Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #13

Lambung Terobati

Hari ini adalah kali kedua mereka makan di tempat ini, restoran yang jarang sepi penghuni. Bahkan, sampai hampir larut malam begini masih terbilang cukup ramai. Tak bisa dipungkiri, selain memiliki cita rasa yang unggul, pelayanannya pun memuaskan.

Mereka mengisi tempat duduk yang masih kosong. Tak lama, seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawa buku menu. Sesuai nama restorannya, Ayam Bakar Serbarasa, menu yang disediakan pun sangat beragam. Seberagam dekorasi ruang klasiknya. Mulai dari hiasan wayang sampai kandang ayam.

Kali ini Kokoi ingin mencoba menu lain, ikan gurame. Alexo tetap sama, sudah terlanjur cinta dengan menu utama, ayam bakar.

Sedang Imel masih menimbang-nimbang. Bosan dengan menu ayam. Baru juga sore tadi menggenggam ayam celengan. Masa ayam lagi? Pikirnya.

"Kalo ikan koi ada nggak, Mbak?"

Sontak Kokoi menoleh. Menatap Imel datar. Ia serasa ingin membungkus bibir Imel pada detik itu juga. Sedangkan Alexo gagal menahan lapar, malah berganti menahan gelitik di perutnya.

Pelayan itu tersenyum. Tentu saja menjawab tidak ada. Mana ada ikan koi dijadikan menu makanan.

Imel hanya cengengesan ketika membalas tatapan Kokoi. Ia sengaja duduk bersebelahan dengan Kokoi. Prediksinya, bisa berpotensi tersedak tanpa jeda bila duduknya saling berhadapan.

"Wah ... ini aja nih," tunjuk Imel di menu gambar ikan lele. "Pasti gurih-gurih mantap kayak Mas Lelex." Kemudian melirik Alexo sebentar.

Tanpa sadar Kokoi tertawa datar. Meski tanpa suara dan setengah-setengah.

"Ikan lelex ya, Mbak," pinta Imel manis.

Pelayan itu mengangguk dan lekas mencatatnya.

"Eh, bocah! Udah dibilang panggil gue Alex, bukan Lelex!"

"Siapa juga yang manggil? Orang Imel lagi milih menu, yeee ...."

"Nggak ada menu lelex, adanya lele!"

Spontan Imel terbahak.

"Enak aja gue disamain sama lele terbang. Sembarangan kalo ganti nama orang!" keluh Alexo.

Sedetik kemudian, tawa Imel menyurut. Mendadak terdiam begitu saja. Lalu mendongak, menatap langit-langit restoran. Bersamaan dengan itu, terdengar pelayan kembali menanyakan pilihan minuman yang belum dipesan. Tapi Imel masih terdiam. Belum menyahuti. Pura-pura menuli sebentar.

"Lo ngapain sih? Cepetan pilih minumnya. Keburu tutup!" Alexo tidak habis pikir. Bisa-bisanya Imel memandangi atap yang hanya berisi lampu gantung hias saja. Padahal tidak seberapa indah.

"Bentar, lagi mikir," jawab Imel tenang.

"Mikir apaan?"

"Sejak kapan lele bisa terbang?"

"Buseeet ... bocah! Pilih minum, bukan mikir lele! Ditungguin tuh!" ujar Alexo bertambah geram.

Kokoi sampai lepas tawa. Tidak tahan memendam lagi. Lalu menggeleng.

"Oh ... Mbaknya nungguin ya?" tanya Imel memindahkan pandangannya menuju pelayan. Sok polos.

"Kagak! Ya iya lah!" sahut Alexo penuh sewot.

"Imelsa ... berhenti bercanda. Buruan pilih."

Ketegasan suara Kokoi membuat Imel tersenyum penuh. Meski singkat dan terdengar datar, tapi begitu saja sudah sanggup menggerakkan.

Imel langsung menurut. Ia kembali tertuju pada buku menu. "Emm ... minumannya enak-enak ya. Jadi bingung. Saya sama kayak Mas ini aja deh, Mbak." Jari telunjuknya mengarah ke Kokoi.

Pelayan kembali mencatat. Kemudian membacakan ulang pesanan sambil tersenyum. Tampak sedang berusaha menahan tawanya. Setelah itu berlalu.

