"Woy! Jancok!" teriak Imelsa dengan mata yang memancar nanar. Ini kali pertama gadis berkulit sawo matang itu menggelegar sedemikian kesalnya. Ia langsung berlari sekencang mungkin. Menghampiri Nunu, ibunya.
Setelah menjatuhkan diri, Imel meraih tubuh Nunu. "Ibuk!" panggilnya bergetar panik sembari menoleh sesaat. Mengeja plat nomor pengendara itu.
"Berhenti!" seru Imel lebih lantang. Ia berusaha menahan laju motor itu. Tapi tidak mampu menghentikan. Matanya berganti terbakar. Bisa-bisanya pengendara itu meninggalkan ibunya terkapar. Segala macam umpatan khas Jawanya pun terlontar.
"Asu! Kualat koen!" luap Imel terakhir kali. Ledakan suaranya sampai memecah keheningan dan menjalar ke setiap sudut jalan. Membuat telinga warga ikut tersambar.
Tanpa membuang banyak energi lagi, Imel mengabaikan. Percuma juga. Kenalpot roda dua itu sudah terdengar kian jauh. Ia kembali mendekap dan memeriksa sekujur tubuh Nunu. Sepersekian menit kemudian bernapas lega. Syukurnya tidak ada darah yang mengucur parah. Hanya beberapa bagian tubuh Nunu yang tampak tergores akibat bersinggungan dengan aspal.
Meski begitu, udara malam yang menyegarkan tak membuat kecemasan Imel mereda. Jantungnya masih meletup-letup, khawatir bercampur bingung, sebab Nunu masih terpejam.
"Buk ... Ibuk ...," panggil Imel terus mengulang berusaha membangunkan. Berkali-kali bahu beserta pipi Nunu diguncangkan. Tetap tidak ada sahutan.
Warga setempat pun perlahan mendekat sampai menggumpal. Belum ada tindakan pertolongan lain, selain membopong tubuh wanita separuh baya itu menuju tepi jalan. Beberapa hanya diam menonton iba. Sedang satu diantaranya membantu menyadarkan Nunu dengan minyak angin. Tapi tidak membantu. Nunu masih tak kunjung terbangun.
"Gusti ... gimana ini?" Imel meremas rambutnya selepas meraup wajahnya. Raganya jadi melemas. Tampak jelas wajah Nunu mulai pucat pasi. Tubuh Nunu pun perlahan dingin. Imel bertambah cemas.
Tanpa pikir panjang, Imel kembali berdiri dan beranjak menuju tepi jalan. Hendak melambaikan tangan. Yang terlintas dibenaknya hanyalah rumah sakit. Baginya, itu opsi terbaik karena puskesmas lebih jauh ditempuh dari tempat yang ia pijaki saat ini. Ia berharap ada mobil yang berhenti dan berbaik hati menolongnya.
Tapi nyatanya tak seperti ekspektasi. Tidak ada satu pun yang berhenti. Entah karena raga yang tak terdeteksi oleh para pengemudi atau sengaja tidak peduli. Dalam hati, Imel mengutuk tiap mobil yang asal melintasinya.
Imel kembali memutar akal. Berpikir bagaimana caranya supaya para roda empat itu mau berhenti. Kecerdasannya mulai membuta. Ia memajukan langkahnya lagi. Memilih berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Tepat di tengah-tengah jalan raya bersamaan dengan klakson yang mengingatinya untuk enyah.
"Lhe, Nduk! Jangan ngawur!" histeris serempak warga desa. Salah satunya sempat menarik lengan Imel secara paksa. Berniat menjauhkan Imel dari tindakan yang bisa membahayakan nyawa. Tapi Imel tidak peduli. Alhasil, hanya ditepis secara kesal. Kepanikannya sudah kadung memenuhi nadi. Lagi pula, para warga masih saja sibuk menyadarkan ibunya yang jelas-jelas tak kunjung terbuka mata.
