Cahaya Hidayah Sang Putri

Rosa L.
Chapter #2

After School Drama

“Tadi kok nggak nongol di kantin? Kita nungguin, loh!” Rowena and the gank mendekatinya usai kelas Kimia.

“Oh, tadi masih bicara dengan Mr. Jorissen…”

“Nggak kenapa-kenapa, kan? Mr. Jorissen jarang sekali bicara secara pribadi dengan siswa di sini kecuali kalau sudah beneran parah kasusnya…”

“Nggak, cuman nasehatin aja…” tepis Nesha lalu bangkit sambil mencangklong tasnya. “Kelas terakhirku hari ini Bahasa Inggris! Kalian sama?”

“Iya, dengan Mr. Jones, kan? Ayo bareng!” Rowena mengamit lengannya. Tanpa sengaja mereka bertemu pandang dengan Annisa dan Aisha. Nesha melambaikan sebelah tangannya sambil tersenyum pada mereka, tapi keduanya mundur teratur sambil tersenyum hambar.

“Kamu ramah banget, ya? Suka bergaul dengan siapa saja…” komentar Rowena. 

“Ya, aku suka berteman dengan banyak orang! Dulu waktu SMP, aku ini Ketua OSIS…”

“Oh, Ketua OSIS…” Dania tampak agak kaget. Mereka keluar kelas, dan karena kelas Fisika bersebelahan, Nesha bisa melihat Arslan di sana. Gadis cantik itu segera melambaikan tangannya sambil tersenyum, namun Arslan berbalik tanpa indikasi bahwa mereka saling mengenal. Senyum Nesha memudar dan Rowena tertawa.

“Baru kenal Arslan, ya? Wajar kalau kaget. Dia itu bukan tipe yang ramah. Dulu biasanya dia akan pindah kalau ada yang duduk dekat dia, makanya nggak ada yang berani lagi. Karena itu kita semua kaget waktu kamu berhasil duduk dekat dengan dia tanpa terjadi apa-apa. Dua kali lagi….”

“Oh, gitu… Mungkin karena aku telat dan kelasnya sudah dimulai?”

“Awalnya kita pikir juga begitu apalagi kamu murid baru. Tapi di kelas Mr. Jorissen kan kita nggak telat, dan Arslan tetap diam aja waktu kamu duduk dekat dia…”

“Lagi capek kali….?”

Rowena tertawa. 

“Kamu polos juga, ya…”

“Nah, sudah sampai!” celetuk Cindy. Nesha mencari-cari dan Arslan tidak ada dimana-mana namun Annisa dan Aisha ada di belakang kelas. Nesha tersenyum lagi ke arah mereka dan sudah hendak menghampiri kedua teman barunya itu, tapi Rowena menahan lengannya.

“Duduk dekat kita aja, lebih dekat papan tulis, gimana?”

“Tap…”

“Yuk!” Rowena agak memaksa sehingga mereka berempat akhiratnya duduk bersebelahan dalam satu deret. Arslan masuk ke dalam kelas itu tak lama kemudian dan Nesha kembali tersenyum saat mereka saling pandang. Namun pemuda blasteran Turki itu tidak menunjukkan reaksi apapun dan memilih duduk di dekat pintu dan seperti kata teman-temannya, tak ada satupun yang berani duduk di dekatnya.

Kelas mereka berjalan lancar dan tanpa terasa tibalah waktunya untuk pulang.

“Nesha, kamu mau kemana setelah ini?” tanya Cindy.

“Nanti jam enam sore aku ada les piano, jadi sekarang aku mau pulang dulu buat siap-siap…”

“Ikut ngopi-ngopi sebentar, yuk, di kafe yang baru buka dekat sekolah!” ajak Rowena. “Sebentar, kok! Nongkrong buat selfie doang buat dimasukin ke sosmed, terus kita bisa pulang….”

“Tapi aku sudah dijemput sopir…”

“Sebentar aja, kok! Dekat sini doang! Minta sopirmu untuk nunggu di depan sekolah…”

“Gimana kalau ajak yang lain?” usul Nesha. “Aisha atau…”

“Kita-kita aja, yuk!” Rowena tidak memberikan Nesha pilihan atau kesempatan untuk lolos dengan segera mengamit lengannya sehingga demi kesopanan, Nesha terpaksa mengiyakan.

“Oke, deh…”


***


“Maaf, ya, Non… Saya nggak menyangka kalau ternyata bannya ada masalah…” kata sopirnya saat mobil mereka harus rela berhenti di tepi jalan usai acara ngopi-ngopinya dengan gank Rowena. Ternyata acara itu sangat lama dan sekarang sudah jam lima sore sehingga Nesha hampir terlambat untuk les piano, tapi malahan ban mobilnya tiba-tiba kempes.

“Nggak apa-apa, Pak, saya naik taksi online saja… Sudah keburu telat, nih…”

Namun ternyata dia tak kunjung mendapatkan tumpangan entah karena sibuk atau bagaimana. Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna biru metalik berhenti di dekatnya, dan kemudian kaca mobilnya pun terbuka.

