Setelah pertemuan terbuka dengan warga desa, suasana sedikit lebih tenang, meskipun Raeni tahu bahwa tidak semua orang akan mendukungnya. Namun, ia merasa cukup puas dengan tanggapan masyarakat yang mulai terbuka. Beberapa orang tua bahkan mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada anak-anak mereka, menyatakan bahwa anak-anak kini lebih semangat belajar dan bermimpi besar.
Sementara itu, Raeni menyadari bahwa program ini membutuhkan lebih banyak pengaturan agar tetap berjalan dengan baik. Dengan dukungan dari pemerintah daerah, ia mulai memikirkan strategi untuk membuat program ini lebih mandiri dan berkelanjutan. Ia mengusulkan kepada timnya untuk membentuk sebuah Komite Pendidikan Desa yang anggotanya terdiri dari orang tua, guru, serta beberapa tokoh masyarakat yang peduli dengan pendidikan. Dengan adanya komite ini, program yang telah berjalan bisa terus dipantau dan dikembangkan bersama oleh komunitas, tanpa terlalu bergantung pada tim inti saja.
Namun, ide Raeni ini tidak berjalan mulus. Saat rapat pertama untuk pembentukan komite, ada beberapa perbedaan pendapat yang cukup tajam. Salah satu tokoh desa, Pak Sardi, mengusulkan agar program ini lebih fokus pada keterampilan praktis saja, seperti bertani atau beternak. Ia merasa pendidikan akademis dan keterampilan lain tidak sepenuhnya cocok untuk anak-anak di desa, dan justru bisa mengurangi ketertarikan mereka pada pekerjaan yang diwariskan oleh orang tua mereka.