Cahaya Hidayah Sang Putri

Rosa L.
Chapter #3

Di Rumah Sakit

Nesha sedih saat keesokan harinya ia melihat matahari terbit namun dirinya tidak mengenakan seragam sekolahnya. Padahal ia murid yang baru pindah kemarin, tapi langsung sudah harus absen karena sakit. Bahkan kata mamanya, ini bukan untuk waktu rawat inap yang singkat.

Sejak kecil, Nesha memang sakit-sakitan karena itu tidak boleh terlalu capek karena akan membuatnya tubuhnya kolaps. Ia punya beberapa penyakit turunan juga dari orangtuanya dan karenanya harus rutin minum obat setiap pagi dan malam hari.

Hari ini, ibunyalah yang menjaganya di rumah sakit sebab sang ayah harus tetap masuk ke kantor seperti biasa sebagai seorang abdi negara. Karena Nesha berada di kamar VIP, maka fasilitasnya terbilang mewah, mirip seperti hotel bintang lima dengan beragam kelengkapan seperti TV, AC, kulkas, kamar mandi dalam, lemari, dan yang lainnya. Makanannya pun sangat enak dengan penyajian yang representatif layaknya hidangan restoran kelas atas.

Tapi hanya sekedar tiduran seharian tentu membuatnya bosan, sehingga TV di kamar Nesha pun terus dinyalakan untuk mengisi waktu, terlebih ada banyak siaran internasional juga. Sang mama, sementara itu, sibuk sekali dengan ponselnya, duduk santai di sofa dekat tempat tidur, dan sesekali tertawa membaca apapun yang ada di layar gadget canggihnya itu. Ia baru akan bangun jika Nesha butuh bantuan ke toilet, hendak makan, minum obat, atau ada kunjungan dari dokter.

“Nes, Mama tebus obatmu di apotik dulu, ya? Sudah habis ternyata… Sekalian beli kopi di kafe bawah. Kamu mau kue, nggak? Brownies, ya?” kata mamanya menjelang sore. 

“Dikit aja ya, Ma, takut nggak habis…” cicit Nesha saat mendongak dari kegiatannya scrolling feed IG di layar ponsel barunya. Smartphone model teranyar ini baru saja diberikan oleh ayahnya yang berkunjung tadi di jam makan siang, karena ponsel lamanya masih mati total dan diservis.

“Ya sudah, Mama berangkat dulu. Mumpung kamu juga sudah makan dan minum obat, terus kunjungan dokter juga masih lama. Kalau sakit atau kenapa-kenapa langsung telepon Mama, ya?”

“Iya, Ma…”

Ibu Nesha yang cantik dan modis itu, yang hari ini mengenakan rok selutut berwarna biru bersama cardigan berwarna serasi dan tas branded berwarna putih lengkap dengan high heels-nya, lalu mencium kening Nesha sebelum akhirnya keluar kamar. Kini tinggallah anak perempuan cantik itu sendirian di dalam kamar, berusaha tidak takut meski suasananya mengingatkannya pada setting film horor yang pernah ditontonnya.

Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan nonton video yang sedang trending. Karena semuanya menarik, ia jadi terlalu asyik hingga akhirnya terlonjak saat ada yang membuka pintu kamarnya.

“Arslan?”

“Kenapa sekaget itu? Kamu pikir aku ini siapa?” dengus Arslan, yang masih mengenakan seragam sekolah mereka, dengan muka manyun. Ia menoleh ke kiri dan kanan seolah mencari sesuatu. “Kok sendirian aja? Mama atau Papa kamu kemana?”

“Papa masih kerja di kantor. Mama lagi beli obat di apotik lantai satu…”

Arslan mengangguk-angguk, “Aku bawain martabak manis, nih… Boleh, kan, makan martabak manis?”

“Martabak manis itu apaan? Aku tahunya martabak doang…” tanya Nesha, yang tengah mengenakan daster berwarna biru dari rumah sakit, dengan polos. “Ada ya yang versi manis?”

“Nggak pernah makan martabak manis? Kok bisa?” Arslan lalu duduk di kursi dekat ranjang Nesha dan menunjukkan isi kotak makanan yang ia bawa. “Yang ini! Masa di Surabaya nggak ada yang jual, sih?”

“Oh, itu namanya terang bulan kalau di Surabaya! Di sana adanya hanya martabak yang pakai telor…”

“Kita di sini nyebutnya martabak asin buat yang pakai telor dan martabak manis untuk yang ini…” jelas Arslan, membuat Nesha terkikik. 

“Unik, ya? By the way, katanya kamu dulu pernah tinggal di Surabaya, jadi kenapa nggak tahu ada makanan yang namanya terang bulan yang mirip martabak manis?”

