Aku Imelsa. Sedang bernapas dan bertahan hidup di Pantura. Bila penduduk pesisir utara identik dengan mata pencaharian sebagai pelaut, maka tidak dengan orang tuaku. Aku anak dari sepasang tengkulak baju. Kami keluarga yang utuh. Tidak termasuk hatiku.
Sudah terlalu sering aku rapuh dalam keutuhan. Bahkan, aku sampai rindu dengan apa yang disebut sebagai kekeluargaan. Orang sekitar sering melabeliku sebagai gadis periang. Tapi itu kelihatannya saja. Mungkin kalau si gadis yang senang bertopeng demikian, lebih pas.
Aku masih manusia pada umumnya, yang punya porsi sedu juga. Tapi, berhubung pernah tergabung ekstrakurikuler teater semasa SMA dulu, drama telah mengakar dan menjadi canduku. Ia yang berkontribusi menyulap air mataku menjadi sebuah tawa.
Begitulah ... aku memang paling tidak suka menampakkan air mata di hadapan orang-orang yang kucinta. Di luar pertunjukkan drama tentunya. Cukup bersama alam kuceritakan segala hal yang membuatku lara. Lainnya, tawa untuk semesta beserta para penduduknya. Kecuali, untuk Bapak.
Entah sangat susah. Yang ada malah sulit terukir kalau sudah berjejer dengan Bapak. Auranya begitu mengganggu. Kehadirannya justru menguras tabungan tawaku. Lalu tahu-tahu dada menyimpan sesak begitu saja. Dan pasokan bahagiaku jadi berkurang seketika.
Sampai aku tidak percaya kalau rumah bisa menjadi tempat berpulang terbaik. Walau katanya, harta yang paling berharga adalah keluarga. Tapi yang kurasa, justru seperti tumbuh sebagai anak yang tak pernah berharga ... di mata Bapak terutama.
Saat sebagian anak manusia merindukan kehadiran ayahnya yang telah tiada, aku malah mengharapkannya lekas tiada. Bukan tiada dengan tutup usia, melainkan berpisah dengan Ibuk, yang lebih kucinta. Tentu saja aku mencintai Bapak juga. Bagaimana pun dia tetap orang tuaku. Tapi cintaku biasa saja. Bukan benci. Hanya lelah menghadapi.
Mungkin, orang-orang akan menyebutku sebagai anak yang tidak mensyukuri keberadaan ayahnya. Atau memberi klaim sebagai anak durhaka. Tidak masalah bagiku disebut sebagai apa. Bila ada yang menganggapku seperti itu, mungkin karena tidak pernah ikut merasakan saja, tentang seperti apa tersiksanya jiwa kala hidup di tengah keluarga yang lebih dominan pertikaian daripada belaian, yang lebih penuh kebisingan daripada kedamaian, pun penuh dorongan, tapi minim dukungan.
Kadang aku berpikir, buat apa rumah tangga seperti ini dipertahankan? Aku sebagai anak yang mempunyai mata dan telinga, tentu terus tersiksa dalam diam. Pernah ada harap keluarga seperti ini bisa bertahan dengan perubahan baik. Tapi sampai detik ini, keduanya masih hobi meninggi dengan egonya sendiri-sendiri. Bahkan, arah pikiran mereka sulit sekali kumengerti.
Aku jadi teringat, dulu pernah terngiang bercita-cita memiliki sekolah berdaya. Terlebih untuk menempa wanita. Pikirku agar makin banyak yang peduli terhadap pertumbuhan generasi. Selain itu, aku ingin melihat jutaan wanita bahagia. Bukan menderita. Beserta anak-anak yang sekalipun tumbuh di keluarga patah, sepertiku.
Tapi ... apa yang demikian bisa sanggup teraih? Sedang relitanya, aku masih sesekali merasa tak berdaya dengan semuanya. Tak mudah rupanya untuk menyelamatkan jiwa dari hantaman wicara. Terlebih bila yang menyesakkan itu berasal dari keluarga sendiri. Kadang juga terlintas untuk mengakhiri hidup saja. Sayangnya, Tuhan pasti tidak suka melihatku seperti itu. Hingga berkali-kali, selalu kupaksa diri ini untuk terus berupaya menjaga stamina jiwa. Dengan cara apa saja. Demi sanggup bertahan hidup.
Aku jadi rindu dengan nyala asaku yang dulu. Begitu membara. Berbeda dengan yang sekarang. Biasa saja. Seakan malas untuk berambisi lagi. Inginnya cukup menikmati yang ada saja. Tapi ya ... menjenuhkan juga bila begini melulu. Perlu menuju yang ingin aku tuju. Sayangnya, belum ada gairah untuk saat ini. Tidak tahu kalau nanti berganti.
Entahlah ... ini bermula dari pasca Bapak terjatuh dari kecelakaan usahanya. Ratusan juta melayang dalam hitungan satu kedipan mata. Akibat ditipu rekan bisnisnya. Dan membuatku terjeda untuk kuliah. Bahkan, sampai sekarang hanya berijazah SMA.
Aku tahu, kesuksesan seseorang bukan teletak pada seberapa tinggi ijazah yang dipunya. Hanya saja, aku masih ingin sekali mengenal dunia lebih luas lagi. Dari menjelajah bumi, memperlebar relasi, hingga memahat pengalaman. Pasti tidak mudah bila berada di sana. Apalagi menjadi anak rantau. Tapi kukira lebih menyenangkan. Karena diri akan terlatih lebih mandiri dalam segala lini. Pun lebih terbuka akan banyak hal. Sayangnya, kondisi masih memaksa kakiku tetap berdiri di sini, Pantura.
Pernah juga terbesit keinginan untuk kuliah di jurusan psikologi. Tak tahunya, kini psikisku yang butuh banyak diterapi. Lucu sekali. Bayangkan saja, sedari remaja yang kala itu masih berusia belasan tahun, bentakan hampir tiap hari menimpa dada. Bahkan, untuk memori masa kecil, yang sanggup kuingat paling banyak adalah masa-masa peliknya.
Mungkin kebiasaan dibentak sudah menggugurkan banyak memori terindah di masa kanak-kanakku. Ibuk pernah bilang, masa kecilku itu nakalnya luar biasa. Ceriwis, sering merecoki pekerjaan, merusak barang-barang, pun kadang suka hilang melanglang tidak pulang seharian. Sudah begitu, susah dicari pula. Sampai lelah sendiri dan sempat dititipkan pada simbah, di luar pulau bagian pelosok sana. Aku sendiri tidak ingat kalau kenyataannya memang begitu.
Tapi, justru aku bahagia semasa bersama simbah dulu. Di sana malah bisa berlari ke mana pun semauku. Bebas. Aku senang simbah selalu membolehkan itu. Tidak banyak larangan. Kawan bermainku waktu itu juga sangat beragam. Mulai dari yang seumuran sampai yang setua simbah. Semua berkumpul jadi satu. Saling terbahak tanpa memandang perbedaan usia. Aku pun sering diajak berpetualang. Seru! Meski menjelajahnya sekadar dari sawah ke sawah. Tapi, begitu saja sudah sangat menyenangkan. Dan hanya itu satu-satunya memori indah semasa kecil yang sanggup kuingat.
Beda jauh dengan yang di sini. Makin bertambah usia malah serba terbatasi. Sudah begitu, rumah ada tapi seisinya berjarak. Buat apa? Benar-benar sesak!
Sampai sekarang ... sesaknya masih ada. Hanya saja sudah cukup terlatih. Mulai terbiasa dengan ragam ceramahan. Apalagi yang keluar dari mulut Bapak. Padahal persoalannya sederhana. Misalnya ... sewaktu Bapak menyuruhku untuk mengambil baju permintaan pembeli, ketika sedang ramai-ramainya.
"Denger, nggak?!" ucap Bapak asal meninggi sambil menoleh ke belakang, tertuju padaku.
Tentu saja saat itu aku mendengar. Meski ingin sekali menuli. Aku hanya malas merespon perintah Bapak yang terlalu membentak. Wajah orang-orang sampai berlari ke arahku.
Bukan hanya mata yang sedang kebingungan menyoroti, tanganku juga sedang bergerak mencari. Bapak saja yang tidak sabaran. Dan aku sengaja diam. Tidak tertarik meladeni omongan garangnya. Sakit bila diperintah dengan cara seperti itu. Mulutku selalu berat untuk menyahut. Jengah juga. Yang santai kek. Tidak usah sampai melotot begitu.