Setelah peluncuran program beasiswa yang sukses, Raeni merasa semangatnya semakin berkobar. Namun, dengan keberhasilan yang diraih, tantangan baru mulai menghampiri. Sekolah seni kini menarik perhatian lebih banyak orang, dan Raeni harus bersiap menghadapi konsekuensi dari popularitas tersebut.
Salah satu tantangan yang muncul adalah meningkatnya permintaan untuk mendaftar di sekolah seni. Banyak orang tua dan anak-anak yang antusias untuk bergabung, namun sumber daya yang tersedia di sekolah masih terbatas. Raeni tahu bahwa mereka perlu membuat keputusan cepat agar bisa mengelola jumlah siswa yang semakin banyak.
Suatu pagi, saat rapat rutin di ruang seni, Raeni mengumpulkan pengajar dan anak-anak untuk mendiskusikan situasi ini. “Teman-teman, kita harus memikirkan cara untuk mengakomodasi lebih banyak siswa. Sekarang ini banyak yang ingin belajar seni di sini, dan kita perlu memastikan mereka mendapatkan pengalaman yang berkualitas,” jelas Raeni.
Dito mengangkat tangan. “Bagaimana kalau kita membuka kelas tambahan di akhir pekan? Ini bisa membantu mengurangi jumlah siswa per kelas selama hari biasa,” sarannya.
“Ya, itu ide yang bagus!” seru Raeni. “Kita juga bisa mencari pengajar tambahan. Mungkin kita bisa mengundang alumni atau seniman lokal untuk mengajar.”
Diskusi berlanjut, dan mereka mulai merencanakan kelas tambahan. Raeni juga mulai menyusun anggaran untuk mempekerjakan pengajar baru. Dalam hati, ia merasa senang karena banyaknya orang yang tertarik untuk belajar seni, tetapi ia juga merasakan beban tanggung jawab yang semakin besar.
Seiring dengan meningkatnya permintaan, Raeni menyadari bahwa ia harus mulai mencari cara untuk mendapatkan dana tambahan. “Kita bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan sponsor atau donasi dari perusahaan lokal,” pikirnya. “Kita juga bisa mempertimbangkan untuk mengadakan acara penggalangan dana.”
Setelah menyusun rencana, Raeni menghubungi beberapa perusahaan dan lembaga yang berpotensi menjadi sponsor. Beberapa dari mereka menunjukkan ketertarikan, dan Raeni merasa optimis.
Sementara itu, suasana di sekolah seni semakin ramai dengan kedatangan siswa baru. Raeni melihat banyak wajah baru yang penuh semangat. Di antara mereka, ada seorang gadis kecil bernama Citra, yang berusia sepuluh tahun. Citra sangat berbakat dalam menggambar, dan setiap kali Raeni melihatnya, ia tidak bisa menahan senyumnya.
“Citra, kamu harus ikut lomba menggambar yang akan datang!” kata Raeni saat melihat Citra sedang asyik menggambar.
“Benarkah, Kak Raeni? Tapi saya masih pemula,” jawab Citra ragu.