Terik pagi belum menyapa. Tapi sudah terbit suara anak kucing yang begitu nyaring di telinga Imelsa. Membuatnya sampai terbangun. Ia menggeliat beberapa saat. Lalu meraih ponselnya dan mematikan bunyi alarm yang bernada anak kucing itu. Tampak pukul 04.10 WIB.
Imel masih berbaring. Jemarinya berselancar sebentar, memandangi poto profil WA Kokoi. Sebatas poto siluet saja. Tapi, kepalanya sudah terbayang jelas wajah lelaki itu.
Usai Kokoi mengantarnya kemarin, Imel memang sengaja tidak mengirim pesan. Hendak mengetes, apakah Kokoi akan menghubunginya lebih dulu? Tapi sampai pagi ini, masih belum ada notifikasi baru darinya. Kurang rasanya bila tak ada penampakan dari pria separuh menyebalkan itu.
Imel menahan jemarinya, tidak jadi mengetikkan kalimat sapa untuk Kokoi. Walau sejujurnya ingin sekali menghantui lagi. Tapi, membiarkan dengan tidak mengirim pesan, baginya lebih baik. Bukan karena gengsi. Imel hanya tidak ingin terjebak dalam asumsi sendiri. Toh bila Kokoi benar tertarik padanya, Imel yakin pemuda itu akan menghubunginya. Jika nanti tetap tidak ada pesan pembuka dari Kokoi? Itu urusan belakangan. Yang terpenting, coba diabaikan saja dulu. Pikirnya.
Imel kembali pada rutinitasnya, menjaga toko di pasar. Kali ini sedang wage dan pasar lebih ramai dari hari biasanya. Seramai tabungan bahagianya hari ini, yang terasa lebih segar dibanding pagi-pagi sebelumnya. Rupanya, hanya menghabiskan dua hari bersama Kokoi saja sudah mampu menambah energi ekstra dalam hidupnya.
"Cak Emaaaan," sapa Imel melengking. Lebih nyaring dari biasanya. Sampai beberapa kepala ikut menoleh ke arahnya. Ia menyerahkan nasi bungkusan, titipan dari Nunu.
"Wah, wah ... sumringah sekali hari ini." Eman menerimanya. "Matur nuwun sayangku."
Mereka mulai saling lempar kata seperti biasa, dengan bahasa Jawanya.
Imel terbahak sambil turun dari motor. "Emang kapan pernah nggak sumringah?"
Eman hanya tertawa kecil. Benar juga.
"Eh, Cak. Ngerti, nggak? Aku habis lan-halan sama pangeran lhooo. Mbois pol!" kata Imel heboh mengungkapkan ketampanan Kokoi.
"Siapa? Cak Eman ya?"
Imel tergelak. "Ada deh. Tapi ... nggak sembois Cak Eman sih," pujinya palsu.
Eman terkekeh. "Ndang tho, bawa sini. Kenalin ke aku. Jangan kelamaan nge-jomblo. Bisa-bisa kunikahi sendiri nanti."
"Nggak mau. Orang Imel maunya nikah sama pangeran, bukan preman," timpal Imel sambil beranjak pergi, ditambah menjulurkan lidah.
Eman tertawa lepas "Loh. Preman juga pangeran kok," ocehnya terus mengikuti punggung Imel yang mulai menjauh.
"Iya! Pangeran kegelapan, bukan pangeran impian!" toleh Imel sebentar, meninggalkan guyonan.
Terdengar kicau tawa Eman, yang perlahan memudar.
Imel terus berjalan riang, memasuki pasar. Sampai rambut kuncir kudanya turut bergoyang, mengikuti irama hatinya. Dan selang tiga menit, tiba-tiba datang seorang pria berikat rambut serupa Imel. Hanya saja lebih pendek, terlipat rapi. Pria itu berjalan di samping Imel, sembari menyodorkan ponsel. Membuat Imel terkaget.
Imel langsung mendongak, menatap Satya yang tengah tersenyum ke arahnya. Langkah Imel pun terhenti. Diikuti Satya.
"Apa nih?" tanya Imel tidak mengerti.
"Malak."
"Malak kok malah nyodorin hape?"
Satya terkekeh. "Kalau kamu masih marah sama aku, banting aja hape ini."
Alis Imel saling bertaut. "Apaan sih? Siapa juga yang marah."
"Kamu."
"Ngapain marah? Ada-ada aja." Imel kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Satya yang masih bergeming dengan uluran ponselnya.
Satya langsung memburu. Kembali berjalan di samping Imel. "Sisa kemarahan di masa lalu mungkin."
