Cahaya di Ujung Pantura

Fatmawati
Chapter #16

Makam Kedua

Kokoi menarik rem tangan mobilnya. Lalu melepas sealt belt. Sedang Imel masih termangu dan separuh tidak menyangka bila Kokoi menghentikan mobilnya di parkiran makam Sunan Gresik. Tidak jauh dari alun-alun kota.

"Mas Koi, nggak salah kita ke sini?"

"Ngerasa salah?"

"Iya."

"Ya udah pulang aja," jawab Kokoi seraya keluar dari mobil.

"Ngusir Imel nih?"

"Iya," timpal Kokoi seiring menutup pintu mobil.

Imel lekas turun menyusulnya. "Mas Koi! Katanya mau makan? Kok ke makam?"

"Yang bilang makan siapa? Emang makam. Telinga lo aja yang perlu diservis."

Bunyi alarm kunci mobil ikut menyusup di sela-sela sahutan mereka.

"Lah ... berarti tadi Imel budek dong?"

"Iya kali," enteng Kokoi melaju lebih dulu.

Imel melangkah terbirit-birit. Menyusul Kokoi. "Mau ngapain ke sini? Mas Koi mau ziarah?" tanyanya saat langkah sudah seimbang.

"Enggak. Mau ngubur lo."

Imel terkekeh. "Imel harus ikut nih? Imel nggak bawa kerudung tau. Masa iya ziarah pake gaun keren begini?"

Kokoi menjeda langkahnya. Ia baru tersadar akan hal itu. Sekaligus menarik napas dalam-dalam karena khayalan Imel tak kunjung berganti. "Di kursi tengah tadi ada jaket, nggak?"

"Jaket abu-abu?"

"Iya."

"Ada."

Kokoi langsung berbalik arah dan asal berlalu begitu saja. Hendak mengambil jaket yang ia maksud.

Imel hanya mematung di tempat dan terbengong memandangi kepergian Kokoi. Buat apa juga Kokoi mengajaknya ke tempat begini? Seperti tidak ada tempat lain saja. Kepalanya jadi terheran sendiri.

Tak lama, Kokoi kembali. Ia menyerahkan jaketnya pada Imel.

Imel menerimanya dengan tatapan tanya. "Hubungannya Imel sama jaket ini?"

"Ya pake. Bisa lo buat tudung."

"Oh ...," Imel membentangkan jaketnya. "Iya juga ya? Pinter bener." Ia bersegera memakainya. Menyusupkannya dari kepala hingga menutup lengan, beserta gulungan rambutnya.

"Emang," sahut Kokoi seiring melanjutkan langkah.

Imel kembali berjalan sejajar dengannya. "Mas Koi manusia abu ya?"

"Abu gosok?"

Imel menahan senyumnya. "Manusia abu-abu. Habisnya serba abu-abu sih."

"Harus."

"Biar apa?"

"Apa pun."

Imel tertawa kecil. "Apa Imel nggak makin cantik kalo pake beginian?" tanyanya mengalihkan.

"Iya. Emang enggak."

Imel lepas tawa. "Enggak apa tuh? Nggak nyangka kalo Imel emang cantik ya?"

Kokoi hanya terus berjalan menatap ke depan. Sambil membalas beberapa lirik mata yang tertuju padanya. Sengaja tidak menyahuti.

"Mas Koi ...."

Kokoi masih terdiam.

"Mas Koi!" panggil Imel ulang dan terpaksa menajam gegara diabaikan.

"Apa?" sahut Kokoi bersabar.

"Ini gapapa kalo bagian depan Imel masih kelihatan begini?"

Kokoi menghela. Lalu berhenti mendadak. Detik itu juga langsung memegang kedua bahu Imel. Setelahnya, mendongakkan dagu Imel tanpa aba-aba. Sampai membuat Imel tertegun.

Imel hanya mematung di tengah kedipan datarnya. Menurut tanpa protes. Dan berusaha tetap terlihat biasa. Meski degup dadanya tetiba tak terarah.

Kokoi menarik tali kepala jaketnya. Erat. Sampai leher Imel tak tampak lagi. Sekaligus merapikan sisa rambut Imel yang berantakan di dahinya. Wajah Imel jadi seperti buntalan kepala pocong. Hanya ikatnya saja yang berbeda. Berada di bawah dagu dan sengaja dibentuk pita. Setelahnya, Kokoi kembali melangkah.

Lagi-lagi Imel tertinggal di belakang.

"Mas Koi!" Imel kembali memburu langkah Kokoi.

"Apa lagi?"

"Imel kayak pemain film india nggak sih kalo gini?"

"Mana ada."

"Ada. Itu loh. Alien, yang kecil biru, lebih lucu dari Imel. Jadooo ... Jadooo ...," jelas Imel dengan bersenandung. Menirukan lagu dari film india yang ia maksud. Tanpa malu. Tapi berhasil membuat Kokoi tersenyum utuh. Walau sebetulnya ingin menyahuti. Hanya malas saja menanggapi kegilaan Imel.

"Oi, Mas Koi. Imel nggak kelihatan aneh pake beginian masuk sini?" Kali ini Imel berbisik melembut.

