"Dor! Assalamu'alaikum, ya ahli kubur!" sapa Imel melengking di telinga Alexo.
"Ahli kubur, ahli kubur! Lo kata ini kuburan?!"
Imel terbahak. "Jawab salam dulu dong. Kan wajib."
Alexo memutar tubuhnya ke belakang. Lalu menatap Imel yang sedang memasang sepatunya. "Wa'alaikumsalam, ya Kunti ...," jawabnya sok santun.
"Ya salaaam ... kok ya Kunti?"
"Iya, kuntilanak!"
"Ih, Mas Lex! Jangan sebut-sebut dong!" tegur Imel sedikit takut. Ia paling tidak suka mendengar seseorang menyebut nama-nama hantu di dekatnya. Syukurnya bukan malam hari.
Alexo makin menjadi. "Hii ... di belakang lo tuh. Coba liat," tunjuknya usil bernada horor, ditutup dengan bergidik ngeri. Upaya menambah ketakutan Imel.
"Siapa?" Imel menoleh ke belakang. "Oh ... iya, itu Mas Koi. Agak menyeramkan emang. Jahat pula!"
Alexo menertawakan kebodohan Imel. Gagal menakuti rupanya.
Setelah selesai mengunci semua pintu rumah, Kokoi masuk mobil. Alexo pun segera melajukan mobilnya.
Pagi ini mereka akan memantau jalannya proyek. Gresik menjadi salah satu kota tempat eksekusi properti yang Kokoi minati setelah beberapa kota lain yang sukses digarapnya. Melihat, Gresik merupakan kota yang juga kian pesat perkembangannya. Yang mana bukan lagi hanya dikenal sebagai kota santri, tapi juga kota industri. Cocok untuk dijadikan kawasan pengembangan properti. Dan tahun ini seperti yang ditargetkan, mulai penggarapan.
"Lo nggak dicariin sama si ibu?"
"Si ibuk punya nama loh, Mas Koi."
"Oh iya maaf, bu Nunu ya?"
"Iya bu Nunu. Bisa dipanggil ibuk."
"Habis turun mobil kayaknya kita perlu baku hantam deh, Mel," sela Alexo tetap geram bila mendengar Imel bicara.
Imel terkekeh. "Udah izin kok, Mas Koi. Tenang."
"Ya udah."
"Lah ... gitu doang?"
"Iya."
"Mampus lo! Emang enak digituin doang?" Alexo tertawa meledek.
Mereka terus bersahutan di sela-sela musik yang menggema. Tidak ada yang mau mengalah. Hanya Kokoi saja yang sedikit bicara.
"Ini si playlist apa nggak ada lagu dangdutnya? Kuping udah cedut-cedut tau dari tadi. Gara-gara dijewer Mas Koi aja nih. Makin bengkak kalo ditambah musik begini," sindir Imel masih tidak terima mengingat kekejian perlakukan Kokoi.
Alexo terkekeh dan baru akan menimpali, tapi Kokoi lebih dulu menyahuti.
"Ada gitu kuping cedut-cedut?"
"Ya ada dong. Kuping Imel ini buktinya."
"Kuping lo aja kayaknya."
"Iya, makanya ... ganti dong lagunya. Yang bisa dinikmati gitu," pinta Imel kekeuh.
"Eh ... ini kan bisa dinikmati. Lagian lo receh bener minta dangdutan!" sahut Alexo menolak karena bukan seleranya.
"Ya ... yang lain gitu kek. Jangan yang bikin moshing begini. Pusing Imel dengernya." Imel meminta agar diganti lagu lain. Asal bukan lagu cadas bringas.
"Eh, ini tuh lagu penyemangat. Asik begini loh. Iya, nggak, Koi?" bela Alexo.
Kokoi hanya mengangguk saja.
"Mana? Kok Imel nggak semangat? Malah penat adanya!"
Baik Imel atau Alexo terus bersahutan. Mereka saling mengunggulkan lagu kesukaan masing-masing. Bahkan, sepanjang perjalanan Surabaya-Gresik hanya lagu yang selalu jadi bahan perdebatan.
***
Tak sampai dua jam mereka sudah tiba di Gresik.
Kokoi menyuruh Imel agar ikut bersamanya dulu. Walau Imel sudah bilang bahwa akan pulang naik bus saja. Tapi tetap ditahan. Kokoi bilang akan mengantarkannya nanti.
Tidak bisa dipungkiri, senang memang. Tapi tetap saja Imel tidak enak hati. Terlalu menumpuk kebaikan dari Kokoi.
