Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #4

Tanda Tanya

"Heh, maksudmu apa, ha?!" omel seorang perempuan yang sedang duduk di atas motor matic.

"Yang salah siapa coba?!" Suaranya terus menggema.

"Cok!" Kedua kakinya menghentak sebal berkali-kali. Sesaat kemudian berteriak kencang. Ia melepas seluruh gemuruh dadanya. Hingga memenuhi sudut parkiran bagian paling belakang. Beruntung kondisi parkiran malam ini sedang tidak ada orang.

Imel berusaha mengontrol diri perlahan. Sejenak berhenti dengan menghirup udara sedalam-dalamnya. "Duh, Gusti ...," lirihnya seraya menepuk-nepuk dada dan diiringi istighfar. Bulir bening pun ikut terjun membasahi pipinya.

Imel membelokkan kaca spion motor itu. Melihat wajah kusutnya yang memantul dengan jelas. "Bisa-bisanya ngomong gitu?" Ia menarik napas sebentar. "Ya kan ... harusnya pengendara taek itu dong! Bisa nggak kalau ngomel-ngomel tuh jangan ke sini? Hih!" spontan tangannya menjitak kepala spion motor itu dengan keras. Bahkan terus meracau pada pantulan kacanya, dirinya sendiri.

"Ada yang bisa dibantu?" Suara lelaki tiba-tiba menyusup. Mengagetkan Imel.

Seketika Imel mengunci bibirnya. Ia lekas mengusap pipinya yang belum basah sempurna. "Nggak! Nggak usah!" sahutnya langsung membentak. "Nggak liat orang lagi marah apa? Ganggu aja!" sambungnya ketus dengan sedikit menoleh ke bawah. Hanya menangkap sepasang sepatu yang tampak berdiri di belakangnya. Sengaja menghindari wajah orang itu.

"Ya elah ... lo lagi?!" keluh Alexo meninggi. Bosan berjumpa dengan gadis itu.

Imel tak jadi kembali menghadap ke depan. Kini tubuhnya meliuk sempurna. Matanya pun bergerak menyusuri tubuh dua pemuda itu. Mulai dari bawah kaki sampai tiba di wajahnya. Memastikan kenal.

Mampus! Kok dua kepala ini di sini?

Imel bergeming sesaat. Ia pikir mereka berdua sudah menghilang dari rumah sakit. Tak tahunya masih berkeliaran di parkiran.

"Lo itu bener-bener ya ... ditanya baik-baik malah nyolot!" Alexo mulai berkomat-kamit. "Mana tadi maksa minta tolong, nggak bilang makasih, sekarang nggak tau diri lagi!"

Sejenak Imel membalas Alexo dengan tatapan menyeringai. Ia tidak suka dengan pria berisik itu. Makin menambah magma dadanya saja. "Eh ... kalau nggak ikhlas, nggak usah nolong! Gitu aja ikutan nyolot!" bantahnya tidak ingin kalah. 

"Lah, lo yang maksa, anying!" bantah Alexo dengan menujuk kaku. Tidak terima dengan pernyataan Imel. "Kalau bukan cewek pasti udah gue gibeng lo!"

Imel bersedekap tenang. "Dan saya harus takut gitu?" ujarnya menantang. Membuat Alexo makin geram.

Kokoi bersigap menahan dada Alexo yang bergerak maju. Lalu berkedip dan sedikit bergeleng. Isyarat agar Alexo diam.

"No ... orang kayak gini nggak bisa dibiarin," tolak Alexo bergeleng saat langkahnya dihentikan. Ia kembali tertuju pada Imel. "Minta maaf nggak lo?!"

Tidak ada sahutan.

Karena terusik, Imel bergegas turun dari motor. Ia hanya membalas Alexo dengan tatapan tajamnya sambil mengumpat dalam diam. Tak lama, matanya berpindah menuju Kokoi. "Kenapa liat saya?" tanyanya ketus.

"Punya mata aja," jawab Kokoi enteng.

“Eh … Budek lo? Gue suruh lo minta maaf!” tegas Alexo mengulangi.

Imel kembali terdiam. Malas panjang kata. Ia mulai memajukan langkahnya. Berjalan mendekati Kokoi dan berhenti dengan kepala mendongak. Tubuh pemuda itu terlalu tinggi untuk disejajarkan dengan bola matanya.

Hening.

Imel masih terdiam sembari menelusuri bagian tubuh Kokoi. Mulai dari rambut, jas hitam yang berkombinasi kaos putih, sampai alas kaki. Pandangannya berhenti di jemari. Ada ponsel yang menyita matanya. Kepalanya memerintah untuk berbuat sesuatu. Ia pun meraih ponsel itu secara paksa.

Saking gesitnya, Kokoi sampai refleks melepasnya.

Alexo ternganga melihatnya. Tidak habis pikir dengan sikap lancang Imel. Bukannya minta maaf malah makin berulah. "Eh, bocah! Mau apa lagi sih lo?!"

Kokoi membiarkan saja. Kepalanya kini sibuk menerka. Hendak diapakan ponselnya? Dibanting karena sudah membuatnya kesal?

Imel hanya menunduk santai. Mengabaikan ucapan Alexo yang terlalu mengganggu telinganya. Tanpa permisi, ia mulai berselancar di layar ponsel itu. "Wow ... hape mahal," ucapnya sedetik melirik Kokoi.

"Balikin, nggak?!" Alexo berusaha meraih ponsel itu. Tapi Imel terlalu lihai menangkis tangannya.

Kokoi bersigap menahan pundak kanan Alexo. Agar Alexo berhenti menjangkau ponselnya. "Biarin aja."

"Bener-bener nggak tau etika ya lo? Balikin!" pinta Alexo bertambah menegas. Ia mengabaikan Kokoi karena masih geram.

Imel menoleh ke Alexo. Matanya membalas lebih bringas. Ujung alisnya menjadi terlalu rapat bertemu. Bersamaan dengan itu, tangannya pun mengepal kuat. Ponsel Kokoi sampai teremas kian erat.

"Bisa diem nggak sih?!" bentak Imel terganggu. Lalu mengangkat separuh lengannya. Hingga sikutnya membentuk kerucut. Posisi siap untuk meninju. "Saya pecahin hape ini atau anda yang diem?!" ancamnya.

Kokoi menarik napas dalam-dalam. Sudah putus akal untuk melerai keduanya. Ia kembali menarik bahu Alexo yang terus memaksa bergerak maju. "Udah, biarin."

Alexo menyingkirkan tangan Kokoi. "Nggak bisa dibiarin, Men! Nggak ada akhlak banget dianya!" Ia masih tidak terima.

Lihat selengkapnya