Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #14

Bermalam

"Lo tidur aja di kamar gue," ujar Kokoi saat mengantarkan Imel menuju kamarnya. Harusnya Imel bisa tidur di kamar bawah yang biasa ditempati Alexo, tapi sedang terkunci dan Alexo lupa tidak membawa kunci cadangannya.

"Tempat tidur selebar ini masa dibuat tidur Imel sendiri?" Bukannya gembira, Imel malah putus logika. 

"Terus? Gue harus tidur sekasur bareng lo gitu?"

"Yeee ... Mas Koi jangan buru-buru gitu napah. Kan kita belum sah," balas Imel tersenyum jahil.

Kokoi hanya merespon dengan tatapan datar dan kedua alis yang bertabrakan

Imel memperjelas, "Maksud Imel itu, masa kasur selebar ini cuma dibuat Imel sendirian? Imel di luar aja lah gapapa. Biar Mas Koi sama Mas Lex yang di sini."

"Lo mau tidur di luar?"

Imel mengangguk mantap.

"Di luar rumah mau?"

"Mau-mau aja sih kalo ditemani Mas Koi," jawab Imel memamerkan gigi.

"Gue serius."

"Ya nggak mau lah. Bisa pacaran sama nyamuk dong kalo tidur di luar rumah?"

"Ya udah," singkat Kokoi langsung berlalu meninggalkan.

Kepala Imel ikut mengikuti pergerakan Kokoi. "Kok pergi? Itu artinya yang tidur di sini Imel nih?"

"Iya."

"Yaaah ... beneran?"

"Iya."

"Yaaah ... nggak tukeran aja?"

"Nggak."

"Yaaah ... Mas Koi, Mas Koi!"

Kokoi terhenti di tengah pintu. Ia membalikkan badannya. "Apa lagi?"

"Kalo Imel tidur di lantai gimana?"

"Terserah," Kokoi bersegera menarik gagang pintu kamarnya. Terdengar bunyi benturan pintu yang berhasil menghentikan percakapan mereka.

"Diajakin tukar tempat nggak mau. Ya uuudah."

Imel berjalan menghampiri kasur dan terduduk di atasnya. Ia mengedarkan matanya sejenak, meneliti sudut-sudut ruangan. Meski berukuran sedang, kamar Kokoi tampak begitu luas, efek dari pantulan pada penataan cerminnya. Warna putih dan abu-abu juga menciptakan nuansa santai ketika dipadukan dengan ragam furnitur yang esensial. Begitu nyaman.

Imel menghentikan pandangannya. Tertuju pada jendela yang bersebelahan dengan meja kerja Kokoi. Tirainya sedikit terbuka. Membantu memperjelas keindahan langit malam. Tampak bulan sabit sedang bersinar sendirian tanpa bintang.

"Baru juga tadi ngomongin bulan sabit. Kok sekarang nongol sih, Bul? Merasa terpanggil ya?" tanya Imel terkekeh geli. Pasti bukan sebuah kebetulan bila bulan sabit tiba-tiba hadir di balik sana. Kepalanya jadi menerka-nerka. Apa ini pertanda akan ada ragam senyuman rahasia yang dititipkan pada Kokoi untuknya? Ia mengendikkan bahu.

Cukup! Imel berhenti dari igauannya. Kemudian menunduk, memainkan karpet bulu abu-abu tua dengan telapak kakinya. Ia jadi teringat dengan kamarnya. Seketika bibirnya menungging. Ide ikut bersinggah di kepalanya. Lebih tepatnya, muncul satu ide agar tidurnya bisa lebih nyenyak malam ini.

Usai membersihkan diri, Imel lekas merebahkan punggungnya yang udah terasa tegang. Daya tubuhnya tak sanggup lagi menahan kantuk. Sayangnya, baru beberapa menit Imel terpejam, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Mengacaukan lelapnya.

"Mel, gue mau ambil barang bentar!"

"Masuk aja nggak dikunci kok," sahut Imel mengeras tapi tak sanggup menjangkau telinga.

Alexo kembali mengetuk pintu. "Mel ... Mel, Imel comel ... lo udah tidur?"

