Imel meraih buku secara acak, berusaha mengalihkan pikiran. Tapi tetap tidak membantu. Bayangan Kokoi terus mengisi. Hatinya memerintah untuk segera menghubungi lelaki itu. Tapi lagi-lagi logika menyuruh agar tak gegabah dulu. Tak lama kemudian, pikirannya berganti menuju pertemuannya dengan Satya. Terbesit firasat tidak enak.
Imel meraup wajahnya sesaat. Lalu menggiring ingatannya tertuju pada Kokoi lagi. Seketika senyumannya utuh kembali. Ia sungguh terkagum dengan lelaki berlesung pipi sebelah itu. Belum lama tersentuh saja sudah buatnya luluh. Baginya sangat keren. Karena tidak biasanya dirinya begitu. Bahkan ia melihat ada sketsa masa depannya yang tertanam di bola mata Kokoi. Terlalu mengada memang.
Dan yang menjadi keheranannya, mengapa saat-saat mendebarkan ini harus bersamaan dengan perjumpaannya dengan Satya? Dalam hati, Imel berharap agar Satya jangan sampai menjadi pengacau kelana cinta barunya.
Ya Allah, jauhkan Satya dong. Imel nggak mau lagi deket-deket sama penjahat mata itu! Nggak perlu digiring ke Imel lagi ya? Please Ya Allah....
Imel terbangun dari posisi tengkurapnya. Lalu terduduk di atas karpet tidurnya, seraya menggeleng cepat.
Astagaaa... kenapa kepalaku isinya jadi cowok-cowok begini?
Tak lama, Imel mendongak, membeku ke langit-langit. Harusnya ia memikirkan yang lain saja. Cara supaya nasib hidupnya bisa lebih baik misalnya. Ia menghela panjang. Kemudian berdiri, hendak mematikan lampu dan beranjak tidur. Mengistirahatkan pikiran baginya mungkin lebih baik.
"Mbak!" Pintu kamar Imel tiba-tiba terbuka. Kepala Nela pun muncul tanpa aba-aba.
"Hih! Ngagetin aja! Apa?!" ketus Imel cepat.
Nela terkekeh di tengah memandangi wajah tegang Imel. Ia bersegera masuk dan kembali menutup pintu kamar. Kemudian menagih permintaan yang pernah diucapkan pada Imel, terkait laptop yang pasti akan dibutuhkan untuk perkuliahan nanti.
Juni lalu Nela sudah wisuda, dan September depan adalah bulan pertama Nela menjadi mahasiswa. Itu pun atas bantuan Imel. Tanpanya, mungkin Nela tetap ingin kerja saja, bukan kuliah. Dengan begitu, tidak perlu susah payah membiayai kuliahnya. Toh tidak lolos jalur bidikmisi juga.
Tapi Imel tidak kehabisan akal hari itu. Ia menyuruh Nela mencoba lain jalur, nonbidikmisi. Kalau pun lolos seleksi, Nela bisa mencoba mengajukan proposal beasiswa ke Pemkab Gresik atau mencari informasi beasiswa di kampusnya nanti.
"Ya tinggal ngomong sendiri, Nona," jawab Imel sembari mematikan lampu. Kemudian langsung berbaring dan menarik selimut.
Nela kembali menghidupkan lampu. "Bantu bilangin lah, Mbak. Ayo dong," bujuknya sambil mengguncang lengan Imel. Terkait fasilitas, ia memang sedikit malu untuk meminta langsung pada Nunu.
"Allahummaaa," Imel kembali bangkit dan duduk bersila. "Nela Kharisma...."
Belum selesai Imel berbicara, Nela menyahut, "Jangan samain sama penyanyi dangdut ih!"
Imel terbahak. "Sama-sama cantik kok."
"Nggak!"
"Cantikan dia lho daripada kamu."
"Nggak!"
"Yo wis." Imel kembali merebah dan memiringkan tubuhnya, membelakangi Nela. Setelah itu memejamkan mata.
"Mbaaak. Ayo tha lah, bantu bilangin," Nela terus menguncangkan lengan Imel.
"Panggil aku Mbak Comel dulu."
"Nggak mau!"
Imel terdiam.
"Mbaaaak."
