CAHAYA DI TANAH TEBU

RIRIN ERATAURINA
Chapter #2

Gempa Bumi dan Korban Santriwati



“Bagai sapu lidi, jika hanya satu sapu lidi saja yang digunakan untuk menyapu, maka sapu lidi berjumlah satu itu pun akan sangat mudah untuk patah, namun jika sapu lidi dengan jumlah yang banyak diikat menjadi satu, lalu digunakan untuk menyapu, maka sapu lidi itu akan tidak mudah patah,” begitulah pidato Aisyah setelah dirinya dilantik menjadi ketua Kudaireng.

Semua berawal dari musyawarah mufakat yang dilaksanakan hari itu, bersama seluruh calon pengurus Kudaireng, sepakat untuk memilih BPH (Badan Pengurus Harian) yang terdiri dari bendahara, sekretaris, wakil ketua, ketuanya dan perangkatnya.

“Lalu kita sepakati ya wakil ketuanya adalah Aisyah!” Santriwati asal Banyuwangi yang bersekolah di MA. Salafiyah Syafi’iyah bernama Zania telah menetapkan Aisyah sebagai ketua.

Aisyah tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi Ketua Kudaireng. Ini seperti mustahil, karena selama mondok disini, Aisyah tidak pernah menjadi ketua bahkan berkecimpung di organisasi manapun kecuali Orda CPISA (Organisasi Daerah yang menjadi kumpulan wajib santri dari tiap asal daerah).

Aisyah memang pernah menjadi ketua OSIS, tapi itu di SMP dulu, belum mondok. Lah ini? Di pondok? Aisyah harus bisa membagi waktu untuk belajar kitab, belajar pelajaran umum, belajar mengaji, belajar qiroah, belajar berdoa, dan belajar berorganisasi.

OK FIX.

Pertempuran dengan diri sendiri dimulai. Aisyah harus pintar membagi waktu dan membagi diri.

Sedari dulu, Organisasi KUDAIRENG (Kumpulan Da’i Tebuireng) hanya ada di Pondok Putra saja, hal ini dikarenakan hampir semua kegiatan itu dipusatkan di pondok putra, baik untuk kegiatan pengembangan ilmu maupun pengembangan diri. Aisyah sebagai santri putri tidak terima jika KUDAIRENG hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh santri putra, santri putri pun juga memiliki hak yang sama seperti mereka, tidak hanya belajar mengembangkan ilmu saja, melainkan juga mengembangkan dirinya. 

Menjadi founding father atau salah satu perintis KUDAIRENG Putri memang sangat susah. Pasti akan ada pro dan kontra, banyak yang suka dan mungkin akan lebih banyak yang tidak suka. Tapi Aisyah bersama teman-teman lainnya tetap semangat untuk tetap memperjuangkannya. 

“Mendirikan tiang itu susah, apalagi menancapkannya ke tanah. Pasti akan banyak hal yang membuatnya goyah bahkan sampai roboh pun ada,” Ucap Ustadzah Mafika.

“Tapi kalau tiang itu dipegangi banyak orang, lalu ditancapkan bersama-sama dengan kekuatan yang seimbang. Maka tiang itu tidak akan hanya menancap saja. Tapi bisa berdiri dengan gagah dan bahkan nanti akan bisa menjadi sandaran bagi yang lainnya. Menyediakan tempat berteduh juga. Sangat bermanfaat kan?” tambah Ustadzah Mafika. 

Dipertengahan kepengurusan, ada kejadian yang menggelegar. Menggegerkan banyak pihak, tidak hanya ustadzah di pondok putri saja, tapi ustad-ustad, pengasuh pondok tebuireng, kepala pondok putri dan pondok putra, pengasuh pondok tebuireng putri, pengurus pondok, petugas keamanan pondok, petugas satlantas polres jombang, petugas penyelamatan jombang, petugas kodam dan polri jombang, semua di gegerkan gara-gara Kudaireng Putri.

“Baru saja organisasi ini berdiri, sudah membuat masalah.” Gerutu beberapa orang.

Dan Aisyah sebagai ketua. Pastilah kena. Pastilah yang paling bersalah.