Imel menghela sesaat dan dengan malas ia berdiri, lalu berjalan menuju pintu. "Iya bentaaar." Kali ini suaranya terdeteksi telinga Alexo.

Alexo menghentikan ketukan pintunya dan menunggu di depan kamar.

Imel segera menarik gagang pintu dan rupanya tertahan. Pantas saja Alexo terus mengetuk pintu. "Oh iya ding." Ia baru tersadar bahwa dirinya sempat mengunci pintu kamar saat ganti baju.

Sebelum itu, Kokoi memberikan kaus putih dan celana pendek hitam. Masih baru dibeli, awet di lemari dan belum terpakai sama sekali. Kokoi menyuruh Imel mengganti pakaiannya. Imel pun menurut saja.

Pintu terbuka.

Sontak Alexo terbahak ketika memandangi Imel yang tengah berjalan seperti pinguin, sambil sayup memejam, lengkap dengan selimut abu-abu yang melingkari tubuhnya.

"Duh, sorry ya kalo gue ganggu mimpi lo."

Imel tak menyahut dan langsung tergeletak, kembali ke posisi tidur yang semula sudah nyaman.

Tidak butuh waktu lama untuk mencari barang Alexo yang tertata rapi di lemari Kokoi.

Alexo terhenyak saat menoleh ke belakang. "Astagaaaa ... lo ngapain tidur di situ?" Ia mendapati Imel sedang bergeliat mengatur posisi tidur di lantai. Tepat di atas karpet bulu abu-abu.

"Iya. Nggak biasa di kasur." Imel kembali menutup bagian tubuhnya dengan selimut. Sampai tertutup sempurna. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seperti buntalan mayat yang sedang berkomedi. Konyol sekali.

Imel meminta Alexo kembali mematikan lampu, bila sudah selesai mengambil barangnya.

***

"Koi!" panggil Alexo dengan sisa gelitik di perutnya.

"Hmmm."

"Lo udah tau?"

"Apaan?"

"Itu si Imel, tidur di lantai. Percuma dong kita kasih kasur?" kata Alexo bergeleng sambil terkekeh.

Alis Kokoi saling bertaut. "Masa sih?"

"Iya. Coba deh lo liat. Sumpah, nggak paham gue," heran Alexo dengan sisa gelitiknya.

Kokoi kembali menuju kamarnya. Ia membuka pintu dan langsung menghidupkan lampu.

"Aduuuh, Mas Lex ngapain lagi sih? Imel udah ngantuk berat nih." Tangan Imel refleks menghadang sinar lampu yang menusuk matanya. "Nggak bisa tidur Imel tuh kalo lampunya nya ...."

Mata Imel terbuka utuh. "Oh ... Mas Koi? Kirain Mas Lex." Ia langsung memiringkan tubuhnya. Menjadi saling berhadapan dengan kaki tempat tidur. Lalu kembali menarik selimut, bersigap menutup kepalanya sekaligus mengulangi permintaan serupa tadi. Ia meminta Kokoi mematikan lampu bila sudah selesai dengan keperluan di kamarnya.

"Lo ngapain di lantai?"

"Ya masa tiduran?" jawab Imel sinis dibalik selimut dan sedikit samar terdengar.

"Ya kali aja."

"Ya mau tidur beneran lah Mas Koooi."

"Di kasur kan bisa. Ngapain di lantai?"

Imel membuka separuh selimutnya. Masih menahan sabar. "Ya karena suka. Mas Koi kan tadi bilang terserah Imel. Kok nanya lagi?"

Kokoi kira gadis itu hanya bercanda. Ia menarik napas sebelum menggeleng. Lalu membiarkan Imel sesukanya. Pikirnya mungkin itu paling nyaman bagi Imel. "Ya udah." Kokoi mematikan lampu setelahnya.

"Mas Koi!" Panggilan Imel membuat Kokoi tak jadi menutup rapat pintu kamarnya.

"Apa?"

Imel terduduk dari yang semula terbaring. Meski matanya sudah tak mampu terbuka sempurna. "Cuma mau bilang selamat malam. Terima kasih juga buat kamar dan segala kebaikannya," ungkapnya bernada kantuk akut. Tak lupa menyematkan senyum.

