1” Ucap Ustadzah Mafika.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Selamat pagi, teman-teman, santri Kudaireng yang saya cintai.”
“Nama saya Ifa, dan saya berdiri di sini sebagai calon ketua Kudaireng nomor 1.”
“Hari ini, saya ingin berbagi visi saya. Saya percaya bahwa organisasi kita harus menjadi tempat untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi."
“Jika saya terpilih, saya berkomitmen untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bagi kita semua untuk belajar bersama.”
“Terima kasih atas perhatian kalian. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Prok Prok Prok…
Ifa… Ifa.. Satu… Satu…
Sorak pendukung Ifa. Ifa memberikan pidato yang singkat namun cukup baik.
“Baik, harap tenang, sekarang, silahkan Calon Ketua Kudaireng Nomor urut 2, Aisyah, silahkan memberikan pidatonya.” Ustadzah Mafika tersenyum mempersilahkan.
Aisyah mengeluarkan napas dalam-dalam sebelum berbicara.
Aisyah mencoba mengatur suaranya agar terdengar cukup percaya diri, meskipun hatinya berdebar.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Selamat pagi, teman-teman santri Kudaireng yang saya hormati dan saya sayangi.”
“Nama saya Aisyah, dan saya dengan penuh rasa hormat maju sebagai calon ketua Kudaireng nomor 2.”
“Hari ini, saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan sebuah kalimat “"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Al-Quran 13:11). Kutipan ini mengajarkan bahwa perubahan positif dalam masyarakat dimulai dengan perubahan dalam diri kita sendiri. Sebagai bagian dari Kudaireng, kita memiliki tanggung jawab untuk membawa perubahan positif, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk komunitas dan masyarakat di luar pesantren.”
“Visi saya sebagai ketua adalah menciptakan Kudaireng sebagai wadah kreativitas dan kolaborasi. Kita akan menyelenggarakan program pelatihan dakwah dan kegiatan sosial yang lebih terencana, termasuk pengabdian masyarakat, sehingga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang kita pelajari di pesantren.”
“Saya juga ingin memastikan setiap suara di Kudaireng didengar, termasuk ide-ide dari anggota baru. Dengan keterlibatan aktif, kita akan membuat setiap program lebih berkualitas dan relevan dengan kebutuhan kita.”
“Bersama-sama, kita bisa menjadikan Kudaireng lebih dari sekadar organisasi; kita bisa menjadikannya sebagai rumah kedua yang mendukung kita dalam belajar dan berkontribusi. Mari kita tumbuh bersama, berbagi ilmu, dan berinovasi untuk masa depan yang lebih baik.”
“Terima kasih banyak atas perhatian kalian. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Wuuhhh…
Prok Prok Prok…
Kali ini sorakan dan tepuk tangan untuk Aisyah mengalun lebih keras dan lebih banyak daripada untuk pidato Ifa tadi. Memecah kerumunan. Momen itu memberi Aisyah semangat lebih.
Aisyah, Aisyah, Aisyah,
Yakin, Pilih Nomor Dua…
Wuuhhh…
Prok Prok Prok…
Teriak para pendukung Aisyah.
“Oke… Setelah calon nomor 1 dan 2 maju menyampaikan pidatornya, kini saatnya Firzania memberikan pidatonya selaku calon ketua Kudaireng nomor urut 3,” Ustadzah Mafika menegaskan.
Firzania akhirnya tampil. Aisyah tersenyum bangga meilhat sahabatnya ikut berkontestasi bersamanya dalam dinamika organisasi pesantren ini. Tidak ada rasa iri hati ataupun dengki ingin bersaing diantara ketiga calon ketua Kudaireng ini. Semuanya tulus dan murni.
Dengan napas dalam-dalam, Firzania melangkah satu langkah ke depan dan memulai pidatonya.
“Assalamu’alaikum, teman-teman. Saya Firzania,” ucapnya, suaranya agak bergetar. “Meskipun saya ingin sekali mencalonkan diri sebagai ketua Kudaireng, saya harus mengundurkan diri.”
“Loh, Firzania? Kenapa?” Aisyah spontan bertanya kepada sahabat yang sedang berdiri tepat disamping bahu kirinya.