Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #9

Makam

Bertepatan dengan kumandang adzan ashar, mereka tiba di lokasi.

"Bilang dong lo kalo mau ziarah ke sini. Ke makam, ke makam!" keluh Alexo masih geram. Ia pikir akan ke makam kawan Kokoi yang tidak ia kenal.

"Emang makam, kan? Mau ngapain lagi ke makam kalo bukan buat ziarah coba?" Kokoi tetap menjawab enteng.

"Ya kali aja lo mau beli kavling kuburan di sini, buat persiapan mati nanti," timpal Alexo mengasal.

Kokoi tidak menanggapi. Hanya tertawa lepas.

Mereka menyusul shalat jama'ah terlebih dahulu sebelum akan berziarah.

Persinggahan kali ini cukup menarik bagi Kokoi. Kata Lesta, di pesisir utara Jawa Timur terdapat beragam deretan makam para wali. Tiap makamnya relatif berdekatan. Tersebar di tiga kabupaten yang bertetangga, di antaranya; Tuban, Lamongan, dan Gresik.

Kokoi baru diberitahu Lesta terkait itu. Mamanya memang pencinta sejarah dari dulu. Termasuk sejarah Wali Songo. Kokoi pun sering mendengar beberapa penggal cerita itu dari Lesta, disamping memang berkeinginan pribadi untuk menjelajahi secara langsung.

Lesta menyuruh Kokoi menyempatkan diri mampir ke beberapa makam wali di sana, untuk berziarah sebentar. Kapan lagi? Mumpung satu arah. Itu pun bila sedang luang.

Makam Syekh Maulana Ishaq yang berlokasi di Desa Kemantren- Paciran- Lamongan, menjadi pijakan pertama Kokoi di Pantura, salah satu makam yang selalu ramai didatangi peziarah. Bahkan, bus-bus besar dari beragam kota saling silih berganti memasuki desa ini.

Syekh Maulana Ishaq atau dikenal sebagai ayah Sunan Giri, adalah salah satu waliyullah di tanah Jawa. Konon, meski bukan menjadi bagian Wali Songo, tapi lewat kepiawaiannya beliau turut berperan besar dalam penyebaran islam. Terutama mengajarkan islam lewat media musik. Lebih tepatnya media sastra yang diiringi alunan gambang. Dan Kokoi bermaksud ingin melihat benda-benda peninggalan yang ada di sana.

"Kalau untuk benda peninggalannya dimuseumkan di Sunan Drajat, Mas," salah seorang lelaki tua bersarung menjawab pertanyaan Kokoi, pengurus makam. Ia juga menceritakan histori makam wali di sana.

Baik Kokoi maupun Alexo, cukup manggut-manggut. Rupanya Kokoi salah bersinggah. Kokoi pikir benda peninggalan tidak di museumkan di tempat lain. Tapi tak apa, sudah terlanjur dan tidak menjadi masalah. Kokoi melanjutkan obrolannya.

"Kalau Syekh Maulana ...," Kokoi berusaha mengingat nama, "Maulana Ibrahim, bukan ya? Beda berarti, Pak?" tanyanya lagi.

"Syekh Maulana Malik Ibrahim?" Bapak itu membenarkan. "Beda, Mas. Beliau Sunan Gresik. Tapi masih sesaudara sama Syekh Maulana Ishaq," jelasnya dengan medok.

Alexo cukup mendengar dengan seksama. Pengetahuan ini masih asing baginya. Sedang bagi Kokoi, meski tidak asing, tapi ia agak lupa-lupa ingat dengan apa yang pernah Lesta ceritakan.

"Kalau beliau Sunan tertua di tanah Jawa. Bagian dari Wali Songo yang pertama. Untuk makamnya ada di kota Gresik, Mas," tuntas Bapak itu.

Alexo berbisik di telinga Kokoi. "Wali Songo apaan?"

"Serius lo nggak tau Wali Songo?" Tidak mengagetkan bagi Kokoi. Yang ia tahu, perihal dunia keislaman Alexo memang jarang mau menahu. Jangankan itu, ibadah sholatnya saja sering dilewatkan dengan sengaja.

Kalau bukan karena dorongan Kokoi, sepertinya Alexo akan terbiasa mengabaikan begitu saja. Tapi seiring bertambahnya umur, Alexo perlahan menyadari betapa pentingnya membiasakan diri untuk sholat penuh lima waktu. Meski yang terjadi masih sering dilewatkan juga.

"Semacam ulama zaman dulu gitu?"

"Googling gih."

"Tinggal ngasih tau apa susahnya sih?!"

"Wali Songo itu wali Allah yang istimewa, Mas. Mereka punya pengaruh yang sangat besar terhadap penyebaran islam di tanah Jawa," Lelaki tua itu ikut menyahuti karena bisikan mereka terlalu mudah didengar. "Yang mana, semuanya nggak lepas dari pendekatan dakwah mereka yang halus dan cerdik. Sampai-sampai, banyak masyarakat yang agamanya beragam waktu itu memilih untuk memeluk islam dengan suka rela," tuntasnya.

Alexo mengangguk mulai mengerti.

"Lain kali, jangan cuma cewek aja yang lo cari tau," bisik Kokoi mengejek.

"Nggak juga. Cuma wisata religi aja kali yang nggak banyak gue cari tau."

"Oh ya?"