"Nela tanpa kharisma," lirih Imel membalikkan tubuh menghadap ke Nela. "Kan tinggal ngomong toh? Buk Nela butuh laptop buat kuliah nanti. Beliin ya. Kelar," ujarnya, memberi contoh.
Nela tetap menggeleng. Kembali mengguncang lengan Imel. Pasalnya, pasti Nunu menyuruhnya untuk memakai laptop bekas milik Imel saja. Sedang laptop Imel sudah tidak layak pakai. Bahkan Imel sendiri sudah sangat jarang menyentuhnya. Meski masih bisa dipakai. Tapi, itu pun harus dalam kondisi laptop yang selalu tercolok dengan chargernya.
Imel menghela. "Udah dibilang, panggil Mbak Comel dulu, baru besok kubantu bilangin."
"Mbak Imel Comel, bantu bilangin yaaaa. Ya?" rayu Nela manja. Terpaksa menurut. Meski mual.
"Cium pipi juga," tunjuk Imel menuju pipinya .
Nela membuang napas, dan terpaksa mendaratkan bibirnya di atas pipi Imel.
Imel tersenyum. "Oke. Siap membantu Nela tanpa Kharisma."
"Nela Alsa Adeeva!" Nela membenarkan.
Imel terkekeh, dengan mata semu sayupnya. "Wis sana. Mbakmu sing paling manis mau bobo dulu."
"Bilangin beneran loh yo!"
"Iyoooo."
"Gitu dong," Nela menyengir. Tanpa sepatah kata terima kasih, ia langsung berdiri dan berjalan keluar.
"Tutup pintunya! Nel!"
Nela pura-pura menuli, meninggalkan Imel yang tengah mendesis sebal. Bergegas menuju ke kamarnya.
Imel terpaksa berdiri untuk menutup pintunya. Melangkah dengan malas. "Kebiasaan! Awas kau ya!"
Terdengar gema tawa dari kejauhan. Imel memaklumi itu. Nela memang manusia yang suka tiba-tiba mengganggu jam kesendiriannya. Tapi, lekas ini pasti akan sepi tanpa Nela. Ia jadi teringat di hari saat Galang sedang mengomel melihat kebiasaan Nela, yang sering melewatkan jam sholatnya.
"Nel, Mbakmu ini cuma manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah."
"Lagu dong?"
Imel terkekeh. "Tapi, yang dibilang Bapak ada benernya." Walau baginya Galang adalah Bapak yang paling menjengkelkan, tak bisa dipungkiri, ia lelaki yang teramat peduli . Hanya cara perlakuannya saja yang membuat Imel tidak suka. Pun susah untuk sekaligus membencinya. Bagaimana pun Galang adalah orang tua yang mengasuhnya.
"Mbakmu yang rada fungky beauty ini juga kesel sih sama Bapak. Tapi begini-begini kalau urusan sholat mah, anti lewat," Imel menggoyangkan alisnya. Berlagak pamer. "Yaaaa, meski kadang suka telat sih," tambahnya menyengir.
"Kamu mah masih mending, Nel. Lha aku?" Nyatanya, sebagai anak pertama, Imel memang lebih sering menjadi tempat pembuangan amarah Galang. Nela pun mengakui itu.
"Kalau aku pikir-pikir ya, sholat itu bukan alat kita supaya dapet gelar hamba taat loh, Nel."
"Terus?" Imel paling senang kalau Nela sudah menyahut. Meski pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Bagiku, sholat itu investasi diri untuk Gusti Allah. Atas ragam nikmat yang masih diberi. Pun melatih biar nggak hobi toleh sana sini. Tapi, lebih ke dalam diri. Eaaaa," jawab Imel dengan alis yang bergoyang.
Nela berupaya tidak tertawa ketika melihat gaya bicara Imel. Tegap berdiri di depan cermin, ditambah menyisir rambut. Seolah sedang berorasi di atas podium pula.
"Paham nggak?"
"Nggak."
"Yah. Gagal jadi duta Mbak dong?"
Nela tidak menimpali. Hanya menahan senyum.
"Gini gini. Harusnya ya, kita itu jangan nunggu dicabut nikmat dulu baru tergerak buat sholat, Nel. Apalagi nunggu digedor Bapak dulu. Iyo nggak?"
"Iyoooo," sahut Nela tetap nyaman dengan bantal di punggungnya.