"Nggak ada sisa kemarahan Satya. Kayak bocah aja," jawab Imel dengan senyum paksa. Kondisi riangnya jadi sedikit tersita. Ia paling tidak suka bila Satya sudah mulai membicarakan masa lalu.
"Kalau kamu emang nggak marah, kenapa berat buat ngasih nomormu?"
Imel menghela. Lalu menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Menjadi saling berhadapan dengan Satya. "Buat apa coba minta nomor saya?"
"Emangnya nggak boleh komunikasi lagi?"
"Ya boleh. Ini kan udah komunikasi."
"Segitu marahnya sama aku?"
Imel berusaha terlihat santai. Meski senyumnya sudah sedikit memudar. "Enggak Satya. Ngapain juga marah? Anda aneh deh."
Satya menyodorkan ponselnya lagi. "Kalau emang nggak marah, ya tinggal kasih nomormu," pintanya tak menyerah.
"Efeknya saya ngasih nomor apa?"
"Pertanda kita udah baik-baik aja."
"Terus?"
"Selagi kamu masih susah ngasih nomormu. Artinya kita belum baik-baik aja."
"Harus banget setiap yang baik-baik aja itu ditandai dengan punya nomor?"
Satya tidak menjawab. Hanya mengangguk dengan senyum. Ia kembali menyuguhkan ponselnya, dan terus menujuk dengan bola matanya. Isyarat perintah agar Imel segera menuliskan nomor.
Imel menghembuskan napas beratnya. Tanpa berlama-lama meraih ponsel Satya. Kemudian mengetikkan nomornya. Sejujurnya, ia malas berhubungan lagi dengan Satya. Tapi, melarikan diri dari Satya juga tindakan yang kalau dipikir-pikir memang terlalu kekanakan. Menurutnya.
"Kamu habis sakit? Kok dua hari kemarin nggak liat kamu di sini?" isi Satya di tengah riuh pasar.
Imel menangkap manik mata Satya sebentar. Anda mata-matai saya?
"Enggak. Baik kok." Imel menuntaskan ketikannya, "Nih." Lalu mengembalikan ponsel Satya.
Satya menerimanya, dengan bibir yang mengembang sempurna.
"Udah ya. Permisi, bukan artis lagi banyak kerjaan," pamit Imel kembali berjalan.
Satya hanya bertahan di tempat pijakan, dengan tawa kecilnya.
"Mel!"
Imel menoleh, sedikit melambatkan langkahnya. Tanpa menyahuti.
"Makasih," ucap Satya seraya mengangkat ponsel.
Imel hanya membalasnya dengan satu jempol kanan. Tanpa raut wajah. Tanpa kata. Dan langsung berlalu dari Satya. Omelan Galang lebih berharga dibanding berbincang lama dengan Satya.
Kasihan. Lelaki itu tidak tahu, kalau Imel sengaja mengurangi satu nomor di belakangnya. Percuma juga Satya berkata terima kasih. Toh yang tersimpan adalah nomor yang tidak akan terkoneksi.
Sesampainya di toko, Imel langsung membantu Galang, yang tengah menata barang dagangan. Detik waktunya tak menghentikan kesibukan. Perlahan, sesak orang-orang mulai mengisi. Pun tak henti berlalu lalang di pasar. Makin menambah keruh kepala Imel yang semula penuh bintang.
Gusti.. Kenapa dia harus kembali datang sih? Apalagi saat semuanya sudah terlampau usang. Jangan bilang untuk hati ini, supaya terus berlapang tanpa henti? Iya, kah? Ya Rabbi.. Jangan sampai berujung pusing. Tolong hamba, kepala ini bukan kepala barbie.
Kehadiran Satya sungguh jadi hantu di kepala Imel. Ia mengatur napasnya perlahan. Lalu kembali memasang wajah ramah, kedatangan pengunjung toko pertamanya. Untungnya, hari ini Galang sedang normal. Bila tidak, entah akan jadi apa kepalanya.
***
"Lambe!" sapa Rara tiba-tiba, personil lain dari gengster Imel semasa SMA. Mereka menamainya IRT Squad (Imelsa-Rara-Tika).
Imel menoleh. "Hey! Turah!" balasnya histeris. Ia menghentikan motornya, yang baru melaju tak jauh dari tempat parkir. Lalu menepi, berteduh di samping toko elektronik pinggir jalan raya.
