Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #11

Binar Bahagia

Setibanya di rumah, Nunu kembali mengucapkan terima kasih. Ia mempersilahkan dua pemuda itu masuk untuk menjamu terlebih dahulu. Semula Kokoi menolak tapi Alexo menggagalkan penolakannya.

"Kalo saya numpang minum berarti boleh dong, Bu?" pinta Alexo separuh sipu.

"Sumpah, Man. Gue dehidrasi," Alexo membalas pelototan mata Kokoi.

"Ya kan beli di jalan bisa, Lex," desis Kokoi berupaya kekeuh dengan penolakannya.

"Udah ayo masuk aja," ajak Nunu paksa.

"Iya masuk aja, Om. Kasihan tuh Mas Lexnya. Bisa pingsan di tengah jalan nanti," sahut Imel selepas menutup pintu mobil.

Alexo mengangkat kedua jempolnya. "Thanks buat pengertiannya, ponakan baru Kokoi. Hari ini lo gue maafin."

Imel terbahak. "Ponakan baru?"

"Iya. Kan dia Om baru lo."

"Oh ... iya ya, Om baru." Imel mengangguk polos sembari menangkap mata ketus Kokoi. "Eh ... Bukan Om," ralatnya cepat dengan menyengir.

"Duluan ya, Om," pamit Alexo mengejek. Ia sempat menatap Kokoi beberapa detik, sambil menggoyangkan alisnya sebelum turun dari mobil.

Kokoi menghela lagi. Terpaksa menyusul langkah mereka.

***

"Maaf ya mas-mas mahal. Adanya cuma ini. Selamat minum," ucap Imel saat menyuguhkan dua gelas es jeruk pada Kokoi dan ALexo. Kemudian menghidupkan kipas angin, mendinginkan udara Gresik yang masih tersisa panas.

"Lah ... punya gue kok nggak ada esnya?" komplain Alexo.

"Esnya nggak ada yang mau dicemplungin ke situ tadi," sahut Imel enteng.

"Ya Allah, Nduk ... buat lagi sana!" geram Nunu seketika. Bisa-bisanya Imel masih menjengkelkan dihadapan tamu.

Mau tidak mau, Imel kembali melangkah dengan berat.

Kokoi benar-benar ingin terpingkal lepas. Tapi tangannya malah mengepal dan menempel di bibirnya. Ia berusaha mengunci agar tawanya tetap tertahan.

Bersamaan dengan itu, adik Imel datang. Mereka serempak menjawab salam Nela.

"Mbak Imel di mana, Buk?"

"Lagi di dalam bikin minum."

Alexo menyusuri seragam abu-abu putih Nela dan berhenti di parasnya. Benar, adiknya lebih cantik. Bertubuh tinggi ideal, berkulit cerah, dengan bola mata hitam dibalik bulu mata lentiknya. Gurat senyum Nela tidak jauh berbeda dengan Imel. Ia pikir Imel hanya bercanda.

"Mbak Imeeel ...," panggil Nela kencang. Baru saja Nela akan berjalan menghampiri. Tapi mereka sudah berpapasan di ambang belakang ruang tamu.

"Oi ...," Imel menyahut. "Apa, Sist?"

"Kukasih kabar gembira."

"Heleh ... paling kamu thok sing gembira."

Nela menyengir. "Iya sih."

"Apaan?"

Nela berbisik di telinganya.

"Wah ... alhamdulillah dong? Mantap tuh! Yo wis nanti aja, ada tamu. Ganti baju dulu sana."

Nela menurut, lalu berjalan memasuki kamarnya dengan riang. Seperti baru menang undian uang jutaan.

Imel kembali menyuguhkan es jeruknya. "Innalillahi!" keluhnya tiba-tiba mengagetkan.

Baik Nunu, Kokoi, maupun Alexo saling bertanya pada Imel.

"Itu ... kok udah kosong sih? Cepet banget," tunjuk Imel menuju gelas depan Alexo.

"Ya elaaah ... gini doang heboh lo! Gue pikir apaan," sahut Alexo geregetan.

Riuh tawa seketika. Mereka saling berdecak sebal. Suasana jadi semakin cair. Detik itu juga Imel langsung menyergap wajah Kokoi. Dadanya melambung girang ketika melihat Kokoi akhirnya lepas tawa. Sungguh semakin menawan baginya.

"Iya lah. Punya Om, eh bukan Om aja masih penuh itu," telunjuk Imel berpindah menuju gelas minum Kokoi.

"Beda lah. Kan udah dibilang gue dehidrasi."

"Awas aja kalo sampe ngabisin segalon. Inget ya, cuma tamu. Dilarang rakus!"

"Nduk!" tegas Nunu memotong. Ia mengintruksi agar Imel menjaga bicaranya. "Udah, ndak usah dengerin Imel. Minum aja yang banyak. Kalo kurang biar Imel bikinin lagi nanti."

