Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #5

Ikan

Berdasarkan diagnosa Dokter, Nunu mengalami syok neurogenik. Bagian saraf tulang belakangnya cedera akibat kecelakaan yang baru saja menimpanya. Nunu tidak bisa memberi respon pada rangsangan verbal. Kesadarannya kian menurun. Demikian pula dengan tekanan darahnya. Denyut jantungnya juga melemah. Hingga membuat aliran oksigen menuju otaknya menjadi tidak stabil. Nunu membutuhkan alat napas bantuan.

Penanganan harus segera dilakukan. Jika tidak, akan memengaruhi lamanya masa pemulihan. Selain itu juga bisa memperburuk kondisi. Tim medis kemudian memindahkan Nunu menuju ke ruang ICU untuk ditangani lebih lanjut.

Dokter memberitahu bahwa, Nunu sedang dalam masa koma ringan. Sangat beruntung Nunu secepatnya dilarikan ke rumah sakit. Bila tidak, keadaannya bisa lebih parah. Mengingat, syok adalah kondisi yang berbahaya. Kalau tidak segera ditangani dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian.

Imel sedikit lega mendengarnya. Dugaannya ternyata salah. Tak disangka aksi gilanya di jalan raya itu menuai berkah. Setidaknya masih ada secercah harapan untuk ibunya. Meski kecemasannya berlebih, ia bersyukur karena kondisi Nunu tidak sampai parah.

"Makasih banyak, Dok," ucap Imel bersamaan dengan Galang.

"Sama-sama. Terus perbanyak do'a ya. Semoga ibu lekas membaik," tutup sang Dokter. Kemudian beranjak pergi menuju ruangan lain.

Dokter memperkirakan butuh waktu satu sampai dua minggu untuk berangsur pulih secara penuh. Harapannya semoga tak sampai selama itu. Dengan begitu, keluarga bisa kembali bercengkrama lebih cepat.

"Gini nih, kalau jalannya ngawur, nggak hati-hati," sindir Galang masih mengungkit, dengan logat kental Jawanya. "Kamu juga ... besok-besok tiru aja ibumu. Biar jadi begini," sambungnya bermaksud menasehati, tapi yang ada malah membuat Imel sakit hati.

Baru saja Imel selesai dengan ritual kesendiriannya, supaya gemuruh dadanya mereda. Tak tahunya secepat itu Galang kembali membangunkan. Kalau saja lelaki itu bukan ayahnya, pasti sudah Imel hantam dengan perkataan yang kejam.

***

Setelah dua malam berlalu, Nunu perlahan menunjukkan kesadaran. Jemarinya mulai bergerak. Meskipun mulut dan kelopak matanya masih tertutup rapat. Tapi begitu saja sudah membuat wajah Imel kembali merona. Ia bersiap untuk menyapa dengan lembut.

Menurut Dokter, pasien yang dalam kondisi koma memang tidak responsif terhadap lingkungan. Tapi sebisa mungkin diajak bicara. Sekalipun pasien tidak menanggapi. Cara ini bertujuan untuk membantu pemulihannya.

"Udah mimpi indah apa aja, Buk?"

Monitor ICU di samping Imel, menunjukkan ada peningkatan pada detak jantung Nunu.

"Tau nggak, Buk? Kemarin tuh ya, bapak kumat marah-marah nggak jelas gitu. Sumpah yaaa ... kesel banget!"

Siang ini Galang sedang menjaga toko di pasar. Imel yang menjaga Nunu bersama adiknya, Nela. Bergantian. Malam kemarin Nela sudah menjaga Nunu. Giliran Imel yang kini menemani. Pun merasa bebas membicarakan Galang sepuasnya. 

"Kalau udah terjadi ... ya udah gitu loh! Pake nyalahin Ibuk segala lagi. Udah gitu diungkit-ungkit mulu. Jadi pengen nutup mulut bapak pake centong kayu deh!" Imel berbusa sesukanya. Meluapkan segala kekesalan. "Habisnya kalau Bapak emosi, bikin cekot-cekot di hati sih! Dipikir nggak capek apa nahan laranya?"

Imel menghela sesaat. "Buk ... semuanya sayang Ibuk. Ibuk lekas pulih ya. Biar Imel bisa nganter keliling kompleks lagi. Sebut Allah terus ya, Buk," tuntasnya sembari menggenggam jemari Nunu, lalu mengelus dengan lembut.

Selang beberapa menit, ponsel Imel berdering. Ada panggilan masuk dari Tika, teman sekelas, sahabat, sekaligus gengsternya semasa SMA.

"Gimana, Mel? Jadi kan lo dateng ke sini?" serobot Tika tanpa membuka dengan salam.

"Tikaaa ... maaf banget ya. Kayaknya gue nggak bisa ke Bandung deh," jawab Imel menyamakan logat metropolis Tika. Baginya itu semacam kinerja tubuh yang sudah tersistem.

Tempo hari lalu, Imel mendapat ajakan untuk menghadiri acara wisuda Tika. Tika sangat mengharapkan kehadiran Imel. Imel pun sudah berjanji akan datang.

Hampir empat tahun mereka tidak berjumpa, pasca papa Tika selesai bertugas dan kembali ke kota asalnya. Tika sudah rindu berat. Telepon seluler yang menjadi penghubung komunikasi, tentu belum cukup untuk mengobati kerinduannya. Padahal Tika sudah mengatur rencana. Usai menghadiri wisuda nanti, ia ingin mengajak Imel ke Jakarta. Menginap di rumahnya. Sekaligus kembali bertemu kedua orang tuanya, yang sudah seperti orang tua Imel sendiri. Mereka pun rindu dengan segala tingkah absurd Imel. Biasanya rumah mereka akan sangat riuh kalau sudah didatangi Imel.

"Yah ... kenapa, Mel?"

"Ibuk dua hari yang lalu kecelakaan, Tik. Sekarang lagi koma nih."

"Innalillahi ... Ya Allah, terus gimana sekarang?" Terdengar getar panik di suara Tika.

"Alhamdulillah, Tik. Nggak begitu parah kok. Koma ringan. Cuma ya ... belum sadar sepenuhnya."

Tika turut berduka. "Alhamdulillah ... ya udah deh nggak apa-apa. Semoga tante Nunu cepet sembuh ya, Mel."

"Aamiin Ya Allah. Makasih ya ... untungnya ada dia, Tik."

"Dia?" Tika tidak mengerti.

"Iya, dia. Bukan malaikat sih. Tapi gue doain supaya naik pangkat jadi malaikat."

Lihat selengkapnya