Kokoi baru akan berkata sama-sama, tapi Imel mendahului bicaranya.

"Kalo Mas Koi tidur nanti, jangan bawa Imel ke dalam mimpi ya. Imel ada di dunia nyata soalnya."

"Ya," persingkat Kokoi seiring dengan menutup pintu. Ia berjalan menjauhi kamar dengan senyuman yang tetap bertahan sampai lelapnya.

Keesokan paginya, melihat langit sudah hampir teraduk oleh sinar mentari, Imel langsung terbangun. Ia bersegera keluar dari kamar. Derap langkahnya tergesa-gesa.

Pintu kamar terbuka.

Kokoi yang bertepatan sedang berjalan di depan kamar sontak terkaget. Tiba-tiba muncul kepala pula. "Nggak bisa santai bukanya?" gerutunya sambil tertuju pada rambut Imel yang berantakan.

"Nggak bisa. Gimana nih, Mas Koi?" tanya Imel panik.

Kening Kokoi mengerut. "Apanya?"

"Imel belum subuhan, Mas Koi. Mukena mana mukena?" gentar Imel. "Masa Imel sholat pake selimut gini? Kan nggak lucu."

"Ya coba aja. Emang nggak lucu kok."

"Ih! Imel seriuuus!"

"Oh ...."

Anggukkan kepala Kokoi membuat Imel seketika geram.

"Ah oh, ah oh! Gimana nih, Om?!"

"Am om, am om! Tuh ... ada di ruang sholat. Sana!" tunjuk Kokoi dengan kepalanya.

Imel mengikuti arah kepala Kokoi. Imel langsung berlari-lari kecil, bergegas ke arah yang dimaksud Kokoi. Ia pikir di rumah yang hanya berisi dua penghuni begini tidak akan ada mukena. Sebab yang ia tahu memang hanya mereka berdua saja yang menempati. Itu pun beberapa saat saja. Seperti yang dikatakan Kokoi sewaktu Imel menanyainya di mobil semalam.

Imel baru tahu ada seorang bibi juga di dalamnya. Bibi itu yang diamanahi untuk merawat rumah. Baik selama Kokoi ada atau tidak ada agenda di Surabaya. Kata Kokoi, beliau sedang pulang kampung. Ada kerabat yang meninggal. Itu sebabnya beliau tidak ada di sana. Biasanya, pagi-pagi sekali bibi itu yang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Selesai beribadah, Imel menghampiri Kokoi yang tengah mengutak-atik laptop. Terlihat sedang mengetik sesuatu.

"Si Mas Lex mana, Mas Koi?"

"Tuh," Kokoi menunjuk dengan kepalanya lagi.

Imel berjalan bebeberapa langkah untuk mengintip Alexo. Alexo Masih terbaring di atas sofa depan televisi.

"Lah ... masih tidur?"

"Baru tidur lagi dia."

Imel mengangguk, pertanda baru mengerti. Lalu mengambil duduk di kursi kayu yang bersebelahan dengan Kokoi. Beberapa saat ia sempat mengedarkan mata. Rumah yang minimalis membuat beberapa ragam perabotannya ditata dengan manis. Baik Imel, Kokoi, maupun Alexo, tetap dalam satu ruang garis yang sama. Hanya lain posisi.

Imel tersenyum melihat dua celengan ayam plastiknya. Terpajang di dinding dan berdampingan dengan guci-guci kecil antik. Celengan biru di pojok kanan dan kuning di pojok kiri. Seimbang. Pun tetap teduh dipandang.

"Mas Koi," lirih Imel mengisi keheningan. Tapi tidak ada sahutan. Lalu berganti menombol-nombol lengan kokoi dengan telunjuknya untuk memastikan pendengaran. "Ganggu, nggak?"

"Iya."

"Iya apa?"

Kokoi menoleh. "Iya ganggu. Diem dulu ya. Nanti aja kalo mau ngomong. Aku harus beresin beberapa file dulu."

