Cahaya Di Tengah Keterbatasan

Andhika Tulus Pratama
Chapter #1

Bab 1: Awal yang Sederhana

Pagi itu, matahari baru saja muncul di ufuk timur, menerangi langit Kendal dengan semburat jingga keemasan. Udara masih dingin, sisa-sisa embun masih menggantung di dedaunan. Suara kokok ayam dan derit roda becak membaur dalam keheningan pagi. Pak Warto, seorang tukang becak tua dengan wajah keras, mengayuh becaknya perlahan di jalanan sempit, mencoba mencari penumpang di pasar pagi. Di sisi lain, di sebuah rumah kecil di ujung gang, putrinya Raeni bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.


Raeni baru saja menyelesaikan sarapannya—sepiring nasi dan sepotong tempe goreng yang disiapkan ibunya. Walaupun sederhana, ia makan dengan penuh syukur, tahu bahwa di luar sana tidak semua anak seberuntung dirinya. Setelah makan, ia menyalami ibunya dan berjalan keluar rumah. Setiap pagi, Raeni memiliki kebiasaan yang sama: ia akan berdiri di depan rumah dan menunggu ayahnya lewat. Meski hanya untuk melambaikan tangan, itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit diabaikan. Rasanya, setiap kali melihat ayahnya berangkat bekerja, ada semangat tersendiri yang tumbuh di dalam hatinya.


Tidak lama kemudian, terlihatlah ayahnya, Pak Warto, di atas becaknya yang tua dan lusuh, melintas di depan rumah. Melihat Raeni berdiri di depan rumah, Pak Warto segera berhenti sejenak. Senyum hangat terlukis di wajahnya yang kelelahan.


“Raeni, sudah siap berangkat?” tanya Pak Warto dengan suara serak.


Raeni mengangguk, tersenyum lebar. “Sudah, Yah! Raeni berangkat sekarang, ya?”


Pak Warto mengangguk, menepuk punggung becaknya pelan. “Iya, hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa berdoa sebelum belajar.”


Raeni mengangguk, merasakan kehangatan dalam nasihat ayahnya. Di tengah kehidupan yang penuh keterbatasan, dukungan sederhana dari ayahnya menjadi kekuatan besar bagi dirinya. Ayahnya memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi Raeni tahu bahwa Pak Warto memiliki impian besar untuk dirinya—impian yang mungkin lebih besar dari apa yang bisa ia bayangkan.


Setelah melambaikan tangan pada ayahnya, Raeni memulai perjalanan panjang menuju sekolah. Jarak dari rumahnya ke sekolah memang cukup jauh, sekitar tiga kilometer. Setiap hari, Raeni harus berjalan kaki, melewati gang-gang sempit dan jalanan berdebu. Meski terkadang lelah, Raeni tidak pernah mengeluh. Baginya, setiap langkah adalah bagian dari perjalanan menuju impian yang selama ini ia simpan dalam hatinya.


Di perjalanan, Raeni sering kali bertemu dengan teman-temannya yang diantar menggunakan sepeda motor atau mobil oleh orang tua mereka. Terkadang ia merasa iri, membayangkan bagaimana rasanya berangkat ke sekolah dengan nyaman tanpa harus berjalan kaki sejauh ini. Namun, setiap kali rasa iri itu muncul, ia selalu berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bersyukur. Ia tahu bahwa keluarganya telah berjuang sekuat tenaga untuk dirinya, dan ia tidak ingin mengecewakan mereka.


Sesampainya di sekolah, Raeni langsung menuju kelasnya. Ia menaruh tasnya di meja dan duduk dengan tenang. Sejak kecil, Raeni dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun. Meski berasal dari keluarga yang kurang mampu, ia selalu berada di peringkat atas di kelasnya. Hal ini tidak lepas dari dorongan kuat dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang selalu berpesan agar ia belajar sungguh-sungguh.


Namun, di balik semua itu, Raeni sering menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tidak sedikit teman-temannya yang sering meremehkannya karena latar belakang keluarganya. Banyak yang memandangnya sebelah mata, menertawakannya karena seragamnya yang lusuh dan sepatunya yang penuh tambalan. Namun, Raeni berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ejekan tersebut. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk masa depannya dan keluarganya, bukan untuk orang lain.

Lihat selengkapnya