Tapi, masalah apa itu?

~~~Ririn Erataurina~~~~~~Ririn Erataurina~~~~~~Ririn Erataurina~~~

Semua sudah berkumpul di depan Masjid Ulul Albab, baik anggota maupun pengurus Kudaireng yang berasal dari unit Mts. SMP, MA maupun SMA. Semua berfoto bersama dengan menggunakan kamera DSLR. Kamera itu baru dibeli dua hari yang lalu. Aisyah bahagia meskipun taFirzaniannya hampir habis demi kamera itu. Sengaja Aisyah membeli kamera tersebut agar ketika acara pelantika pengurus Kudaireng di Gunung Kelud Kediri nanti dirinya bisa mendokumentasikannya. Entah kenapa, Aisyah ingin sekali mendokumentasikannya. Seperti tidak mau ada satupun yang terlupakan nantinya.

Dengan mengendarai dua bis tebuireng yang telah disewa oleh pengurus Kudaireng. Semuanya berangkat ke Gunung Kelud Kediri tepatnya di Selorejo Malang. Kebetulan di daerah sana ada alumni Tebuireng yang mempunyai banyak villa. Berhubung yang mengadakan acara ini adalah santri-santri Tebuireng, maka Aisyah dan kawan-kawan mendapatkan diskon besar saat menyewa Villa itu untuk kegiatan diklat pengurus dan anggota Kudaireng putri ini. Acara itu biasa dsebut dengan kegiatan “Dzikir Alam”. 

“Tidak apa-apa dikasih kortingan yang banyak. Kan masih saudara sendiri,” begitulah kata Pak Saiful alumni Tebuireng, meskipun Aisyah tidak kenal dengan beliau, tapi terasa sangat akrab ketika kami sama-sama membahas serunya pengajian dan maknani kitab. 

“Harusnya sih gratis ya bisa, tapi tahun lalu Pak Saiful sudah memberikan gratisan villa untuk kami tempati bulan lalu, untuk kegiatan pelantikan pengurus Orda OPI-TH, jadi cukuplah bagi kami mendapatkan diskonan untuk menyewa Villa ini,” Ustadzah Mafika menjawab pernyataan Pak Saiful.

“Nggih Pak maturnuwun sudah memberikan bantuan kepada kami,” tambah Aisyah.

“Nggih, sama-sama.” Jawab Pak Saiful dengan senyuman bangga melihat Aisyah, santriwati yang tahu sopan santun.

Kegiatan pelantikan pengurus Kudaireng telah berjalan dengan lancar, mulai dari pembukaan, pembacaan ayat suci alquran, sambutan oleh ketua panitia dan ketua kudaireng.

Ustadzah Mafika dan Ustadzah Duwi mendampingi seluruh kegiatan santriwati selama kegiatan di Selorejo Malang Gunung Kelud ini. Mulai dari persiapan, surat perizinan dan keberangkatan hingga acara berlangsung. Untung ada beliau-beliau sehingga panitianya yang identik dengan santri yang masih mini-mini ini tidak terlalu capek mengurusi kegiatan. Maklum. Masih anak SMA. Masih cetek pengalaman berorganisasinya. Tapi justru disitulah tantangannya dan cara para santri belajar berorganisasi.

Kegiatan Ice Breaking Aisyah serahkan kepada Firzania. Aisyah tahu dia orangnya kocak, lucu dan bisa membuat fresh suasana. 

“Ayo... uda pada ngantuk ya?” tanya Firzania sambil berteriak tidak karuan.

“Bagaimana tadi materi pertama dan kedua? Seru?” Firzania menanyakan kembali kepada anggota Kudaireng yang mengikuti kegiatan hari ini.

Seruuuuuuuuuu,” jawaban para santri, kompak namun dengan ritme yang kurang berbarengan.

“Kok jawabnya terpaksa sih.. Lemes pisan, yang semangat dong!” Firzania berjalan membelah santriwati.

Mereka masih diam, ada yang membenarkan kacamatanya, mengucek-ucek matanya, ada pula yang membasuh air liur yang mungkin tidak sengaja keluar dari mulutnya. Mungkin itu anak SMP. Jadi Aisyah maklumi.

“Ayo semuanya sekarang ikuti perintah saya!” Firzania berteriak tapi tetap terdengar lembut.

             Para santriwati mendengarkan dengan seksama dan antusias,

             “Okey, satu komando! Sekarang, Berdiri semua!”

Semua anak berdiri. Termasuk Aisyah.

             “Sekarang balik kanan! Grak!” perintah Firzania.

             “Ya.. Sekarang pegang pundak teman yang ada di depan kalian!”

             Semua memegang pundak orang yang ada di depannya seperti sedang mau bermain kereta-keretaan.

             “dan sekarang... Silahkan pijat pundak yang sedang kalian pegang!” Firzania menyuruh.

Semua tertawa, ada yang berteriak, ada yang sedang, ada yang merasakan geli, bermacam-macam reaksinya.

             “Ikuti saya bernyayi!”

“Ayo bernyanyi sambil memijit pundak teman kalian agar kantuknya hilang.. Isuk awan sore pijetan, pijetan, pijetan, isuk awan sore pijetan, pijetan, pijetan” Firzania mengulang terus kalimat itu sambil tertawa riang membuat para peserta kegiatan Diklat dan Pelantika Kepengurusan Kudaireng menjadi ceria kembali. Firzania menyanyikan kalimat itu dengan nada sinetron ikan duyung pada zaman dulu yang pernah ngetrend dimasanya. Lagu yang ngehits sekitar awal tahun 2000-an. 

~~~Ririn Erataurina~~~~~~Ririn Erataurina~~~~~~Ririn Erataurina~~~


DOOORRR!!!

Lihat selengkapnya