“Nesha?” Mr. Jorissen memanggilnya, membuat Nesha mendekat. “Itu mobil kamu? Mogok, ya?”

“Yes, Sir, mana saya harus segera les piano lagi! Ini saya mau pesan taksi online tapi nggak dapat juga!”

“Sekitar sini memang macet sekali kalau jam-jam pulang kantor begini, makanya banyak taksi online yang tidak mau mengambil penumpang dari jalur sini… Kamu les piano jam berapa?”

“Satu jam lagi, Sir!”

“Sebentar, ya…” Mr. Jorissen turun dari mobilnya lalu memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian ia berteriak, “Arslan!”

Nesha agak terkejut saat melihat Arslan sedang mengenakan helm di sebelah sebuah sepeda motor sport yang tampaknya mahal. 

“Ayo, Nesha, ikut saya,” Mr. Jorissen meraih tangannya lalu mengajaknya mendekati Arslan yang sedang terbengong-bengong memandangi guru dan temannya yang merupakan kombinasi tidak biasa itu. “Kamu baru pulang dari ekskul karate?”

“Yes, Sir,” kata Arslan singkat.

“Bisa tolong antarkan Nesha ke tempat les pianonya? Dia hampir terlambat dan kamu tahu sendiri kalau di sini sangat macet jam-jam segini kalau naik mobil… Ojek online juga biasanya tidak mau ambil penumpang dari sini di jam-jam seperti ini…”

“Iya, tolong dong! Nanti aku dimarahin Mama kalau sampai nggak datang!” mohon Nesha.

“Kenapa nggak pergi dari tadi sih?” tanya Arslan. “Kan kita sudah pulang berjam-jam yang lalu!”

“Tadi diajak ngopi Rowena, katanya sebentar, tahunya lama…”

“Ya sudah, tolong kamu antarkan dia, ya? Saya naik mobil juga, soalnya, nanti tidak keburu…”

“Les kamu di daerah mana?”

“Ini… Di sini…” Nesha menunjukkan satu alamat kepada Arslan di ponselnya. 

“Ini jauh sekali! Bisa satu jam meski naik motor…”

“Hah, beneran? Aku nggak tahu! Tahu gitu, aku nggak akan mampir ngopi tadi!” keluh Nesha. “Padahal ini juga hari pertamaku di les piano ini… Seharusnya aku nggak telat …”

“Tapi bisa, kan, Arslan?” tanya sang guru Matematika.

“Yes, Sir,” akhirnya Arslan mengangguk lalu menaiki motornya.

“Ayo, naik…” kata Mr. Jorissen dan Nesha menurut. Namun karena belum terbiasa, ia hampir jatuh, untung gurunya yang tampan itu menahan tubuhnya. “Hati-hati… pelan-pelan saja…”

“Terima kasih, Sir…”

Arslan menyodorkan tangannya yang sudah memakai sarung tangan dan Nesha meraihnya untuk menyeimbangkan diri. Akhirnya Nesha sudah aman di atas motor namun ia ragu harus pegangan kemana agar tidak dianggap berlebihan.

“Pegang ke pinggangku, nggak apa-apa. Nanti jatuh…” kata Arslan, memahami kekhawatirannya.

Dengan canggung, Nesha melingkari pinggang Arslan dengan kedua tangannya.

“Arslan, hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa, telepon saya!” kata Mr. Jorissen.

“Yes, Sir!”

“Non, jadi ikut teman?” sopirnya berlari ke arahnya. 

“Iya, Pak, ini guru dan teman saya. Nanti saya bilang ke Mama…” sahut Nesha.

“Iya, nanti saya juga bilang sama Bapak dan Ibu. Hati-hati, Non!”

“Iya, Pak!”

“Pergi dulu, semuanya!” pamit Nesha dan Arslan melajukan motornya dengan cepat, membuat gadis itu ketakutan dan mengencangkan pegangannya. Ia kurang suka naik motor dan orangtuanya juga biasanya melarangnya naik kendaraan roda dua itu kalau masih bisa naik mobil. Ia sangat takut karena kalau oleng sedikit saja maka tamatlah sudah riwayatnya.

Apalagi Arslan juga sangat mahir bermanuver sehingga ia meliuk-liukkan motornya memasuki celah mana saja yang bisa didapatkannya di tengah suasana macet kota Jakarta. Nesha tidak pernah naik motor dengan cara seperti ini sebelumnya sehingga ia hanya bisa pasrah saja dan menutup matanya. 

Namun sayangnya, di tengah jalan, turun hujan yang sangat deras sehingga mau tidak mau, mereka harus berteduh di teras sebuah minimarket.

Nesha hampir menangis saat jam di ponselnya menunjukkan pukul enam kurang lima menit dan menurut Arslan, mereka masih sangat jauh dari tempat lesnya berada. Terpaksa ia menelepon ibunya dan memberitahukan bahwa tidak bisa menghadiri les hari ini karena kejadian yang tidak terduga.

Namun kombinasi hujan deras, kebasahan, kedinginan, kelaparan, dan semua kesialannya hari ini membuatnya tidak tahan lagi dan akhirnya menangis terisak-isak.

Lihat selengkapnya