Kokoi menunduk ke arah samping kiri. Tertuju pada sepasang mata Imel. "Dasarnya udah aneh, kan?"

"Emang iya?"

"Coba aja ngaca."

"Enggak perasaan."

"Ya udah." Kokoi kembali menatap ke depan.

Imel masih mendongak menatap wajah Kokoi. "Mas Koi kali yang aneh." Jeda sebentar. Ia sedang menyeleksi kata yang pas sambil mengalihkan pandangan. Ikut tertuju ke depan. "Aneh banget malah. Bikin jantung Imel jedag-jedug terus. Sebel," sambungnya gamblang.

Kokoi tidak menanggapi. Hanya tersenyum tipis dan terus berjalan seolah sedang seorang diri. Sengaja tetap diam sampai tiba di tempat makam.

"Assalamu'alaikum, ya ahli kubuuur." Imel terus mengisi keheningan. Meski masih diabaikan. "Permisi, ya ahli kubur. Imel lagi jalan sama mayit hidup nih, yang anehnya tetep ganteng. Heran."

Kokoi membuang napas pendeknya, dengan garis bibir yang dipaksa tak terukir. Ia membiarkan Imel mengoceh sesukanya.

Mereka mulai memasuki gapura depan makam. Terlihat cukup ramai pengunjung. Lantunan zikirnya pun tiada henti menggema nemenuhi tiap sudut makam.

"Mas Koi, apa Imel terlalu manis atau beneran kelihatan aneh ya?" tanya Imel ulang. Masih meragu untuk ikut masuk ke dalam.

"Iya. Emang aneh," terang Kokoi sambil duduk dan melepas alas kakinya.

Imel berdecak bibir. Lalu turut terduduk di samping Kokoi. "Aneh beneran? Aduuuh. Malu, Mas Koi. Imel tunggu di luar aja ya?"

"Udah ayo masuk." Kokoi menyuruh Imel segera melepas sepatunya.

Imel cemberut. Mau tidak mau terpaksa menurut. "Malu tau. Bapak-ibuk, adek-kakak, mas-mbak, semua yang ada di sini, pada liatin Imel dari tadi."

"Punya malu emangnya?"

"Punya lah. Ya kali nggak punya. Kemaluan aja punya!" lengking Imel kesal. Asal bukan di makam wali ia tak masalah bila berpakaian sembarang.

"Nggak kurang kenceng ngomongnya?" Beberapa pengunjung di samping sampai menoleh ke arah mereka.

Imel langsung mengunci bibir dan menyengir tanpa dosa.

Kokoi lekas berdiri. Lalu berjalan masuk mencari tempat duduk untuk berdoa. Imel menyusul. Tepat di depan makam Sunan Gresik yang bernisankan ukiran arab, mereka bersila. Hanya pagar besi yang jadi pembatas di antara mereka. Lantunan dzikir terdengar kian nyaring. Saling susul menyusul. Kokoi menyuruh Imel untuk ikut serta di dalamnya.

Imel menurut saja. Meski tidak tahu tata cara berdoanya seperti apa. Ia hanya memandangi beberapa wajah pengunjung yang tangannya tengah menengadah. Imel ikut hanyut menikmati suasana.

Perlahan, ada debar yang tak bisa Imel gambarkan dan bulir bening tahu-tahu memaksa terjun dari kelopak matanya. Entah sebab apa. Damai saja rasanya.

Imel buru-buru mengusap puncak pipinya agar tak terdeteksi mata Kokoi. Kemudian menoleh memandangi wajah Kokoi dari samping. Masih dengan tanya di kepalanya. Tapi Imel tidak terlalu memusingkan. Cukup menikmati kebersamaan. "Makasih, Mas Koi," ucapnya sengaja melirih supaya tidak terdengar Kokoi. Lalu kembali tertuju ke depan dengan menutup mata, membiarkan lantunan dzikir memenuhi telinganya, ditambah senyuman kecil. Ia berupaya menyerap energi yang sedang membanjiri pijakannya saat ini.

Tak lama, Kokoi menoleh. Ia tersenyum tipis ketika memerhatikan Imel sedang terpejam. Apalagi dilengkapi dengan gerak tubuh yang sedikit mengayun ke kanan kiri. 

Setelah selesai dengan ritual doa, mereka kembali berbalik arah.

"Kalau boleh tau, Pak, saat itu cara dakwah yang beliau pakai seperti apa ya?"

"Dengan cinta tentunya."

Imel menoleh. Menatap salah seorang pengunjung yang tampak sedang mewawancarai pengurus makam di sana. Hanya berjarak tiga meter di antara mereka. Terjangkau jelas. Seperti sedang meliput untuk suatu acara atau barangkali untuk tugas. Mungkin. Dugaan Imel saja. Kata cinta yang terbawa terbang menuju telinga, membuatnya jadi tertarik untuk menyimak dengan seksama.

"Cinta yang bagaimana maksudnya, Pak?"

"Yang keberadaannya membuat seseorang jadi tergerak dengan suka rela." Meski medok, suara lelaki berbaju putih dengan peci hitam itu terdengar syahdu.

Lihat selengkapnya