Setelah Bu Tita bicara sebentar dengan Mr. Kingsley dan Mr. Jorissen, keduanya segera pamit pulang. Namun Arslan belum juga beranjak meski sudah malam. Ia hanya izin sebentar sholat Maghrib di mushola rumah sakit.
“Arslan, nggak apa-apa agak lama di sini, Nak? Ibumu nggak nyariin? Kan harus belajar dan buat PR juga,” kata Bu Tita, sepertinya merasa agak sungkan dengan kehadiran Arslan yang sedikit di luar kewajaran.
“Sudah telepon Ibu, Tante. Untuk besok juga kebetulan nggak banyak PR dan lagi nggak ada ekskul,” kata Arslan. “Kasihan Nesha, belum banyak temannya, biar nggak kesepian.”
“Mama!” Nesha baru bangun dari tidur singkatnya. “Oh, Arslan masih di sini? Mr. Jorissen dan Mr. Kingsley sudah pulang?”
“Iya, kedua gurumu udah pulang lama, dari tadi. Tapi Arslan katanya masih pengen nemenin kamu. Baik banget, ya? Rajin sholat lagi,” Mama Nesha senyum-senyum sendiri. “Beruntung sekali anak Mama ini bisa kenal sahabat yang setia kawan seperti Arslan…”
Tak lama kemudian pintu kamar Nesha terbuka, menampilkan papa Nesha, Pak Sulaiman, yang masih pakai seragam PNS. Dia datang bersama kedua anak yang usianya sepertinya lebih muda dari Nesha. “Nesha, Papa datang bersama adik-adik!”
“Mbak Nesha!” seorang remaja laki-laki berusia belasan tahun berlari ke arahnya. Dia cukup ganteng dan berpenampilan rapi, juga memakai jaket dan celana jeans. Ia menoleh ke arah Arslan yang masih memakai seragam sekolahnya. “Mas ini siapa? Pacar Mbak, ya?”
“Oh, ini…”
“Mbak, kapan bisa pulang?” seorang anak perempuan berusia antara tujuh-delapan tahunan ikut menghampiri kakak perempuannya. “Aku pengen main boneka dan rumah-rumahan lagi sama Mbak…”
“Mbaknya kan lagi sakit… Untuk sementara, Nania main dulu sama Mbak Yuni di rumah, ya…” kata Bu Tita seraya mengelus rambut anak perempuannya yang sedang dikuncir dua itu. Nania, adik perempuan Nesha yang sedang memakai baju terusan berenda berwarna merah, tampak agak manyun.
“Arslan sudah di sini rupanya?” Pak Sulaiman juga menoleh ke arah sang pemuda keturunan Turki. “Masih pakai seragam sekolah?”
“Pulang sekolah dia langsung ke sini, Pa. Masih mau nemenin Nesha katanya,” Bu Tita menyenggol lengan suaminya dengan mata berkedip. “Tadi sempat sholat Ashar berjamaah bareng, lho.”
“Oh, begitu? Alim juga temannya Nesha yang satu ini, ya? Ayah dan Ibu apa kabar?” tanya Pak Sulaiman sambil menepuk pundak Arslan.
“Baik, Pak. Mereka kirim salam…” sahut Arslan sopan.
“Salam balik, ya, salam balik! Ayah sudah lama kerja di perusahaan tambang?”
“Iya, sudah dari saya kecil…”
Lalu Arslan dan Pak Sulaiman berbincang-bincang sambil sesekali tertawa sampai pintu mereka diketuk. Makan malam Nesha hari ini sudah datang rupanya.
“Nesha makan dulu, ya? Ayo, Mama suapin! Yang banyak makannya, biar bisa cepat sekolah lagi bareng Arslan…”
“Ma, mau makan ayam bakar kayak Mbak Nesha, dong,” rajuk Nania melihat menu makanan Nesha yang cukup menggiurkan.
“Di bawah ada kantin yang jual ayam bakar! Ke sana aja sama Mas Arslan, mau?” Bu Tita lantas menoleh ke arah Arslan. “Makan malam dulu, ya, Nak? Kebetulan ada adik Nesha yang belum makan, sekalian temenin, ya? Bisa, kan?”
Arslan menoleh sebentar ke arah Nesha, lalu saat melihat senyumnya, ia mengangguk, “Bisa, Tante! Bisa!”
“Aku boleh ikut, Ma? Mau makan ayam bakar juga,” adik laki-laki Nesha ikut nimbrung.
“Boleh! Ridho juga dibawa sekalian, ya?”
“Boleh, Tante, boleh!”
“Papa juga ikut, deh! Kita makan ayam bakar sama-sama, gimana? Nanti kita bungkus satu buat Mama, ya!”
