Hari-hari di sekolah tak selalu berjalan mulus bagi Raeni. Meskipun semangatnya membara, realitas seringkali membuatnya merasa tertekan. Setiap kali ia melangkah ke dalam kelas, suara tawa dan ejekan teman-temannya menggema di telinganya. Mereka mengolok-olok seragamnya yang selalu terlihat lusuh, seakan-akan keberadaannya tidak layak di tengah mereka yang lebih beruntung.
“Lihat, si becak datang!” salah satu anak mengoloknya, diiringi gelak tawa dari teman-teman yang lain. Raeni menundukkan kepala, berusaha mengabaikan mereka. Namun, hatinya terasa perih. Kata-kata itu bagaikan jarum yang menusuk perasaannya, mengingatkannya pada betapa sulitnya hidup yang harus dijalaninya.
Di tengah kekacauan emosionalnya, Raeni selalu menemukan tempat pelarian di perpustakaan. Ruang yang sunyi dan penuh buku itu adalah dunia lain yang penuh dengan kemungkinan. Setiap kali ia membuka buku, seolah-olah ia melangkah ke dalam cerita baru, di mana impian-impian besar bisa terwujud.
Suatu sore, saat ia sedang membaca buku tentang kisah-kisah inspiratif, Bu Lestari, guru bahasa Indonesianya, mendekat. “Raeni, kamu terlihat serius sekali,” katanya sambil tersenyum. “Apa yang kamu baca?”
“Ini tentang orang-orang yang berhasil meskipun dalam keadaan sulit, Bu,” jawab Raeni, mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya.