Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #8

Menyapa

Malam ketiga ini, Imel tidak sedang di rumah sakit. Galang yang menggantikannya berjaga. Ia sudah merebah di dalam kamar, dengan jemari yang sedang mengetik kalimat salam, dan dikirim untuk Kokoi. Upaya menyapa.

Tak lama, Kokoi menjawab salam Imel. Terbaca sudah pesan pertama Kokoi. Imel pun menunggu balasan selanjutnya. Sayangnya, beberapa menit berlalu, belum ada bunyi notifikasi lagi. Juga tidak ada tanda-tanda typing. Padahal, sedari tadi tertera sedang online.

Imel mengernyit keheranan. Kenapa Kokoi tidak menanyakan siapa dirinya? Ia mengirim pesan lagi.

---

Imelsa:

Tau saya Pak?

Koi Emas:

Ga

---

"Gusti ilahi Rabbi! Balesan macam apa ini?!" Kali ini Imel mendelik sampai terbangkit dari rebahnya, lalu duduk bersila, dilengkapi guling yang terapit oleh paha dan sikutnya.

"Gitu doang nih?!" Tubuh Imel jadi mendadak gerah gegara membaca balasan pemuda itu. Jemarinya kembali mengetik.

---

Imelsa:

Ga pengen tau saya siapa?

---

Imel menunggu sesaat, sembari bergumam sendiri. Kalau dipikir-pikir, salahnya memang. Harusnya tidak perlu memprivasi foto profilnya. Kalau begini, jelas Kokoi tidak tahu dirinya siapa. Tak lama, satu pesan baru masuk.

---

Koi Emas:

Ga penting

---

Imel ternganga membacanya, lalu geleng-geleng. Dadanya runyam seketika. "Jaaan ... ganteng-ganteng kok jempole kek taek sih?!" keluhnya penuh geram. Tinggal ditaburi satu cubit garam, pasti sudah ia kunyah ponselnya.

Gairah Imel meredup. Sedari tadi matanya sudah sayup. Ia jadi malas untuk membalas pesan pemuda itu. "Wis ah. Gak ngurus rupamu!" Ia bersegera mengunci layar dan menjauhkan matanya dari pesan pemuda itu. Kemudian membuang ponselnya di atas meja. Tidak peduli. Bahkan, terbesit untuk sepakat tidak lagi mengirim pesan kepada Kokoi. Responnya terlalu menjengkelkan.

Rencana Imel untuk meminta maaf dan berterima kasih ulang, dibatalkan. Ia bergegas mematikan lampu, berbaring dan secepatnya menutup mata. Kemudian mengatur napasnya perlahan, rileksasi sebelum menuju alam mimpi.

Besok pagi, Imel harus pergi ke pasar untuk kembali bertugas, menjaga toko baju milik ayahnya. Ia lebih memilih terlelap sekarang, istirahat dari pikiran yang penat. Paginya tadi sudah cukup sesak karena menyantap omelan Galang. Akan makin tidak nyenyak bila ditambah dengan mengomeli balasan pesan singkat itu.

***

"Aloha! Selamat pagi, Cak Eman, yang tak kunjung tampan rupawan," sapa canda Imel seperti biasa, berbahasa ala pujangga. Tak lupa dengan senyum merekah, sampai mata dan hidungnya mengerut sempurna.

Imel menjulukinya Cak Eman, si preman berbadan kekar dengan tato penuh di tubuhnya. Eman adalah penguasa seluruh parkiran pasar di sana.

Sebetulnya itu bukan nama asli. Bahkan tidak ada yang tahu karena nama terang Eman selalu disamarkan. Sebelumnya, orang-orang memanggilnya Cak Tato. Hanya saja, Imel sudah lama menamainya Cak Eman. Lambat laun orang-orang turut memanggilnya demikian, mengikuti jejak Imel. Termasuk Eman sendiri.

"Eman tuh lebih kerenan, Cak. Tato mah udah pasaran. Masa bos besar parkiran pasar, namanya pasaran?" kata Imel hari itu, saat Eman protes karena nama panggilannya dirubah. Eman hanya terkikik geli dibuatnya.

"Pagi juga cah ayu, kesayanganku," sahut Eman dengan logat Jawanya.

"Ayu doang nih? Manisnya mana? Comelnya mana?"

"Waduh .. iya lupa. Saking sempurnanya."

"Loh ... wajahku mengandung empat sehat lima sempurna, tho? Wah ... baru tau," balas Imel heboh sambil memegang kedua pipinya.

Spontan, mereka terbahak bersama.

"Kondisi calon mertua gimana?" Eman mengalihkan.

"Nanya mulu. Jenguk kek. Terus bawa buah sepasar gitu," canda Imel balik. Ia sudah biasa menanggapi ucapan orang-orang yang bercanda separuh menggoda. Sudah kebal.

Eman tertawa. "Lha iya. Rencananya gitu. Cak Eman ini udah niat mau jenguk calon mertua, sore nanti. Jangankan buah, bahkan penghulu sampai geng sekompleks pun bisa Cak Eman bawa."

Imel terkekeh. "Halah! Cocot bekicot, bacot thok!"

Tawa Eman kembali meledak. Ia memang akan menjenguk Nunu bersama beberapa masanya. Tapi Imel malah melarang karena Nunu belum sadar penuh. Imel memberi masukan agar menjenguk saat ibunya sudah cukup membaik saja. Eman menurut.

Perbincangan mereka terus berlajut. Eman menanyakan kronologis kejadian yang menimpa Nunu malam itu. Lalu Imel menceritakannya. Saat itu, Imel memang mengeja plat nomor kendaraan pelaku. Tapi ingatannya lemah. Seandainya Imel tidak lupa berapa persisnya nomor plat motor itu, Eman pasti akan segera mencari. Bahkan bisa menghabisinya.

Hubungan mereka memang sangat baik. Sudah seperti sanak saudara. Meski dari segi tampang Eman terkesan mengerikan dan urakan, Nunu tetap selalu memanusiakannya. Hampir tiap hari Nunu membagikan nasi bungkus kepada Eman, sebagai wujud timbal balik atas kebaikan Eman yang sudah menggratiskan parkiran motor. Padahal, harga bayar parkir tidak lebih mahal dari harga sebungkus nasi.

Di sisi lain, Eman juga banyak terbantu oleh kehadiran Imel dalam melancarkan beberapa misinya. Tidak heran bila Eman bersikap demikian. Bahkan, bila siapapun berani mencelakakan Imel, pasti akan berurusan langsung dengannya.

Lihat selengkapnya