Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #20

Makam Ketiga

Tiba-tiba layar ponsel menyala. Imel meraihnya. Lalu terbelalak saat mengeja panggilan masuk dari Koi Emas. Wih! Canggih! Enam hari hilang, langsung telepon aja ini orang.

Imel berdehem sebentar. "Assalamu'alaikum. Maaf, Bapak sedang mencari rindu?"

Kokoi menjawab salamnya. "Bukan. Nyari Imelsa. Di mana?"

Imel menahan senyumnya. "Oh Imelsa. Imelsanya sedang ada di rumah Allah tuh, Pak. Ada apa ya?"

"Oh.. Neraka?"

Imel terkekeh. "Wah belum tau kalau itu. Katanya, masih mengantri di bumi. Belum tau deh nanti dapet rumah surga atau neraka. Ada yang mau disampaikan sama Imelsa, Pak?"

"Suruh keluar. Saya di depan."

"Ha? Di depan mana?"

"Masjid. Buru."

"Ha? Imel terbangun dari sandarannya, dengan tangan yang masih menggenggam buku. "Seriusan?"

Kokoi mematikan panggilannya.

"Halo?" Imel memandangi ponselnya. "Anjay. Nggak salah denger nih gue?"

Imel mengemasi barang-barangnya. Usai itu, bergegas keluar dari pintu masjid lantai atas. Ia menuruni tangga dengan semarak. Mendadak banyak debar di dadanya.

Sampai di lantai bawah, matanya menangkap punggung pemuda berkemeja abu-abu lengan panjang, dengan sedikit lipatan sampai bawah sikunya. Sedang terduduk di anak tangga batas suci, paling atas, depan masjid. 

Yang benar saja? Apa matanya tidak salah lihat? Batin Imel bergelora. Kemudian mendekati lelaki itu. Berdiri di sampingnya.

"Loh. Mas Koi?" Imel melongo.

Kokoi mendongak. Membalas tatapan gadis bertudung hitam polos itu. "Apa?"

"Kok?"

"Kok apa?"

"Kok kayak jailangkung?"

"Manusia bukan jailangkung."

Imel terus berkedip datar. Masih tidak menyangka. "Kok bisa di sini?"

"Bisa lah."

"Ngapain?"

Kokoi berdiri. Lalu menghadap searah dengan Imel. Sebelah alisnya terangkat. "Kamu Imelsa?"

"Ya.. Iya Imelsa." Kini Imel yang mendongak.

"Masa sih?"

"Iya lah. Emangnya ada yang punya wajah semanis ini selain Imelsa?"

"Kok gini?" Kokoi memandangi Imel dari atas sampai bawah. Mulai dari kerudung slempang, kaos putih yang diapit jaket denim, sampai celana kulot hitamnya.

Imel tersenyum. "Cantikan ya?"

"Nggak sih."

"Terus?"

"Aliman."

Imel tertawa kecil. "Salah. Bukan aliman. Kenalin...," Lalu mengulurkan tangan.

Kokoi refleks menerima jabat tangan Imel.

"Calon istri solihah."

"Oh."

Bukannya tanya kabar, Imel malah sengaja bergurau. "Kamu calon suami solih bukan?"

"Bukan." Kokoi melepas jabat tangannya.

"Terus?"

"Kokoi."

"Oh Kokoi.. Kayak pernah liat nama itu ada di daftar calon suami Imelsa deh."

"Kayak doang. Lagi free, kan?" alih Kokoi cepat.

Imel menggeleng. "Enggak. Kata siapa?"

"Itu nanya."

"Oh... Kalau gitu lagi mikirin Mas Koi. Itu jawabnya," usil Imel dengan senyuman dan alis yang terangkat.

Kokoi menghela.

"Kenapa pake," Imel menirukan hela napas Kokoi.

"Bisa diem bentar? Gue ngomong dulu."

"No no no.. Mas Koi kudu jawab pertanyaan Imel dulu. Kok bisa di sini?"

"Ya bisa."

"Iya ngapain?"

"Masuk sana," titah Kokoi dengan gerak kepalanya, tanpa berlama-lama menanggapi. Isyarat perintah. Agar Imel bergegas mengikuti instruksinya.

"Masuk?"

"Masuk ke mobil."

"Mobil? Mas Koi jadi ajudan Imel mulai hari ini?"

"Enggak," jawab Kokoi malas.

"Terus?"

"Anterin gue ke Sunan Drajat."

"Anterin?"

"Iya, Imelsa."

"Deket kok dari sini. Jalannya juga nggak rumit. Kalau masih bingung, nanya Eyang Gugug juga bisa."

"Eyang Gugug?"

"Iya. Eyang Gugel."

"Oh.. Kalau ada orang ngapain nanya Google?"

"Iya ya. Kok nggak ngabari Imel dulu? Kok tahu Imel di sini?" alih Imel seketika. 

"Nggak penting. Masuk sana," Kokoi kembali mengintruksi dengan kepalanya.

"Dih! Anda ini minta tolong apa mau nyulik sih? Sopan sekali."

"Sana!"

"Nih," Imel mengulurkan tangannya ke depan.

"Apaan?"