Alexo tidak menyahut. Meski ucapan Kokoi ada benarnya. Tak lama, ia mengalihkan, hanya menyibukkan tangan untuk membidik gambar. Buat apa lagi kalau bukan untuk diunggah ke Google Maps. Bukan Alexo namanya bila tiap persinggahan tempatnya tanpa dilengkapi dengan memberi rating dan review.

Kokoi dan lelaki tua itu terus berbincang. Mereka juga saling bertanya asal tempat tinggal.

"Oalah ... jauh ya." Bapak itu mengira Kokoi bagian dari rombongan bus yang sedang berada di sekeliling makam.

"Bukan, Pak. Kami rencana buka proyek baru di Gresik. Tapi ada agenda dulu ke Surabaya. Kebetulan lewat sini. Jadi mampir sebentar," jawab Kokoi dengan senyum. Meluruskan.

"Oh gitu ...," Bapak itu menganggukkan kepala, sembari mendoakan supaya proyek mereka berjalan lancar. Kemudian menyarankan agar turut bersinggah di makam terdekat, seperti Sunan Gresik dan Sunan Giri. Berhubung akan ada berkeperluan di sana.

Setelah selesai dengan ritual ziarah, mereka beranjak melanjutkan perjalanan.

"Koi, Koi ...," Alexo menepuk bahu Kokoi berulang-ulang.

Kokoi menjeda langkahnya. "Apa?"

"Tuh,tuh ... liat!"

Kokoi mengikuti arah telunjuk Alexo. Tapi matanya malah terhenti di gadis berkerudung hitam yang sedang terduduk di anak tangga masjid bagian depan, tampak tengah bergurau dengan seorang anak perempuan, di lain arah.

Alexo memutar kepala Kokoi sedikit. Mengarahkan ke sisi yang dimaksud. Bukan yang sedang dilihat Kokoi. "Yang itu ...."

"Kenapa emang?" tanya Kokoi mengernyit. Ia tidak paham mengapa tiba-tiba Alexo menyuruh untuk memerhatikan gadis berkerudung sepunggung warna merah muda itu. Terlihat sedang mengajar mengaji beberapa anak di depannya. Selain berkulit putih, dari kejauhan terlihat anggun dan berseri.

"Apa selera bini lo yang kayak gitu?"

Kokoi membuang napas, lalu menggertak kepala Alexo. "Berhenti ngurusin selera orang!" Ia tidak habis pikir dengan isi kepala Alexo yang serupa dengan mamanya. Sedikit-sedikit wanita. Mungkin memang ujian Kokoi karena memilih untuk tetap setia melajang.

Alexo terkekeh, setengah merintih.

Kokoi mengembalikan pandangannya menuju gadis berkerudung hitam tadi. Wajahnya seperti tidak asing.

Alexo pun mengikuti arah bola mata Kokoi. Ikut mengamati. "Eh, bukannya itu si bocah aneh kemaren ya?"

Rupanya bukan hanya Kokoi yang mengira demikian.

Gadis itu menoleh beberapa saat. Ia berbalik menatap ke arah mereka. Hanya berkedip datar, sambil merapikan bagian kerudungnya yang berkibar berantakan, akibat tertiup angin timur.

"Wuiiih ... nggak salah liat nih gue?" Mata Alexo terbelalak dengan kepala masih menerka.

"Bener, Man. Nggak salah lagi. Cewek aneh itu, kan?" lanjut Alexo mantap. Ia tidak menyangka bisa berjumpa lagi. Apalagi dengan penampilan yang jauh berbeda. Terakhir yang dilihat sebelumnya, gadis itu bercelana sobek-sobek. Lengkap dengan kaos polos hitam yang berlengan pendek.

"Iya. Kayaknya emang dia."

"Gila ... pangling gue kalo dia pake kerudung gitu. Cepet bener tobatnya," Alexo tertawa remeh.

Dari kejauhan, mata mereka masih saling beradu pandang. Bersamaan dengan itu, gendang telinga Kokoi terus dipenuhi ocehan Alexo.

"Ah ... tapi paling cuma lepas pasang aja. Gue yakin."

Kokoi kembali menggertak kepala Alexo. "Berhenti ngurusin hidup orang!"

Alexo merintih lagi, lalu mengusap rambut belakang bekas gertakan Kokoi. Alexo memang sengaja terus bicara. Sebab yang ia heran, gadis itu sudah berpaling, tapi Kokoi masih saja menatap beku ke arahnya. Momentum langka baginya.

Tak lama, Alexo menegakkan telapak tangannya di depan wajah Kokoi. Lalu digerakkan cepat dari atas ke bawah secara berulang. "Kalo yang itu bukan selera lo kan?" bisiknya menggoda sinis.

Kokoi menyingkirkan telapak tangan Alexo. "Bukan lah!"

"Ya udah, ayo cabut! Ngapain lo pelototin terus? Naksir?" pancing Alexo memanasi.

Kokoi membalas dengan satu jitakan. "Ayo!"

Saking kencangnya, Alexo sampai tertunduk dan merintih. "Sialan lo, ah!" Ia kembali mengusap-usap punggung kepalanya untuk yang terakhir kali. Bukan karena sakit, hanya sengaja terlihat kesakitan agar Kokoi berhenti menampar kepalanya lagi.

Lihat selengkapnya