Ilahi lastu lil firdausi ahlaan
Duh gusti... tidak layak Aisyah masuk ke surga-Mu
Walaa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Tetapi hamba tidak kuat menerima siksa neraka-Mu
Fahabli taubatan waghfir dzunuubii
Maka ku memohon taubat dan mohon ampun atas dosAisyah
Fainnaka ghafirudz-dzanbil ‘adzimi
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Dzunuubii mitslu a’daadir-rimaali
Dosa-dosAisyah seperti butiran pasir di pantai
Fahabli taubatan yaa dzal jalaali
Maka anugerahkanlah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumin
Dan umur hamba berkurang setiap hari
Wa dzambii zaa-idum kaifahtimali
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayAisyah
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka
Duh Gusti... hamba-Mu penuh maksiat
Muqorrobin bidz dzunuubi wa qod da'aka
Datang kepadaMu bersimpuh memohon ampunan
Fa-in taghfir fa-anta lidzaaka ahlun
Jika Engkau mengampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampun
Fain tathrud faman yarjuu siwaaka
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi Aisyah berharap?
Syair Abu Nawas itu tak terdengar mengalun merdu, menembus telingAisyah, tidak hanya telingAisyah, syair yang bersumber dari pengeras suara mushola sebelah rumahku, sekitar 127 langkah kaki dari depan gerbang rumah, Aisyah pernah menghitungnya, namun hanya sekali, tidak pernah Aisyah ulang kembali, mungkin suatu saat ketika Aisyah pulang ke rumah nanti, Aisyah akan menghitungnya kembali, lagi, biar Aisyah tambah yakin. Syair Abu nawas itu mampu berdesir menembus nadiku, merasuki aliran darahku dari kepala hingga ujung kaki, membuat getaran kemreseng dari tengkuk hingga telapak kaki, entah kenapa, setiap Aisyah mendengarnya, masih saja dibuat seperti itu, padahal, pertama kali Aisyah merasakan seperti syair itu menerobos aliran darah dan otot-ototku ketika Aisyah masih di Tebuireng, lebih tepatnya ketika setelah salat dhuha di takbirkan di shelter. Dulu saat masih SMP Aisyah juga sering mendengar syair Abu Nawas ini, tapi Aisyah merasa biasa saja, tidak ada yang istimewa, badanku juga biasa saja, tidak dibuat berdesir olehnya. Namun setelah Aisyah mendengarnya dari bibir Ustad itu, semua terasa berbeda, ada yang tidak sama, bukan karena suaranya yang merdu atau serak-serak basah, tapi karena energi yang mampu dialirkan oleh syair itu, Aisyah tidak bisa menjelaskan seperti apa energi itu, energi itu mampu didapatkan ketika benar-benar bisa meresapi menghayati dan menancapkannya ke dalam hati setiap kata perkata, bukan setiap kalimat, bukan, tapi setiap kata.
Syair abu nawas berasal dari Musholla Hudallah RT 08, yang pada saat itu akan dilaksanakan salat subuh, Aisyah berjalan menembus dinginnya suhu saat fajar belum menyingsing, setiap langkah Aisyah berpikir, membayangkan syair itu dilantunkan oleh Ustadz itu, masih jelas terdengar, masih jelas terasa, suasana terang saat salat dhuha di shelter juga masih membekas baik di kenangan, semua memang sudah lulus, semua memang sudah usai, namun kenangan tak pernah usai.
Mengumandangkan pujian penutup salat sunah dhuha yang selalu dinyanyikan oleh Ustad Maulana bersama semua makmum, langsung tanpa diperintah, seluruh orang yang ada di area maupun sekitarnya ikut serta membasahi bibir dengan syair Abu Nawas ini. Aisyah pernah dibuat tertegun oleh syair ini, Aisyah juga pernah tertawa dibuat oleh syair ini, menertawai diri sendiri,
“Dosa lebih dari pasir di pantai tapi masih berani nambah dosa lagi” Aisyah tertawa sinis terhadap diri sendiri. Kadang masih khilaf. Bukan kadang, tapi sering.
Namun Aisyah juga pernah dibuat menangis oleh syair ini. Banyak kenangan pada syair ini, ada pula kenangan lucu, saat itu setelah salat dhuha, ada pengumuman peringkat satu dua hingga tiga yang menduduki peringkat se sekolah dari tiap angkatannya. Aisyah menangis, konyol, menangis karena tidak bisa mendapatkan peringkat satu se sekolah, Maklum saat itu Aisyah masih kelas X, kelas satu SMA, masih sangat ingat rasanya sesak kala itu, sesenggukan, bagaimana tidak, sedari Aisyah bersekolah di TK hingga kelas tiga SMP, Aisyah selalu mendapatkan peringkat satu, paling jelek itu pernah mendapatkan peringkat dua, namun hanya pada saat kelas lima MI (SD), itu pun nilainya tidak terpaut jauh dengan si peringkat satu, Akhirnya Aisyah membalas “dendam” pada saat kelas enam, Aisyah mampu peringkat satu lagi. Saat SMP juga seperti itu, semua berjalan mulus, Aisyah menjadi ketua OSIS di SMP ku dulu, dan masih bisa mendapatkan peringkat satu, semua peringkat satu kecuali semenjak saat kelas sepuluh.
Aisyah kini hanya mendapatkan peringkat 15 besar se siswi (siswa putri) se angkatan, dan masuk 45 besar jika digabung dengan nilai seluruh siswa baik siswa maupun siswi seangkatan di sekolah, ini merupakan rekod terjelek ku semasa Aisyah bersekolah.
Aisyah menangis ke ayah dan ibuku, entah kenapa, Aisyah sedari tadi pagi tidak bisa berhenti menangis, seperti tAisyaht akan kena marah jika anak kesayangannya ini mendapatkan nilai yang buruk di sekolah.
“ Loh.. kenapa sayang? Ayah sama ibu tidak pernah memesan Aisyaha Harus rangking satu, kan gak pernah toh???” ibu berucap di ujung telepon sana.
“Cukup Aisyaha kerasan di sana, bahagia disana, ceria disana, rajin belajar ilmu umumnya juga, lebih-lebih memperdalam ilmu agamanya, rajin makan, rajin salat, ngajinya juga, bisa belajar membagi waktu untuk tugas sekolah dan kewajiban tatkala di pondok, dan yang terpenting Aisyaha tetap baik-baik saja dan selalu menjaga kesehatan” Aisyah mengusap air matAisyah saat mendengarkan ibu berbicara seperti itu. Kini Aisyah lebih tenang dan damai.