"Ya tangan Imel. Kalau mau nuntun boleh kok. Biar kayak permaisuri kerajaan gitu," jelas Imel tersenyum.

"Kaki lo patah?"

"Enggak."

"Ya udah." Tanpa berlama-lama, Kokoi menuruni tangga.

"Imel nggak mau nganter kalau gitu!"

Kokoi memakai alas kaki hitamnya. "Ya udah. Gue cabut."

"Ya udah," Imel memandangi punggung Kokoi yang mulai menjauh.

"Eh! Nggak jadi ya udah. Jadi mau nganter deh!" lantang Imel usai Kokoi berjalan beberapa langkah.

Kokoi sudah lebih dulu masuk mobil. Langsung menghidupkan mesin. Sedang Imel masih berlari-lari kecil menyusul Kokoi.

Tiba di depan pintu, Imel mengetuk kaca mobil Kokoi dengan kencang. Berulang-ulang.

Kokoi membuka pintu kaca mobilnya. "Apa?"

"Ketinggalan."

"Apanya?"

"Imelnya."

"Masuk! Jangan banyak cing cing!" tegas Kokoi.

Imel tertawa kecil. "Cing cong kali Mas Koi," timpalnya seiring dengan membuka gagang pintu. Lalu lekas masuk. "Cie, bisa receh nih ye."

"Iye," singkat Kokoi. Membuat Imel tertawa geli.

Usai pintu mobil tertutup rapat, Kokoi menginjak pedalnya.

"Cing cing apa kabar, Mas Koi?"

"Nggak kenal cing cing."

"Itu si Popo."

"Nggak kenal Popo."

"Pobi deh Pobi."

"Sehat."

"Aja?"

"Iya apa lagi emangnya?!" Kokoi hampir hilang kesabaran.

"Weitss.. Santuy dong, Mas. Nggak usah pake teori fisika segala."

Kokoi menoleh sebentar. Gagal paham. "Apaan fisika?"

"Maksudnya nggak perlu pake penekanan," jelas Imel menyengir.

Kokoi geleng-geleng saja. Tidak menggubris.

"Si Popo tadi beneran nggak nitip salam rindu buat Imel?"

"Nggak."

"Oh. Kirain nitip. Kalau Mas Koi gimana? Sekarang udah hilang belum rindunya?"

"Nggak punya rindu malah." Harusnya Kokoi membawa plaster mulut khusus untuk Imel saja.

Imel hanya terkekeh.

Selang beberapa detik, tiba-tiba terdengar gebrakan tangan. 

"Astaga.. Mas Koi, Mas Koi! Motor Imel!" ucap Imel mendadak panik.

"Kenapa?" Kokoi berusaha tetap tenang menanggapinya.

"Di masjid."

"Bakal ilang?"

"Emm.. Enggak sih."

"Ya udah."

"Iya, ya?" Imel kembali menyandarkan punggungnya.

Kokoi sampai menggeleng kecil.

"Serasi juga ya?"

"Apanya?"

"Tampang Mas Koi sama baju Mas Koi."

"Oh."

"Btw, ini kencan kedua kita?" Imel tidak lelah bicara.

Kokoi tidak menjawab.

"Oi, Mas Koi!"

"Hmm."

"Kok cuma hmm?"

"Bukan." Kokoi tetap fokus ke depan.

"Bukan apa?"

"Bukan kencan."

"Terus?"

"Ziarah."

Imel mengangguk pelan. "Oh.. Kencan jaman now emang pake motif ziarah begitu, ya?"

"Ziarah, bukan kencan."

"Kalau perginya sama Imel ya kencan namanya."

"Terserah lo dah."

Imel terbahak. "Iya, kan? Sekarang coba jelasin, kenapa Mas Koi milih Imel buat teman ziarah makam? Hmm?"

"Pengen aja," terang Kokoi asal.

"Pengen itu artinya suka Imel, kan?"

"Pengen aja, bukan suka," Kokoi membenarkan.

"Yayaya, Imel tahu pengennya nanti bakal ngembang jadi suka. Tunggu aja."

"Terserah."

"Kayak lagu ya. Terserah.. Kali ini.. Mas Koi nanti akan peduli." Imel melirik Kokoi dan langsung membuang muka ketika Kokoi membalas lirikannya. Mulutnya terus bersenandung. "Imel tak sanggup lagi, jalani.. jalan-jalan ini."

"Berisik."

"Iya lah. Itu resiko Mas Koi milih Imel jadi tour guide. Udah tau berisik. Diajak pula. Bilang aja kalau bersama Imel itu menyenangkan. Iya, kan?" Imel kembali menoleh ke arahnya.

Kokoi tidak menyahut

"Apa susahnya sih Mas Koi?"

"Apa?"

"Ya.. Apa susahnya bilang terus terang kalau Imel itu menyenangkan?"

"Oh."

"Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salam!" timpal Imel tanpa bernapas, "Kok oh sih?!"

"Ya Mukmin, Ya Muhaimin."

Imel mencoba agar tidak tersenyum. "Ya 'Aziz, Ya.. Jabbar, Ya... apa lagi ya?" Ia berusaha mengingat, "Ya.. lupa ah terusannya!"

Bibir Kokoi mulai mengembang.

Lihat selengkapnya