Imel tersenyum kecil. "Aku siapa?"

"Kamu Imelsa," jawab Kokoi tetap datar. Lalu kembali tertuju layar laptop.

Imel terkekeh. Apa kupingnya tidak salah dengar? Perasaan, semalam tidurnya tanpa bermimpi. Kenapa pagi ini ....

"Bener, kan?" Suara Kokoi menyadarkan lamunan Imel.

"Iya juga ya. Aku Imelsa," angguk Imel pura-pura polos.

Kokoi hanya tersenyum sebelah bibir, lalu geleng-geleng. Ia kembali mengetik.

"Emm ... Kalo gitu Imel baca buku dulu aja deh. Semangat ya." Tanpa menunggu sahutan, Imel beranjak ke atas menuju kamar Kokoi. Ia mengambil buku yang baru dibeli semalam. Ada di kamar Kokoi. Lalu kembali turun dan duduk di tempat yang sama.

Baru lima menit, Imel menghentikan bacaannya. Ia melihat sekeliling sebentar. Hendak mencari tempat yang lebih nyaman untuk membaca. Meja kaca yang ada di depannya terlalu tinggi untuk dijangkau lengannya. Disamping memang tidak suka membaca di atas meja. Lebih suka dipangku.

Imel berdiri. Ia penasaran dengan yang ada di balik tirai sebelahnya. Lalu membuka tirai itu sedikit. Rupanya pintu menuju taman kecil. Sepertinya jauh lebih nyaman untuk dijadikan tempat membaca. Meski hanya setengah petak persegi panjang dan sebatas dibingkai tembok tinggi. Tapi alas rumput hijau beserta beberapa macam tanaman yang menghiasi sekelilingnya sudah menggoda mata Imel. Sejuk dipandang.

Imel membuka sebelah pintu kacanya dan melangkah keluar. Kemudian terduduk di atas kursi rotan. Di depannya terdapat kolam ikan mungil. Lengkap dengan ikan-ikannya yang kecil. Gemericik kolam dan kesegaran udara di pagi hari makin menambah mood bacanya. Ia kembali membuka buku. Terhanyut menikmatinya.

Di sudut lain, Kokoi sempat memerhatikan Imel. Tanpa sepatah kata karena hanya penasaran. Pun tak lama. Lalu kembali fokus pada layar laptop.

Hening hampir satu jam. 

"Apa?" tanya Kokoi mendadak muncul di sela-sela pintu kaca setelah selesai dengan urusannya.

Imel menoleh dengan sedikit terkaget. "Apa apanya?"

"Tadi mau ngomong apa?"

"Oh ... enggak cuma mau nanya aja."

"Apaan?"

Imel menutup bukunya, lalu berdiri dan berjalan mendekati Kokoi. "Kenapa ya, Mas Koi?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kalo nunduk lama-lama leher Imel jadi capek?" tanya Imel sambil mendongak. Padahal bukan itu yang ingin ia tanyakan.

"Butuh dipotong kali."

Imel terkekeh. "Pasti capek banget ya jadi Mas Koi," ungkapnya mengalihkan sembari berjalan memasuki ruangan. Terik mentari sudah perlahan meninggi. Silau. 

Kokoi memutar kepalanya, mengikuti pergerakan tubuh Imel. "Nggak juga," jawabnya masih berdiri di tengah pintu.

"Masa sih?" Imel kembali terduduk di kursi yang semula ia tempati.

Kokoi membalikkan tubuhnya. Menjadi satu tatap dengan Imel.

"Lumayan aja."

"Lumayan apa tuh?" 

"Lumayan capek."

"Itu mah sama aja capek!"

"Beda."

"Bedanya?"

"Lumayan capek tapi nggak mesti capek banget."

Bola mata Imel berjalan menuju langit-langit. Sedang mengulang dan mencerna kalimat Kokoi di dalam kepalanya. Tak lama teralih. Malah membayangkan alunan musik lembut menemani perbincangan mereka. Ingin rasanya Imel membuat bumi berhenti berputar dan menjeda mereka lebih lama. Kalau bisa selamanya. Tidak masalah.

Lihat selengkapnya