Sesampainya di tempat proyek, para pekerja langsung menyapa mereka dengan ramah. Pun sebaliknya. Kokoi memberi kalimat semangat tiap melewati mereka.
Imel hanya mengangguk santun setiap membalas bola mata yang tertangkap oleh matanya. Ia terus mengedarkan pandangan. Entah berapa hektar luas lahan itu, Imel tidak tahu. Yang jelas baginya memang sangat luas. Pastinya. Kalau sempit tentu bukan dinamakan lahan perumahan.
"Gue ke situ dulu ya," pamit Alexo langsung berlalu. Ia menemui beberapa klien yang sedang melihat-lihat jalannya proyek.
Sedang Kokoi menghampiri pemilik lahan yang sudah menunggunya. Mereka saling berjabat tangan.
"Saya dengar rumah kavling di sini sudah hampir terjual semua ya, Pak?"
"Betul. Alhamdulillah. Berkat bantuan Bapak juga, yang sudah memercayakan lahannya pada kami."
Sebagai CEO ZELUTION architect, Kokoi tahu betapa tinggi resiko bila memilih terjun menjadi pengusaha yang sekaligus membawahi perusahaan bidang konstruksi, kontraktor dan properti. Keputusan ini demi totalitas menjaga kualitas. Meski menjual rumah juga bukan perkara mudah.
Dalam urusan berbisnis, Kokoi banyak belajar dari papanya. Ega pernah berkecimpung sebagai developer semasa mudanya. Meski sempat mengalami banyak kegagalan juga. Tapi dari sana, Kokoi terinspirasi untuk mendirikan perusahaan sendiri. Bahkan menggunakan inovasi baru.
Lewat strategi win-win solution, Kokoi mendapat kepercayaan dari pemilik lahan. Dengan begitu, tanpa perlu membeli lahan, proyeknya sudah bisa dijalankan. Pun membantu memangkas modal yang dikeluarkan. Ia juga memastikan setiap unit rumah terjual terlebih dahulu sebelum mengeluarkan banyak dana untuk membangunnya. Secara profit, diperkirakan sudah lebih dari cukup bagi Kokoi.
Di sisi lain, Kokoi adalah penggagas program menabung rumah yang sedang ramai dibicarakan orang karena fiturnya yang memudahkan, selain menawarkan desain bangunan revolution yang ikonik.
Terlalu cerdas memang. Pun diperlukan kecermatan dalam memimpin dan mengelola perusahaan. Terlebih yang paling utama adalah kejujuran dan kepercayaan antar rekan kerja. Sebab, tak sedikit yang kandas di tengah jalan akibat tertipu rekan sendiri.
Mereka terus berbincang. Sedang Imel hanya membuntut di belakang mendengarkan obrolan. Sesekali Imel memerhatikan Alexo yang tengah membentangkan beberapa model rumah ikonik minimalis itu kepada klien.
Arsitektur yang disuguhkan mereka terlihat begitu unik, elegan, dan kekinian. Berdasarkan obrolan yang terdengar, Kokoi dan Alexo sengaja membuang sedikit bagian-bagian yang banyak menggunakan bahan material. Tapi tidak mengurangi sisi keindahan. Imel berkali-kali membatin takjub ketika ikut membersamai obrolan mereka. Sungguh sangat profesional.
Selepas berbincang cukup lama, pemilik lahan itu pamit berlalu.
"Mas Koi ini arsitek apa developer sih?" tanya Imel penasaran.
"Kelihatannya?"
"Arsitek. Tapi bukannya arsitek itu cuma tukang rancang bangunan ya? Kok pake jualan rumah segala? Setau Imel itu kerjaannya developer deh."
"Yang penting kan masih satu lingkaran," jawab Kokoi enteng.
"Masa iya jalanin dua-duanya?"
"Selagi bisa kenapa enggak?"
Imel melongo sesaat. "Ya Rabbi ... gokil sekali hambamu yang ini." Lalu geleng-geleng bertambah takjub. Tergambar akan serumit apa menjadi Kokoi. Secara, Imel merasa kapasitas otaknya pas-pasan. Tenaganya pun begitu. Membayangkan saja kepalanya sudah memberontak pecah. Apalagi menjalani. Bisa jadi benar kata Kokoi pagi tadi. Mungkin akan mati bila bertukar posisi. "Kenapa nggak jadi arsitek aja?"
"Karena mimpiku bukan lagi menjadi perancang bangunan. Tapi merealisasikan rancangan bangunannya."