Beruntung. Mobil putih dengan lampu yang menyorot tajam seketika berhenti. Persisnya, satu meter di depan Imel. Gadis itu menghela panjang. Lega dengan usaha gilanya yang tidak sia-sia.
Imel bergegas menghampiri dan mengetuk pintu kaca mobil itu. "Mas, bantu saya, please!" pintanya memelas setelah kaca mobil diturunkan. Ia memohon berkali-kali dengan bibir bergetar panik.
"Duh, maaf. Kami lagi—"
"Mas! Manusia bukan, sih?!" sela Imel meninggi. Sungguh kesal setengah mati. "Ibu saya itu ditabrak! Lagi nggak sadarkan diri di sana! Bantu saya bawa ke rumah sakit dong, ayo dong ... please ...," lanjutnya merengek dengan intonasi yang menurun perlahan, dilengkapi mata berkaca-kaca.
Satu kedip kemudian pandangan Imel beralih. Tertuju pada lelaki sebelah pengemudi yang sedang buru-buru melepas sabuk pengamannya.
"No, mau ngapain lo?"
Lelaki itu tidak menjawab. Tanpa berpikir panjang langsung membuka pintu. Ia bergegas turun menghampiri kerumunan warga.
"Koi!" Pengemudi mobil itu berusaha menahan. "Kita ditunggu investor, woy! Udah telat banget ini!" teriaknya memburu langkah sekaligus mengingatkan.
***
Malam sebelum itu.
Kota yang sedang disinggahi kali ini usai diguyur hujan lebat. Lengkap bersama angin kencangnya. Hingga pohon besar yang menjulang, tumbang dan melintang memenuhi badan jalan. Sudah satu jam kendaraan mereka tak berkutik. Jalan raya masih tak kunjung melonggar. Sedangkan besok adalah agenda pertemuan penting dengan investor.
Mazega Corp, milik Tuan Mazega, dikenal sebagai perusahan yang sangat kompatibel. Sebagai pewaris tunggal, tentu Kokoi tidak ingin mencipta kesan pertama yang mengecewakan. Apalagi untuk calon mitra kerjanya. Tapi melihat kendaraan yang berjejer panjang seperti itu, kecil kemungkinan untuk tiba di lokasi tepat waktu.
Alexo tiada henti mengeluh. Jauh-jauh hari ia sudah memberi saran untuk bepergian dengan pesawat. Tapi Kokoi menolak. Bagi Kokoi, berkendara dengan mobil sendiri jauh lebih leluasa. Karena memudahkan untuk ke mana saja. Lagi pula, kepentingan bisnis kali ini juga mengharuskannya berpindah-pindah lokasi.
Alexo yang menghela pasrah itu sudah bosan menanti laju kendaraan. Kepadatan jalan juga membuat pandangannya jadi kehilangan kesegaran. Hanya iringan musik yang jadi obatnya. Sedangkan lelaki bertubuh bidang di sampingnya itu masih tampak rileks. Hanya banyak bergeming dengan ponselnya. Seolah tak ada beban.
"Nah!" celetuk Kokoi tiba-tiba.
"Apaan?"
"Tuh ...," tunjuk Kokoi mengarah ke pertigaan jalan. "Coba kita ambil jalan itu aja. Yang belakang juga pada belok ke sana, kan?" sambungnya menyarankan.
"Nggak usah becanda deh lo."
"Gue nggak becanda. Nih ...," Kokoi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan jalur alternatif agar terhindar dari kemacetan. Sedari tadi ia sengaja mengecek Google Maps untuk memastikan dugaannya tepat. "Pertigaan ini ngarahnya ke sini, kan? Jadi bisa juga tembus sini," jemarinya bergerak lihai. Melenggok-lenggok di layar ponsel. "Mending kita lewat jalur pantura aja."
"Coba liat," Alexo meraih ponsel Kokoi. Menatap jeli jalur rekomendasi itu. "Yakin kita mau lewat sini?" tanyanya mempertimbangkan saran sebelum mengiyakan.