Agustus, 2018. Pesan-pesan pembukanya masih membekas dan teringat jelas.
Bulan itu, lengkap dengan bunga-bunga baru dalam hidupku. Rembulan pun baru saja menyapa, tepat saat sang surya masih sedikit menyala. Aku berjalan dengan kepala yang segar. Kembali menginjakkan kaki di rumah. Usai mengisi hari dengan orang yang tak pernah kubayangkan akan hadir di hidupku. Juga tak pernah kupinta pada Tuhan agar didatangkan.
Jangankan meminta, sejak 3 tahun lalu berakhir dengan kekasih lama, aku sudah tidak lagi tertarik memikirkan cinta. Hanya cita-cita yang mengisi gambaran kepala. Dan tentang dia, tahu-tahu Tuhan mempertemukan begitu saja. Tanpa sengaja. Tanpa rencana. Terima kasih Ya Allah. Ini bagian terkeren dalam hidupku.
Tunggu. Iya, ini baru permulaan. Aku tidak bisa cepat berbangga dengan perjumpaannya. Baru persinggahan, kan? Yang tak kutahu bagaimana kesimpulan akhirnya. Maka, daripada susah-susah memikirkan sederet kalimat kecil yang terus berlarian di kepala seperti, "Akankah dia menjadi milik?" misalnya, lebih baik kurebahkan saja punggung yang sudah terpakai menegak seharian itu.
Langsung kupanggang seperti biasa, di atas alas tikar kesukaanku. Di mana lagi kalau bukan di kamarku, yang dikelilingi ragam buku koleksi lamaku. Dan sudah ketambahan dua buku baru, darinya. Itu pun aku yang memilihnya. Serupa hatiku yang baru dua hari bersamanya, tahu-tahu memilihnya begitu saja. Lucu juga ya.
Entahlah ... malam itu, aku serasa lupa dengan segala beban yang jadi penghalang atas apa yang kucita-citakan. Yang sudah tak dapat restu orang tua, biarlah. Kulepas saja. Dalam posisi yang sudah terbaring, detik itu juga inginku tiba-tiba berganti. Bukan lagi cita-cita. Hanya dia, sosok cinta yang sepertinya patut aku coba sentuh hatinya. Kalau bisa lebih lama. Entah harus dengan cara apa.
Barangkali, dia memang penguat jiwaku, yang sengaja dikirim Tuhan untuk membersamaiku sampai nanti. Sebab pasalnya, dadaku tidak pernah seberdebar itu. Bahkan bisa dibilang, aku susah sekali tertarik hati. Iya, tertarik hati. Apalagi jatuh hati?
Mungkin, dia akan menjadi milik hanyalah mimpi. Tapi, kalau tak kucoba jelajah lebih dulu, mana kutahu bila itu bukan ilusi?
Hari ini, kutuangkan kembali memori rasaku. Seperti yang pernah dikatakan lelaki itu, saat mengantarku kembali pulang, setelah menghabiskan waktu bersama di makam. Kusebut saja itu kencan pertama. Meski tempatnya di makam. Benar-benar menggelikan. Tapi menyimpan banyak kesan.
Saat perjalanan pulang, kita terus berbincang di mobil. Walau beberapa kalinya sempat terjeda oleh lamunan panjangku. Dan setelah saling terdiam cukup lama, aku bersuara lagi. Kembali bertanya kepada manusia ikan itu, Mas Koi sebutan berisikku.
"Tadi Mas Koi bilang perempuan itu harus terus hidup dengan cara apapun?"
Ia hanya mengangguk.
"Tau, nggak? Imel ngerasa ada di posisi perempuan itu." Aku mengaku setelah cukup lama membisu.
"Udah kelihatan." Kalimat itu keluar dari bibirnya yang tak basah, tapi sedikit merah alamiah. Dan pernyataan ini berhasil membuat otakku tergelincir.
Yang benar saja? Cukup dari gurat wajahku bisa ditebak memangnya? Ingin kujejali setumpuk ungkapan saat itu juga. Sudah kelihatan katanya? Berarti apa yang dimaksud, "Meski ada satu orang yang membantu menghidupkan perempuan itu," adalah dia orangnya? Duh! Sebawel-bawelnya aku, nyatanya bisa menciut juga. Harusnya kutanya saja ya? Kenapa harus kualihkan?
"Masa sih?"
"Iya."
"Mas Koi dukun?" Aku malah ngelantur.
"Nggak ada dukun yang wajahnya gini."
Seketika kulempar suara desis ular di telinganya dengan tatapan tajam. Ditambah tawa kecil. Terlalu banyak babibu. Ulahku juga sih. Sudah tahu bukan dukun, kenapa harus ditanya begitu? Dasar aku.
"Terus, menurut Mas Koi mana yang harusnya perempuan itu utamakan, antara bakti sama mimpinya?"
"Ya keduanya," jawabnya sederhana. Tapi tetap tidak mengubah benang-benang rumit yang melilit kepalaku.
"Kalo nggak bisa dikerjain secara bersamaan?"
"Emang apa yang jadi penghalang?"
Aku diam sebentar. "Kadang Imel gelisah. Ketika Imel berusaha mengedepankan bakti, yang ada malah kehilangan mimpi." Ada kalimat bapak pengurus makam tempo hari itu yang terngiang di kepalaku. "Ikhlas menyerahkan diri kepada Allah ...."
Mas Koi terus mendengarkan. Tanpa sanggahan.
Lalu kutatap matanya. "Apakah ketika kita ikhlas berbakti kepada orang tua sama dengan menyerahkan diri kepada Allah?"
Mas Koi hanya tersenyum. Sayang senyumnya terlalu irit. Tidak utuh.
"Jawab Mas Koi, bukan senyum."
"Ikhlas itu soal kerelaan dalam menjalani suatu hal. Lalu ditutup dengan nggak mengharapkan timbal balik. Iya, kan? Kaitannya apa sama menyerahkan diri?"
Aku mengernyit dan termenung karena terpentung ucapannya. Giliran membahas pengetahuan saja omongannya memanjang. Dasar ikan membingungkan!
"Nih ya, orang tua itu cuma sebagai subjek. Sedangkan ikhlas itu predikat. Predikat kan bisa ditaruh di subjek mana pun." Luar biasa, kan? Masa iya bawa-bawa SPOK? Curiga, Mas Koi alumni pengajar Bahasa Indonesia kali.
"Menyerahkan diri sama Allah itu bicara pasrah soal hasil. Soal kinerja ya tetep kembali ke kitanya, Sa."
Kalau dipikir-pikir, memang benar sih perkataannya.
"Berbakti ya berbakti. Menyerahkan diri ya menyerahkan diri. Kenapa harus disamain?"
"Tapi, Allah kan nyuruh kita berbakti sama orang tua," timpalku tidak puas.
"Ya udah tinggal berbakti. Emang apa yang jadi masalah?"
"Kalo kita terpaksa menjalaninya, berarti kita nggak ikhlas dong namanya?"
"Itu kamu tau jawabannya."
Ya ... tentu tahu. Bodohnya aku menjawab itu. Beneran bodoh ya?