Sesampainya di toko buku, Imel turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Sesuai kesepakatan, mereka akan menjemput Imel usai meeting nanti.
"Siap, komandan!" hormat Imel di tengah deru kendaraan yang sedang berbalap-balapan.
Imel segera melangkahkan kakinya menuju toko buku sambil meraba tas selempangnya, sedang mencari ponsel. Memandangi langit sore di kota kali ini membuat jarinya gatal ingin posting status. Langkahnya terhenti sebelum tiba di pintu masuk.
"Kok nggak ada ya?" Seingat Imel tadi sudah memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah sempat beberapa saat memainkannya di mobil. Tangannya berpindah. Ia mencoba merogoh sakunya. Pun tidak ada.
Imel kembali berbalik dengan sedikit berlari. Ia berupaya menghampiri mobil Kokoi yang terlihat baru bergerak maju. Perkiraanya mungkin terjatuh di dalam mobil ketika ia memasukkan ponselnya ke dalam tas atau barangkali lupa menaruhnya di jok kursi? Entahlah. Lupa. Yang pasti ia yakin ada di sana.
Di tengah napasnya yang cukup terengah-engah, Imel berhenti. Sesuai prediksi, laju mobil pasti akan lebih cepat dibanding dengan langkah kakinya. Ia menghela panjang. Lalu memegang keningnya beberapa waktu. "Aduuuh ... bisa-bisanya ketinggalan di situ.".
Ponsel tertinggal sebetulnya bukan persoalan yang perlu dipusingkan. Kartu ATM satu-satunya yang terpenting. Imel menyelipkannya di belakang case ponsel dan hanya ada uang cash seratus ribu rupiah saja di dalam tasnya.
Mau tidak mau Imel pasrah. Harus bergantung dengan sisa uang yang dipunya. Ia mencoba kembali tenang dan berjalan dengan melemas. Pun tidak begitu memikirkan bagaimana caranya ia mengabari Kokoi nanti. Toh, akan kembali menghampirinya.
Imel berpikir akan menunggu di depan toko buku saja nantinya. Walau entah harus berapa lama membeku di sana. Mana di depan toko buku tidak ada tempat duduk pula.
Baru beberapa langkah berjalan, Imel kembali terhenti. Tiba-tiba terdengar suara barang berjatuhan. Ia menoleh. Terlihat lelaki tua sedang tersungkur. Lengkap dengan sepeda kayuh usangnya yang tertidur. Dagangannya sampai berserakan.
Imel mempercepat langkah menujunya.
"Simbah gapapa?" tanya Imel cemas.
Kakek itu mendongak. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Jagang sepedanya kurang pas aja tadi," jawab lelaki tua itu dengan logat Jawa. Ia tersenyum, tetap tenang, dilengkapi suara yang terdengar samar akibat faktor usia yang sudah terlampau tua.
Imel membantu memunguti barang-barangnya. Lalu datang dua pemuda yang juga turut membantunya.
Kakek itu sempat menegur agar Imel tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Ia tadi hanya berencana berhenti untuk meneguk air putih, sebelum akan lanjut mengayuh lagi. Tak tahunya sepeda kayuhnya terguling.
"Matur nuwun. Maaf ngerepotin," ucap lelaki penuh baya itu, saat semua dagangannya telah rapi kembali.
Dua pemuda yang membantunya pamit pergi. Sedang Imel masih di sana, melihat-lihat koleksi dagangannya. Imel pikir di tengah kota begini tidak akan ada pedagang mainan plastik keliling sepertinya.
Imel mengajak lelaki tua itu berbincang sebentar. Mulai dari menanyakan asal, sudah berapa lama berjualan, juga di mana tempat tinggalnya. Rupanya di saat langit beranjak petang begini, beliau hendak menuju pulang.
"Pasti capek ya, Mbah, keliling jual begini?" tanya Imel iba.
"Ya ... alhamdulillah dijalani aja. Syukur-syukur masih bisa makan. Daripada minta-minta, kan?"
Imel mengangguk tanda setuju. "Salut deh sama Simbah. Udah renta tapi masih aja kuat ngayuh sepeda ke mana-mana. Hebat! Malu saya."
"Alhamdulillah masih dikasih kesehatan. Makanya masih kuat."
Imel tersenyum. Sungguh perkataan itu cukup menampar dadanya. "Yang itu berapaan, Mbah? Lucu juga tuh kayak aku." Tangannya menujuk celengan plastik berbentuk ayam. Warnanya cukup beragam. Ia bermaksud membelinya. Meski tidak butuh. Ingin saja.
Kakek itu mesem sebentar. "Itu lima ribu. Tapi kalo mau ambil aja nggak apa-apa."
Imel menggeleng. "Mboten, Mbah. Saya mau beli aja. Lumayan buat oleh-oleh. Saya ambil semuanya ya?"
Kakek itu tersentak. Seketika terbentuk gurat bahagia di wajahnya. Seolah lelahnya baru terbayar di detik itu juga. Karena seperti yang ia bilang tadi, tidak penting berapapun yang laku, tetap akan pulang sebelum petang.
Imel mengeluarkan uang terakhirnya. Lalu menerima dua ikat plastik besar yang sudah berisi penuh celengan. Masih utuh. Belum terbuka.
