CAHAYA DI TANAH TEBU

RIRIN ERATAURINA
Chapter #24

Lagu setelah sholat dhuha

Tak pernah salat di lapangan, di atas terpal plastik berwarna biru, dibawah pohon rindang tak terkena panas, yang terasa hanya kesejukan hembusan angin surga, adem ngademke ati, salat di pagi hari sambil meresapi setiap kesempatan nafas yang masih diberikan oleh sang ilahi sebelum nyawa ini dicabut paksa oleh sang malaikat-Nya. Mendengarkan kicauan burung Bondol Emprit, Burung Tekukur dan Burung Walet Linchi yang ada di sekeliling sekolah, terasa damai, sungguh, tak akan pernah menemukan tempat seperti ini di tempat lain. Meskipun kegiatannya mungkin nantinya akan sama dalam pelaksanaannya yakni menunaikan salat dhuha berjamaah, namun pastinya akan sangat berbeda suasananya. Ini adalah suasana yang tidak ada duanya di dunia, mungkin akan ada duanya namun di akhirat kelak saat kami bertemu dan berkumpul di surganya Allah. Amin amin ya mujibassailin...

Di imami oleh ustad-ustad yang telah teruji secara klinis keabsahannya dalam penguasaan ilmu umum dan agamanya. Tak lupa dengan sang Bilal yang selalu mengumandangkan takbir dikala imam pun mengumandangkan takbir saat memimpin salat. Di unit SMP A. Wahid Hasyim, salat dhuha berjamaah dilaksanakan di Masjid Ulul Albab, untuk pelaksanaan salat dhuha bagi unit MTs. Salafiyah Syafi’iyah dilaksanakan di Masjid Utama Tebuireng, untuk unit MA. Salafiyah Syafiiyah dilaksanakan di lapangan sekolahnya masing-masing sebab dirasa halaman atau lapangan sekolah sudah sangat luas dan cukup untuk menampung semua santri yang bersekolah di sekolah tersebut, begitu juga dengan sekolahku, SMA A. Wahid Hasyim yang juga menunaikan jamaah salat sunnah dhuha empat rakaat dengan dua salam di lapangan sekolah, di bawah Pohon Kerai Payung yang ternyata batangnya bisa dijadikan sabun cuci tangan yang sudah dilaksanakan penelitian oleh Diah Dwi Firnanda dkk si siswi SMA Aweha itu sendiri. Teduhnya pohon Kerai Payung mampu memayungi kami dalam melAisyahkan salat dhuha berjamaah.

“Tetap berdiam diri dalam dekapam Allah sembari berzikir dan membaca Alur’ain dari waktu subuh hingga waktu dhuha, pahalanya sama dengan orang yang bergaji dan umrah” kata sang penceramah.

Penceramah ini bukan seorang ustad yang diundang secara sengaja untuk memberikan kultum (Kuliah Tujuh menit) kepada kami, yang berceramah adalah tidak lain tidak bukan siswa SMA Aweha sendiri. Yang memang sengaja untuk diwajibkan setiap harinya agar setiap perwakilan kelas untuk mengirimkan satu orang sebagai penceramah di tiap selesai melaksanakan salat dhuha setiap harinya sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Aisyah yang saat itu sebagai ketua kelas X-8 (kelas sepuluh urutan kelas nomer ke delapan) juga telah membagi urutan siapa saja yang bakalan maju mewakili kelas untuk mengisi tausiyah tiap paginya sesuai jadwal. Agar adil atau tidak pilih kasih, kala itu Aisyah membaginya dengan menggunakan kopyok-an dari kertas bekas yang digulung kecil-kecil, dimana setiap kertas itu berisikan satu angka, Aisyah membuat 28 gulungan sebab siswa di kelas ini ada 28 anak, sehingga nomor siapa yang keluar dialah yang akan mewakili kelas X-8 dalam menyampaikan tausiyah kala itu, begitupun seterusnya hingga hampir semua orang yang ada di kelas X-8 telah kebagian untuk mengisi tausiyah. Tausiyah setelah salat dhuha berjamaah ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melatih siswa siswi agar berani berbicara didepan umum, bukan untuk menunjukkan siapa yang unggul dalam hal pengetahuan agamanya melainkan untuk mengasah kemampuan dan keberanian siswa, seluruh siswa pasti akan kebagian maju untuk bertanya, entah itu pada saat dia kelas X, Xi ataupun XII, kalau kata ustad Agus Maulana “Santri tebuireng iku kudu wani maju, mboh persiapan mboh gak persiapan, mboh nang ngarep ape ngomong opo, pokoke maju sek, seng penting maju sek nang ngarep dewe, yo kudu wani, santri kok” dengan gaya nyentrik khas beliau berucap, memotivasi siswa untuk mau maju mengisi tausiyah.