“Aku cuman tinggal sebentar di Surabaya, kayaknya kurang dari setahun. Jadi nggak sempat mencicipi semua jajanan yang ada di sana…”

“Tapi rasa terang bulan dan martabak manis sama, nggak, ya? Kalau dari bentuk, sih, mirip!”

“Cobain dulu! Ini martabak manis langgananku yang paling enak, belinya di dekat sekolah! Suka cokelat dan keju, kan?”

Nesha mengangguk, “Boleh tolong ambilkan tisu, nggak? Aku mau nyobain, tapi tanganku kotor, habis main hape…”

“Nih, pakai hand sanitizer punyaku aja,” Arslan melepaskan tas punggungnya yang kelihatannya cukup berat lalu meletakkannya di atas meja, sebelum akhirnya memberikan Nesha satu botol kecil hand sanitizer dari dalam. Setelah mengoleskannya dengan merata di tangannya, Nesha lantas mengambil satu potong martabak manis yang cukup tebal. 

“Enak banget!” komentar Nesha setelah menelan gigitan pertama. “Aku harus tahu belinya dimana!”

“Nanti kalau kamu sudah sembuh, kita ke sana bareng-bareng dan aku akan traktir kamu makan martabak sebanyak apapun yang kamu mau! Yang asin juga enak, ada yang pakai keju mozzarella gitu…”

“Mau, dong! Mau! Boleh titip, nggak?” pinta Nesha.

“Kalau gitu, besok aku beliin martabak asin yang pakai keju mozarella, ya?”

Nesha mengangguk lalu melanjutkan makan martabak manis yang ada di tangannya. 

“Kamu juga makan, dong! Masa aku aja? Ini kebanyakan, nggak mungkin aku abisin sendirian! Nanti juga Mama katanya mau beliin brownies…”

“Taruh di kulkas aja kalau nggak habis. Aku baru aja makan banyak lahmacun buatan Ibu tadi waktu jam makan siang, jadi masih kenyang,” tolak Arslan.

“Lahmacun itu apa?”

Arslan mengutak-atik hapenya sebentar, lalu menyodorkannya untuk menunjukkan foto makanan itu pada temannya yang sedang duduk di atas ranjang rumah sakit, “Ini…” 

“Pizza bukan nih?” tebak Nesha.

“Pizza khas Turki, tapi rotinya tipis dan topping-nya juga agak beda. Ibuku bisa buat lahmacun yang enak banget! Kapan-kapan aku bawain, gimana?”

“Ya, mau!” sorak Nesha, membuat cokelat yang sedang dia makan jadi sedikit muncrat. Arslan tertawa, lantas mengambil tisu di nakas sebelah kiri Nesha. 

“Belepotan banget, sih! Nanti aku dimarahin Mama kamu karena wajah anak kesayangannya jadi penuh dengan cokelat!”

Nesha hanya mesem-mesem saat Arslan membersihkan bibirnya lembut dengan tisu.

“Nah, sudah bersih! Makan lagi, ya, tapi hati-hati, dong…” 

“Oke, Bos…”

Arslan kemudian menceritakan padanya tentang berbagai hal di sekolah sementara Nesha mengambil satu potong martabak manis lagi dan mendengarkan ceritanya dengan seksama.

“Udah kenyang… Boleh tolong ditaruh di meja, nggak? Mungkin nanti Mama atau pembesuk lainnya juga mau ambil. By the way, kamu pembesuk pertamaku hari ini selain keluargaku,” kata Nesha sambil mendorong kotak yang berisi martabak manis pada Arslan. Pemuda tampan itu lantas meletakkannya di atas meja sesuai kata-kata Nesha.

“Oh ya? Dimana mereka yang heboh pengen ngajak kamu makan siang kemarin? “

Nesha tertawa, “Oh, trio di kelas Mr. Jorissen itu? Belum kelihatan tuh batang hidungnya!” 

Namun kemudian ia berdehem, “Haus juga, ya… Ada air mineral di kulkas, boleh tolong ambilin, nggak?”

“Kamu boleh minum dingin?”

Nesha mengangguk, “Asal nggak pedas, terlalu asam, atau bersoda aja…”

“Siap…”

Arslan membuka kulkas dan mengambil satu botol minuman dingin dari dalam yang masih tersegel lalu membukanya hingga Nesha tinggal minum saja.

“Sudah baikan, kan? Minggu ini sudah bisa masuk sekolah lagi, kan?”

Nesha menggeleng lalu meletakkan botolnya di nakas setelah meneguk isinya sedikit.

“Dokter bilang aku harus istirahat agak lama…”

“Kenapa? Apa karena kehujanan kemarin?” Arslan tampak agak kaget.

Lihat selengkapnya