Beberapa saat setelahnya sang Kakek pergi, melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Hati-hati, Mbah. Salam buat yang di rumah," tutup Imel melambai. Ia kembali berjalan menuju toko buku, dengan senyuman yang berhasil tertinggal di dada lelaki renta itu.
Di tengah langkah, pikiran Imel menalar sebentar. Tidak mungkin ia masuk ke dalam dengan membawa puluhan celengan plastik di genggamannya. Matanya berpindah mengeja sekitar.
Memandangi orang-orang berlalu lalang, membuat Imel memutar akal. Ia berhenti sejenak. Tepat di saat itu, terlihat rombongan berseragam putih biru baru keluar dari toko buku. Imel bergegas menghampiri dan menghadang mereka.
"Permisi para penduduk bumi ... mau ini, nggak?" Imel menjunjung dua buntalan plastik besarnya.
Mereka berlima melongo serempak. Beberapa di antaranya menggeleng menolak.
"Gratis kok. Kapan lagi dapet celengan rindunya Fiersa Besari yang bentuknya kayak ayam," perjelas Imel dengan tersenyum, lalu mengeluarkan celengannya. "Ambil aja. Entar kalo ketemu Fiersa tinggal minta tanda tangannya," bujuknya sebelum menyodorkan satu per satu.
Mereka tergelitik beberapa detik, sambil senggol menyenggol. Lalu menerima celengan itu dengan separuh tersipu. "Makasih, Mbak," jawab mereka bersamaan sebelum pergi.
Imel mengulangi hal serupa ke beragam orang lainnya. Hingga tersisa dua celengan. Pikirnya dibawa pulang saja buat kenang-kenangan. Kemudian memasuki toko untuk melihat-lihat buku incarannya. Tanpa membeli. Uang satu-satunya sudah habis. Tak tersisa serupiah pun.
***
Pukul 20.30 WIB sudah menyapa. Meeting selesai. Pesan WA yang terkirim untuk Imel belum juga dibalas. Kokoi menelpon untuk memastikan posisinya.
Bersamaan dengan mesin mobil yang baru dihidupkan, terdengar dering ponsel nyaring.
"Hape lo, Lex?" Pikir Kokoi itu ponsel milik Alexo yang berbunyi.
Mereka saling beradu pandang.
Alexo menggeleng. "Enggak. Bukan ringtone gue."
"Terus?"
Kokoi mematikan panggilannya dan mengulangi kembali. Detik itu juga dering ponsel terdengar lagi. Nyaring dari belakang. Mereka menoleh ke belakang. Bersamaan.
"Waduh ... punya Imel kayaknya tuh," terka Alexo yakin. Persis seperti dugaan Kokoi.
Kokoi keluar dari mobilnya sebentar. Ia berpindah ke jok kursi tengah untuk mencari keberadaan ponselnya. Terlihat nyala ponsel di bawah jok kursi. Ia mematikan panggilannya. Kemudian meraih ponsel Imel.
"Ada-ada aja ini anak. Ya udah ke sana langsung aja," perintah Kokoi.
"Panik ya lo?" Memandangi gurat wajah Kokoi, membuat Alexo ingin menertawakannya.
"Biasa aja."
"Santai aja. Gue yakin itu anak nggak akan ke mana-mana. Nggak akan kenapa-kenapa juga. Nggak usah panik segala," ledek Alexo menenangkan.
"Gue nggak panik. Biasa aja," sanggah Kokoi mengulangi.
Alexo terkekeh. "Iya dah."
Jangankan Alexo, semesta pun tahu bahwa wajah Kokoi terlihat sedang tidak biasa. Getar suaranya juga sudah menunjukkan kecemasan. Walau tidak tampak berlebihan.
Setibanya di lokasi, mereka lekas masuk untuk mencari Imel.
"OM! MAS LELEX!"
Panggilan kencang Imel membuat langkah mereka terhenti. Tepat saat langkah mereka tiba di depan pintu masuk. Imel menghampiri mereka dengan girang.
"Eh, bocah! Bikin panik Om lo tau nggak?!" Alexo lebih dulu membuka suara.
Sontak Kokoi melirik Alexo. Ingin rasanya langsung menggertak kepala Alexo pada detik itu juga.
Imel tersenyum ke arah Kokoi. "Wah ... terima kasih sudah berkenan panik, Om." Kemudian memindahkan dua celangan terakhirnya pada Kokoi dan Alexo. Ia tak jadi membawanya pulang. Pikirnya, lebih baik menjadi barang kenangan untuk mereka.
Mereka menerima dengan mengernyit.
"Lo ngapain ngasih kita ayam-ayaman begini? Buat ternak?" protes Alexo gagal paham.
"Bukan ayam-ayaman tau! Ini namanya celengan kenangan dari Imelsa. Pengennya sih ngasih celengan rindu. Tapi udah paten milik Fiersa."
Alexo tergelak. "Ada-ada aja lo ya. Apa coba maksutnya ngasih beginian."
"Nih," Kokoi tidak protes. Hanya menyerahkan ponsel milik Imel. "Lain kali jangan ceroboh. Nyusahin."
Imel menyengir. "Imel percaya kalo jodoh nggak akan ke mana dan bakal kembali lagi ke tangan Imelsa. Maacih udah jagain ponselnya, Om," tutupnya dengan kepala sedikit miring, ditambah senyuman yang baginya paling menawan.