Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #6

Tanpa Menikah

Sesampainya di kafe, telinga mereka langsung disambut oleh pertunjukan live music. Iramanya menggema memenuhi setiap sudutnya. Riuh dan penuh pengunjung. Sewajarnya suasana malam minggu.

Alexo mengajak duduk di luar. Lidahnya gatal ingin ngevape. Kokoi mengiyakan saja.

"Terlalu mengenal lebih dalam, kadang buat diri sulit keluar dari yang terdalam. Apalagi sekalinya menggali, menyimpan beragam kesan yang teramat berarti," Ucap sang vokalis ketika akan berganti lagu itu telah menyita perhatian Kokoi.

Dan sepanjang lagu dimainkan, Kokoi hanya terduduk dengan terus tertuju pada laptop, berusaha menyibukkan diri untuk menghindari memori pedihnya. Sayangnya percuma. Aroma khas kopi yang menyapu ujung hidungnya saja tidak sanggup membantu.

"Wih ... mantap nih!" Alexo mendadak bergairah.

"Apaan?"

"Ada hotel, Men. Deket pesisir sini. Kayaknya asik nih ... sepoi-sepoi."

Mereka berencana mencari tempat penginapan untuk bermalam. Punggung mereka sudah menegang. Butuh diistirahatkan. Kokoi menyuruh Alexo mencari informasi terkait itu. Sedangkan dirinya hanya membuka beberapa file presentasi. Sekadar untuk menetralkan pikiran. Meski yang terjadi malah makin berlari ke mana-mana.

Bukan hal mengejutkan bila kepala Kokoi terisi bayangan Sonya. Tapi kali ini ia keheranan. Entah kenapa saat pertama kali terpaku pada mata Imel kala itu, pikirannya jadi kacau balau. Ada satu memori paling perihnya yang mendadak terbangkit. Tepatnya, luka di dua tahun yang lalu. Dan sekarang, kejadian itu kembali membanjiri pikirannya. Kepalanya sampai sedikit nyeri.

"Oh ... di samping wisata kepiting gede tadi." Alexo terus terpaku pada ponselnya.

Kokoi memindahkan matanya menuju Alexo. Dahinya mengerut. "Wisata kepiting gede?"

"Iya ... wisata yang barusan kita lewati."

"Wisata Bahari Lamongan?"

"Nah! Ya itu lah."

"Kepiting gede dari mananya?"

"Ya ampun, Koi ... segede itu lo nggak liat?"

Kokoi menggeleng. Sejauh yang ia lihat hanya patung kodok di pintu masuk depan WBL itu.

"Gini nih kalau yang diliat cuma kenangan," sahut Alexo usai menerbangkan uap vapor dari mulutnya.

Kokoi mulai meraih kopi dan menyeduhnya. Upaya mengalihkan obrolan. "Di daerah pesisir gini ada hotel emang?" tanyanya usai meneguk.

"Gue juga baru tau ada hotel." Alexo membuka Google Maps untuk menemukan letak hotel tersebut. "Lah, ini bukannya rumah sakit tadi ya?" Ia menyodorkan ponselnya pada Kokoi, memperlihatkan lokasi yang dimaksud.

Kokoi menyipit jeli, ikut mencermati.

"Oh ... berarti yang di depannya tadi itu hotel, Men," ujar Alexo mengingat memori penglihatannya. "Ya elah ... gue pikir wisata pantai," lanjutnya sembari terkekeh. Sejauh yang tertangkap oleh matanya saat itu seperti hanya bertulisankan 'Beach' saja. Rupanya 'Beach Resort'.

Kokoi cukup mengangguk meski tidak mengerti maksud Alexo. Ia tadi tidak terlalu memerhatikan sekeliling jalan. "Ya udah di situ aja."

"Tapi nanggung banget nggak sih? Masa cuma semalem? Apa lanjut aja?"

Kokoi lupa sesuatu. Ia belum memberitahu pesan yang baru saja diterima dari Papanya. Ega mengabarkan bahwa pihak investor meminta bertemu di hari Rabu siang saja.

"Woaaah ... mantap! Akhirnyaaaa," ucap Alexo melepas kegembiraan. Ia juga berterima kasih pada Tuhan, yang sudah mengizinkannya rehat sejenak. Kepenatannya selama menempuh perjalanan tergusur seketika.

Mereka pun memutuskan untuk dua hari bermalam di sana.

"Eh ... gue penasaran deh ada apa dibalik kepiting jumbo tadi. Sekalian mampir ke sana yuk ... refreshing."

Kokoi menolak ajakan Alexo. Perkiraannya paling hanya berisi wahana biasa, seperti pada umumnya. "Mending kelarin kerjaan lo dari pada ke sana."

"Maksud gue kalau kerjaan udah kelar. Gimana?" Alexo menggoyangkan kedua alisnya, isyarat membujuk agar ajakannya diiyakan.

"Nggak ah. Lo aja kalau emang mau ke sana."

"Ah nggak seru lo. Ayo lah ...," bujuk Alexo lagi.

Kokoi tetap bertahan dengan jawabannya.

"Ya udah. Eh … mau gue cariin cewek sekalian, nggak nanti? Kali aja ada yang cocok di hati lo," goda Alexo kembali bercanda, berusaha menghibur Kokoi yang sedari tadi terus serius. Wajah Kokoi terlalu tegang untuk dipandang.

"Nggak."

"Lo seriusan tetep nggak akan nikah? Lo beneran nggak homo, kan, Men?" tanya Alexo tetiba mengungkit yang pernah jadi pernyataan Kokoi. Hanya bermaksud menaikkan level candaannya.

"Berisik lo," balas Kokoi berwajah masam, bersamaan dengan sebelah kaki yang spontan menendang kursi Alexo.

Lihat selengkapnya