“Bersyukurnya saya berada di pondok ini, karena saya bisa berada di lingkungan yang membawa saya untuk lebih dekat dengan Allah, jika saya dekat dengan Allah, tanpa saya minta pun dunia dan seisinya akan tunduk kepada saya, bahkan akan berlomba-lomba untuk datang kepada saya, tanpa diminta!” berbeda hari dengan Ustadz Agus Maulana berbicara diatas, Ustad Syam’un menerangkan hal tersebut setelah salat dhuha dilaksanakan. Dengan wajah putih berseri, ketampanan Ustad asli berdarah sama dengan kota kelahiranku “Gresik“ ini semakin merekah kala beliau mengucapkan kalimat-kalimat motivasi ala islamiyah. Sayang... beliau sudah beristri, sehingga banyak hati yang dipatahkan karena kenyataan ini.

“Suatu golongan yang wajahnya berseri-seri laksana bintang adalah golongan orang yang berkemas-kemas mengambil air wushu apabila mendengar kan azan dan tidak melAisyahkan pekerjaan lainnya” ucap Faris santai Putra asal Lamongan, dia anak Kudaireng,

“Pantas saja bisa berceramah” batinku.

“Wajahnya laksana rembulan jika ia mengambil air wushu terlebih dahulu sebelum azan” Lanjut Faris lagi, dengan tangan kanannya memegang mi dan tangan kirinya menari-nari ke atas ke bawah, ke kanan dan ke kiri.

“Wajahnya laksana mentari yakni dia yang selalu mendengarkan adzan di Masjid” terang Faris.

Aisyah langsung berpikir, berusaha mencerna setiap kata yang disampaikan Faris barusan, bukan karena cara bicara yang disampaikan oleh Faris yang sulit untuk dipahami oleh pendengar seperti biasa yang dirasakan teman-teman yang menjadi lawan bicaranya, melainkan rasa penasaranku terhadap arti kalimat terakhir yang menjadi penutup tausiyahnya kali ini.

Hingga Faris selesai mengucapkan salam, Aisyah masih berfikir,

“Mulai dari wajah berseri-seri, wajah laksana rembulan hingga wajah laksana mentari adalah suatu tingkatan dimana orang yang selalu mendengarkan adzan di masjid akan mampu memiliki wajah paling bercahaya, bagaimana tidak, laksana mentari loh, bukan laksana rembulan apalagi berser-seri lagi? Uda kayak sang benda terbesar diameternya di tata surya ini” Aisyah mangguk-mangguk sambil berpikir.

Lalu Aisyah memegang janggutku yang terbela menjadi dua, kata orang jawa si sigar jambe yang artinya janggut indah, katanya kalau mempunyai janggut sigar jambe itu termasuk anak yang cantik -katanya-. Aisyah lanjut berfikir.

“Maksud dari laksana mentari orang yang dengerin adzan di masjid, itu artinya orang tersebut yang duduk di masjid sebelum adzan dan ini berarti......... dia uda wudhu dari sebelum adzan? Gitu? Ohhh iya iya paham. Wudhu sebelum adzan berarti wudhu sebelum disuruh wudhu, wudhu sebelum ada seruan untuk wudhu dan bergegas salat” dari situ Aisyah mengerti.

Semenjak saat itu, Aisyah selalu berusaha untuk membiasakan diri berwudhu sebelum adzan dikumandangkan meskipun mungkin tidak kemudian duduk di masjid menunggu adzan, cukup menunggu adzan di kamar pada saat di pondok ataupun di kelas pada saat masih di sekolah. Bahkan pada saat kelas XII sudah menerpa, Aisyah menjadi lebih rajin berwudhu, tidak hanya sebelum adzan Aisyah sudah berwudhu, melainkan setiap kali Aisyah batal wudhunya, maka disitulah Aisyah bergegas menuju kran lalu berwudhu. Mungkin gara-gara ini pula kata orang wajahku selalu terlihat berseri indah menggoda, banyak orang yang bertanya :

“Kamu perawatan wajah dimana rin?” tanya seseorang

Kemudian ada yang bertanya lagi

“Wajahmu Kok glowing bagus banget, apa ya? Glowing mukamu itu bukan glowing gara-gara minyak, dan juga gak glowing yang menyebabkan wajah kelihatan kumus-kumus kulu-kulu, gara-gara apa ya? Bagi rahasia dong....”

Ada pula yang malah dateng-dateng langsung memegang tanganku dan berkata :

“Seger banget liatnya, wajahmu itu loh... iiiiihhhhh’ lalu mencubit pipiku yang cabi imut. Aisyah hanya tersenyum dibuat mereka, Aisyah sudah bosan menjawab karena wudhu, bukan karena perawatan atau apalah-apalah, tapi mereka tetap saja tidak percaya dan masih saja selalu bertanya. Aisyah hanya tersenyum sambil menghirup bernafas lalu lagi-lagi menggeleng-gelengkan kepala dengan tetap sambil tersenyum terlihat gigi kelinciku.

Lihat selengkapnya