Sambil menunggu pesanan datang, mereka kembali berbincang. Obrolan menjadi ke sana kemari tak beraturan.

"Lo tuh lahir bulan apa sih, Mel? Bener-bener hilang akal gue tiap liat lo."

Bukan hanya Alexo yang mengeluh demikian. Kokoi juga. Bisa jadi sejagat nusantara pun akan ikut terheran-heran dengannya.

"Lahir bulan sabit."

"Yang bener dong lo kalo jawab. Masa bulan sabit?!" omel Alexo tidak puas.

Kokoi hanya menyimak dengan tenang.

"Kan cuma Imel yang emang lahir di bulan seistimewa itu. Mau tau kenapa Imel yang dipilih Tuhan buat terlahir di bulan itu?"

"Kenapa?" Alexo tetap menanggapi. Walau sudah mengira bahwa ujungnya pasti menjengkelkan.

"Karena di bulan itu ... Imel lahirnya pake nangis. Tapi bikin sepasang mata yang memandang jadi tersenyum. Nah ... rembulan pun ikut tersenyum menyaksikannya," jelas Imel ngelantur.

"Yee ... semua orang yang lahir juga gitu kali. Bukan lo doang."

"Loh ... tapi kan nggak semua yang lahir disaksikan bulan sabit, kecuali orang-orang istimewa kayak Imesa," bantah Imel sesukanya.

"Iyain aja dah. Biar fast and furious."

Mereka tertawa bersama. Saking terbawanya, mereka sampai tak saling tertarik untuk memainkan ponsel.

"Eh, iya. Sejak kapan lo manggil Kokoi jadi Mas? Om aja lah. Ngapain pake Mas segala?" Alexo berencana memanasi Kokoi.

"Iya nih. Sejak dikasih tau Mas Koinya tadi," jujur Imel.

"Jangan mau lo kalo disuruh ganti. Cukup gue aja yang jadi Mas lo. Kokoi nggak usah."

"Mas-mas Imel mah udah banyak. Bukan Mas Lex aja. Tapi ya gitu, sejauh ini cuma Mas Koi yang masnya termahaaaal."

Belum habis mendengar saja Alexo sudah tergelak lebih dulu.

"Ya udah. Imel terpaksa manggil Mas Koi. Habisnya dipanggil sayang nggak mau sih Masnya," sindir Imel tanpa ingin melirik Kokoi.

Kokoi hanya pura-pura menuli.

"Gue mau kok. Kebetulan gue baru putus kemarin. Lo bisa lah panggil gue sayang," goda Alexo bermaksud membuat Kokoi cemburu.

"Nggak mau ah." Imel sudah kebal dengan hal yang berbau rayuan gombal.

"Kenapa? Gue juga lebih gantengan kok dari Kokoi."

"Apa? Ganteng?"

"Iya, lah. Tuh ... ganteng begini loh," bangga Alexo sambil bercermin di layar ponselnya. Lalu menyisir rambutnya dengan jemari.

"Iya sih ya ... lumayan ganteng." Imel mengakui, meski baginya biasa saja. Ketampanan Alexo hanya tertolong karena warna kulitnya yang memang cerah. "Tapi kan Mas Lex baru putus."

"Terus kenapa kalo habis putus?"

"Nggak mau lah Imel sama yang baru putus."

"Kok gitu?"

"Soalnya ... yang baru putus itu biasanya belum move on."

"Sialan lo!" Alexo merasa tersindir.

Imel menoleh ke arah Kokoi. "Iya kan, Mas Koi?" alihnya seketika. Sengaja memancing agar Kokoi ikut bicara.

"Nggak," sahut Kokoi.

"Kok enggak?"

"Ya nggak tau."

"Kok nggak tau? Emang sebelum Mas Koi sama pacar yang sekarang nggak pake susah move on dulu gitu?" tanya Imel makin mengawur.

Kokoi tidak tertarik menjawabnya.

"Pacar yang sekarang? Yang mana? Emang ada?" sahut Alexo spontan.

"Emang nggak ada?" Imel berbalik tanya dengan sedikit tercengang.

"Mana ada? Cewek-cewek aja pada kabur semua."

Lihat selengkapnya