Imel mengangguk mengerti. "Wow ... bertambah jumbo ya mimpinya."
Kokoi tersenyum tipis. "Kalo cuma mini ya nggak usah bermimpi."
Seketika Imel tertohok oleh perkataan itu. Ia mengangguk saja. "Gitu ya ... semoga selalu dimampukan buat menghandel ya. Pasti butuh jatuh berkali-kali tuh untuk bisa ada di posisi hari ini."
"Begitu lah." Benar yang dikatakan Imel. Likunya memang begitu. Ia jadi teringat masa-masa terendahnya. Mulai dari kekurangan modal sampai kerugian mencapai miliaran. Ah, malah jadi teralih pada Sonya yang selalu menjadi penguatnya di masa itu.
"Salut banget asli. Imel selalu kagum sama lelaki yang gigih sama mimpinya. Selamat ya ... keren kalo bisa sampe punya bisnis investasi rumah begini," ungkap Imel berhasil menyadarkan lamunan Kokoi.
"Sebetulnya perumahan ini bukan bisnis investasi."
Imel langsung mendongak sambil mengernyit.
"Emang dikhususkan untuk orang-orang yang butuh tempat tinggal," sambung Kokoi masih mengedarkan pandangan menuju sekeliling lahan.
"Ngajak berantem ini orang. Kan sama aja."
"Beda lah."
"Bedanya?"
"Fokus kita kali ini emang ke yang lebih membutuhkan. Yang ditekankan values of humanity-nya. Bukan sekadar di komisi."
Sepasang alis Imel makin bertaut. "Maksudnya?"
"Udah banyak kita menjumpai rumah mewah yang menjulang tinggi, tapi nggak banyak yang menempati. Sedangkan realitanya, banyak yang butuh rumah, tapi nggak banyak yang mampu menempati." Berangkat dari itu Kokoi menawarkan solusi.
Imel mengangguk saja. Meski belum seberapa mengerti. "Jadi intinya?"
Kokoi menghentikan langkahnya. "Intinya ... untuk membantu mereka yang emang butuh rumah. Bukan yang hanya koleksi demi nambah materi tapi kosong penghuni."
Imel membuang bola matanya ke langit. Beraduk dengan akalnya. "Otak Imel agak nggak nyampe."
"Ya udah."
"Dijual langsung ke konsumen gitu ya?"
"Bukan. Ke tukang semen."
Imel terkekeh. "Oh ... apa menawarkan model minimalis itu karena menyesuaikan harganya yang ekonomis? Supaya lebih menjangkau kaum menegah bawah? Yang penting mereka dapet tempat tinggal nyaman gitu?" tebak Imel menyimpulkan.
Kokoi menangkap mata Imel. "Tumben pinter?"
Imel menahan tawanya. "Wih ... canggih sih kalo bisa pinter. Imel keren juga ya rupanya?"
"Nggak sih. Biasa aja." Kokoi kembali mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahnya.
Ingin rasanya Imel menginjak kaki Kokoi di detik itu juga. "Tapi, Mas Koi. Kenapa harus gitu? Maksudku kenapa harus terjual dulu baru dibangun? Kan bisa tuh dibangun dulu baru dijual," tambahnya mengeluarkan unek-unek. "Sama kayak jual mimpi dong jatuhnya? Jualan rumah, tapi belum ada fisik rumahnya."
Kokoi sedikit takjub. Tak biasanya ia ditanya begini. Apalagi oleh sederet wanita yang berusaha mendekatinya. "Modalnya gimana?"
"Ya ... pake dana talangan dulu mungkin. Bank juga sedia, kan?"
Kokoi memperjelas, bahwa akan lebih banyak pengeluaran bila memakai dana talangan, terlebih bila itu bank. Belum termasuk kelipatan pengembaliannya ketika telat membayar. Bisa saja. Tapi bagi Kokoi resiko jauh lebih tinggi lagi. Ia tidak menggunakan cara itu. Kokoi lebih memilih bekerja sama dengan sistem bagi hasil, yang lebih minim resiko. Meski memang tidak mudah untuk mendapat persetujuan dari pemilik lahan. Pun walau untungnya tak lebih banyak dibanding yang hasilnya sepenuhnya milik pribadi.
"Rumah itu harusnya menjadi tempat rebah paling tenang, Sa. Bukan tempat paling resah karena melulu mikir utang atau cicilan. Belum lagi yang nggak kunjung sebanding sama pemasukan." Kokoi kembali menangkap manik mata Imel yang tertuju padanya.