Hampir sebulan ini Rara menghilang dari peredaran mata Imel. Biasanya mereka masih saling bincang di WA. Meski sesekali saja. Dan sekalipun kawan dekat yang juga bertetangga antar kecamatan, mereka bisa dibilang sangat jarang bertemu. Apalagi berkumpul. Maklum, Rara anak kuliah perantauan. Seiring bertambah umur pasti bertambah pula kesibukannya.
Rara menghampiri Imel dengan cengengesan.
"Assalamu'alaikum!" ucap Imel lebih dulu, seraya mengangkat tangan kanannya.
Rara menepis tangan Imel. "Pake salam-salaman segala, berasa sama orang formal aja" jawabnya dengan logat kental khas jawa.
"Lhooo, itu kan do'a keselamatan, Nona. Emang do'a sekece itu cuma buat orang formal aja? Jawab dong. Do'akan balik."
"Wa'alaikumsalam!" jawab Rara gemas, penuh penekanan.
"Nah gitu dong, kan tambah ayu," Imel memuji fakta akan kadar kecantikan Rara. Wajah mulus, pipi tirus, masih sama sepanjang masa. Tetap sedap dipandang.
"Lha dirimu kok tumben gak ayu?" timpal Rara mengajak bercanda.
"Lha kon dewe piye? Kok tumben gak kemayu?" balas Imel tidak ingin kalah. Meski nyatanya Rara tidak pernah sok cantik. Yang ada malah bila dipuji akan tersipu dengan berkata, "hehe, bisa aja," atau "sama-sama cantik kok," dan diakhiri dengan mencolek lengan teman bicaranya. Tapi ini tidak berlaku untuk Imel.
Rara menahan cacing yang tiba-tiba menggelitik perutnya. "Dasar lambe!" Ia menampar lengan kiri Imel, sampai berbunyi ringan. "Dirimu iku kali sing kemayu!"
Imel hanya terbahak, pun tidak kesakitan dengan tepukan refleks Rara. Meski debu di tengah terik siang kian beterbangan, mereka terus berisik dibalik bisingnya deru kendaraan.
"WAku ganti heee. Hapeku ilang," Rara meminta nomor Imel.
"Oalah.. Pantes."
Beberapa minggu lalu, Tika bilang sedang kesulitan menghubungi Rara. Baik nomor maupun sosmednya, tidak tercium tanda-tanda kehidupan. Semula, Tika menyuruh Imel turut mengajak Rara ke Bandung untuk menghadiri acara wisudanya. Itu pun bila luang.
Gadis berkerudung pasmina itu tertawa. Tanpa dosa. "Sepurane. Lupa nggak ngabari. Aku off sosmed soalnya. Cuma aktif WA aja," tutupnya menyengir.
"Kenapa gitu?" tanya Imel sambil mengetikkan nomornya di ponsel Rara.
"Menghindari mantan."
"Lah.. Kon putus? " kejut Imel sampai ujung alisnya bertemu.
"Iyo. Aku sing mutus."
Permasalahan klasik. Imel ingin menanyakan alasannya, tapi rasa-rasanya kalau menanggapi soal itu tidak memungkinkan. Pasti panjang cerita. Tidak disangka, empat tahun bersama bisa berakhir juga. Ia mengalihkan topik, "Kuliahmu wis mari, kan?"
"Wis dong. Tinggal nunggu giliran wisuda aja. Makanya di rumah."
Imel mengangguk. "Terus rencana lanjutanmu?" Bersamaan dengan mengembalikan ponsel Rara.
"Kerja, ndel. Baru aja kemarin habis melamar di Gresik kota. Do'akan ya."
Imel mengangguk, sembari menepuk bahu Rara. Sekaligus mendoakan yang terbaik untuk Rara.
"Berarti dirimu ke Bandung dong?"
"Gak jadi, Ra. Upilmu sih pake ilang segala!" Rara tidak tahu kalau yang membuat Imel tidak jadi berangkat adalah karena Nunu usai kecelakaan. Imel pun tidak menceritakan. Toh, sudah berlalu juga.
Rara terbahak. "Nanti malam ngopi yuk. Aku diajak manggung nih di kafe Bang Jo."
"Tumben?" Hampir tiap malam minggu Imel nongkrong di sana. Tapi baru kali ini Rara mengisi live music di kafe Joseph. Katanya tawaran job, dan Rara diajak sepanggung dengan band lamanya itu.
"Mumpung arek-arek pada di rumah. Ala-ala reuni lah. Pas banget ini kita ketemu."
Imel mengiyakan saja. Toh sudah menjadi rutinitas mingguan juga untuk ke sana.
"Eh iyo, ndel. Aku tadi simpangan lho sama Satya. Di jalan."
"Masa?" tanya Imel pura-pura lugu.