"Nggak bisa bikin lagi, Buk. Jeruknya itu udah pada lari. Pada nggak mau dituang ke gelas. Katanya nggak suka kalo diminum sama Mas Lex," tolak Imel melembut.

Kokoi geleng-geleng kepala sambil menyunggingkan senyum. Ia terheran dengan segala kata-kata Imel.

"Pokoknya buat Mas Lex cuma tersisa air putih aja ya habis ini. Sorry!" sambung Imel kembali tertuju pada Alexo. Ia sengaja membuat Alexo kesal agar setimpal.

Beberapa menit kemudian, Ayah Imel datang. Semua menjawab salam bersamaan. Galang langsung menjabat tangan Kokoi dan Alexo. Setelahnya, ikut duduk berlesehan di samping Nunu dan mulai melempar tanya dengan ramah. Sangat berbeda dengan wajah yang sempat Kokoi perhatikan malam itu.

Sore ini menjadi awal perbincangan paling panjang mereka.

Di tengah obrolan, Kokoi berkali-kali melirik Imel. Sejak ayahnya datang, gadis itu lebih banyak terdiam. Tidak sebising sebelumnya. Kokoi sendiri tidak mengerti dengan segala sikap Imel. Berganti-ganti bagai musim di luar pulau khatulistiwa.

Sungguh aneh. Seaneh beberapa kejadian yang dijumpakan pada Kokoi. Lebih aneh lagi ketika Imel selalu membalas tiap tatapannya dengan senyuman. Imel juga masih sempat-sempatnya usil dengan menggoyangkan alis. Lalu tahu-tahu tertunduk membungkam bibirnya. Membuat Kokoi terganggu. Sekaligus penasaran.

Kokoi lupa kapan terakhir kali merasa sepenasaran itu. Apalagi terhadap perempuan. Belum ada lagi. Paling terakhir hanya Sonya. Lainnya biasa saja. Bila begini, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeleng heran. Pun menepis getaran rasa yang tahu-tahu terselip di dadanya.

Dalam diam, kepala Kokoi bertanya-tanya. Apa iya Sonya terlahir dalam wujud yang berbeda? Pasalnya, senyuman Imel selalu membawa pikirannya menuju Sonya. Ukiran bibir itu selalu menghujam jantungnya. Tapi tidak terasa sakit, justru membuat perasaannya seakan terbangkit.

Di lain sisi, Alexo tersenyum tipis memerhatikan Kokoi. Tampak jelas ada yang tidak biasa dari lirikan mata Kokoi. Kecurigaaanya bertambah.

***

Sebelum mentari sempurna tenggelam, Kokoi dan Alexo pamit menuju tempat bermalam. Imel mengantar sampai depan gang karena mobil mereka terparkir di luar. Di depan rumahnya memang tidak ada spasi jalan untuk parkiran mobil.

Setelah mereka memasuki mobil, mesin kendaraan mulai terdengar. Imel masih berdiri di samping pintu mobil, bersebelahan dengan Alexo, menunggu sampai melaju.

"Eh, mas-mas," panggil Imel mengetuk kaca mobil saat Alexo baru akan menginjak pedal.

"Apalagi?" tanya Alexo ketika kaca mobil diturunkan.

Imel tersenyum penuh sipu. Senyum yang dibuat-buat. "Mas-mas kan besok mau ke kota nih? Masih bermalam di Beach Resort, kan?"

"Kenapa emangnya?" Alexo terus meresponnya. Sedang Kokoi hanya memerhatikan.

"Balik ke kotanya kapan?"

"Minggu siang mungkin."

"Langsung ke Surabaya?"

"Iya. Nanya mulu lo. Kenapa?"

"Emm ... boleh nitip buku, nggak?" pinta Imel tanpa malu. Ia berusaha mengatur cara agar hari ini bukan menjadi perbincangan akhir mereka.

"Buku?" Alexo memastikan tidak salah dengar.

Imel mengangguk antusias.

"Nggak! Nggak ada titip-titipan. Emangnya kita jastip apa?!"

Seketika Imel melesu, lalu cemberut. "Ya udah deh."

"Buku apa?" Kokoi membuka suara.

Imel kembali sumringah, lalu menjawab dengan tempo cepat. "Bukunya Joko Pin—"

"Ikut aja kalo gitu," pangkas Kokoi tanpa pikir panjang.

Imel tersentak. Ia memastikan tak salah dengar. "Ha? Beneran?"

Alexo langsung menoleh ke arah Kokoi. Ia tercengang penuh. "Lo mau ngajak bocah aneh ini?"

Kokoi mengangguk santai. Pikirnya itu akan lebih mempermudah karena banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Bukan malah titip dibelikan. Lagi pula, jarak antara hotel dengan rumah Imel tak begitu jauh. Malah searah. Tidak masalah baginya bila gadis itu menumpang bersamanya.

"Tapi nanti cari buku sendiri ya. Kita nggak bisa nemenin soalnya ada meeting," tambah Kokoi.

Lihat selengkapnya