Imel hanya menyimak.
"Nggak sedikit juga yang sering terbengkalai di situ," tutup Kokoi lebih jelas.
"Gitu?"
"Iya."
Imel mengangguk mulai paham. Riuh jalannya proyek tak sedikitpun mengganggu obrolan mereka. Hanya diselingi sapaan dari beberapa pekerja.
"Imel jadi penasaran, gimana cara Mas Koi mengatur segudang kerumitan ini? Bisa sampe terjual lagi. Pastinya butuh jam terbang tinggi. Tapi kok orang mau aja ya percaya sama Mas Koi?"
Kokoi terdiam beberapa saat. "Skill."
"Gitu doang?"
"Iya."
"Pelit bener jawabnya. Udah nanya panjang-panjang juga!" cetus Imel cemberut. Berbonus lirikan ketus.
Kokoi hanya tersenyum tipis.
Obrolan di bawah terik mentari kali ini, membuat Imel makin tertarik menggali pemikiran Kokoi. Sebisa mungkin lebih banyak lagi. Tak peduli berapa tetes keringat yang sudah menjalar di tubuhnya.
"Menurutmu perempuan karir atau ibu rumah tangga, Mas Koi?" Imel tiba-tiba saja ingin menanyai itu.
"Bukan dua duanya."
"Terus?"
"Ya udah gitu aja. Emangnya gue cewek?"
Imel berdecak bibir. "Kok nyebelin sih?!"
Kokoi tertawa kecil.
"Ralat deh. Kalo Mas Koi jadi suami, istri karir atau ibu rumah tangga?"
"Tergantung kondisi. Nggak selamanya masing-masing bagus."
"Terus?"
"Tapi yang terbagus menurutku, cewek juga perlu aktivitas yang ngebuat hidupnya bahagia. Entah itu dalam bentuk karir, kerjaan, atau yang lain," terang Kokoi.
Imel tersenyum dan mengangguk kagum. Ia merasa sepaham dan sangat sepakat. "Kalo perempuan itu bukan seorang istri gimana?"
"Maksudnya?"
"Ya ... misalnya perempuan yang berusaha meraih jalan kebahagiaannya, tapi terhalang restu orang tua. Jangankan berkarir, kerja atau yang lain. Kadang serba terbatasi. Hampir selalu diatur. Lalu hanya nurut, nurut dan nurut."
"Masih ada yang begitu di zaman secanggih ini?"
"Ada lah. Bisa jadi banyak malah. Cuma nggak tersorot aja."
Kokoi menghentikan langkahnya. Hanya berkedip datar dan membeku di ke dua bola mata Imel. Ia terdiam beberapa menit.
Imel pun ikut terhenti. Ia masih menunggu jawaban Kokoi. "Kok malah liatin Imel?"
Kokoi masih terdiam. Kepalanya sedang menduga sesuatu.
Imel berganti memiringkan kepalanya. "Oi ... jawabannya apa?"
"Nggak ada," jawab Kokoi enteng. Lalu kembali tertuju ke depan dan berlalu lebih dulu. Meninggalkan Imel yang termangu.
"Kok nyebelinnya naik pangkat sih?!" kesal Imel sia-sia menunggu jawabannya.
Kokoi tertawa kecil. "Gue ke Alexo dulu. Tunggu di situ."
Imel bergeming di tempat. Lalu memandangi punggung Kokoi yang kian jauh darinya. "Bisa pamit juga rupanya?"
***
"Lex, Kunci mobil," pinta Kokoi melengking.
Alexo menoleh. Tampak langkah Kokoi yang semakin dekat. "Mau ke mana?"
Kokoi berhenti di depannya. "Mobil gue bawa dulu. Kalo perlu apa-apa lo naik ojol aja, atau mau sewa juga terserah."
Alexo mengernyit. "Lah ... emang lo mau ke mana?"
"Nganter Imelsa," jawab Kokoi singkat. Lalu menyodorkan tangan kanannya. Ia meminta kunci mobil dengan segera.
"Udah jadian lo?" tebak Alexo ngawur, sembari meraba-raba saku celananya mencari kunci.
"Nggak lah. Nggak akan."
"Nggak akan?" cengang Alexo sedikit menyipit. Lalu merogoh sakunya perlahan. Ia masih menatap penasaran. Baginya mencurigakan bila di siang bolong begini Kokoi mendadak ingin pergi. Bersama wanita pula.