“Iya, Mama biar suapin Mbak Nesha dulu di sini. Sana berangkat, biar nggak keburu kelaparan semuanya!”
“Oke!”
Kemudian Arslan, Pak Sulaiman, dan kedua adik Nesha berjalan ke arah pintu kamar. Sebelum keluar, Arslan masih sempat menoleh ke arah Nesha yang tampak agak bersemangat melahap makanan yang disuapkan oleh mamanya. Ia tersenyum sendiri dan membuka pintu kamar namun rupanya langsung bertemu pandang dengan teman yang ia kenal.
“Arslan?”
“Rowena?”
***
“Arslan kok masih pakai seragam sekolah, sih? Sudah jam segini juga,” komentar Rowena setelah setengah jam lebih berbicara tentang beragam topik dengan Nesha. Ia datang menjenguk bersama Cindy dan Dania sambil membawa bingkisan parcel buah yang cukup mewah. Saat ini, mama Nesha sedang menerima telepon penting sehingga harus menyingkir keluar, terlebih piring makan malam Nesha juga sudah habis, jadi kini hanya tinggal mereka berempat.
“Oh, dia sudah di sini sejak pulang sekolah tadi…” sahut Nesha dengan jujur. “Katanya kasihan karena aku belum punya banyak teman di Jakarta, jadi dia pengen nemenin.”
Rowena dan teman-temannya tertawa, “Kamu serius? Sejak kapan Arslan peduli sama nasib anak baru? Yakin cuman itu alasan dia?”
“Dia ngomongnya gitu, terus juga sopan dan baik, aku bisa apa?” balas Nesha polos membuat Rowena kembali terkekeh bersama teman-temannya.
“Kamu sendiri merasa terganggu, nggak, dengan kehadiran Arslan? Kamu suka, nggak, dengan perhatian dia yang seperti ini?” cecar Rowena.
“Aku sama sekali nggak merasa terganggu. Aku suka punya banyak teman…”
“Maksudnya, sebagai cewek, kamu ada perasaan, gitu, sama Arslan?”
“Kan baru ketemu. Gimana bisa langsung jatuh cinta?”
Rowena dan teman-temannya kembali tertawa mendengar kepolosan Nesha.
“Ada yang mau brownies atau ter… martabak manis, nggak? Silakan diambil, lho, ada di meja…” Nesha mempersilakan, namun Rowena dan teman-temannya, yang semuanya mengenakan rok mini dan tanktop modis berikut tas branded, menggeleng kompak.
“Kalorinya serem banget kayaknya! Nggak, kita baru aja makan salad di kafe depan sana,” Rowena kemudian beranjak diikuti oleh teman-temannya. “Kalau gitu, kita pamit dulu, ya. Cepat sembuh, Nes!”
“Oke, makasih, ya, sudah jenguk aku…”
Rowena dan dua temannya berlalu dengan cepat sehingga kini tinggallah Nesha sendirian di kamar, kembali menonton TV sambil menunggu semua orang. Pintunya dibuka tak lama kemudian oleh Arslan yang masuk seorang diri.
“Lho, Papa dan adik-adikku mana?” tanya Nesha heran.
“Mereka masih mau belanja di supermarket sebelah, tapi karena takut lama, jadi Papa kamu minta aku balik duluan…”
“Iya, sih, rencananya memang malam ini kita mau belanja besar-besaran habis pindahan. Sayang aku keburu sakit…” timpal Nesha agak sedih. “Ketemu Rowena, nggak, di luar? Dia baru pulang...”
“Aku lihat dia tapi sengaja menghindar. Kalau dia ketemu aku sendirian, bisa nggak balik-balik diriku karena diajak kemana-mana,” dengus Arslan. “Kamu beneran mau temenan sama gank Rowena?”
“Aku suka berteman dengan siapa saja. Kenapa?”
“Hati-hati, lho. Mereka itu bukan gank yang biasa-biasa aja. Lihat, kan, penampilan mereka?”
“Oh, karena mereka cantik-cantik, gitu?”
“Bukan hanya itu… Mereka itu nggak kayak kamu yang mau berteman dengan siapa saja. Mereka itu pemilih banget…”
“Kayak yang di TV itu, ya?” Nesha terkikik.
“Aku serius, Nes… Sebaiknya jangan terlalu dekat dengan orang-orang kayak gitu. Daripada kamu nanti terpengaruh…”
“Nesha!” Bu Tita mendadak membuka pintu dan agak kaget melihat Arslan sudah di sana. “Lho, yang lain mana, Mas Arslan?”
“Mau belanja dulu katanya di supermarket sebelah jadi saya diminta balik duluan, takut kelamaan…”
“Oh, gitu…” kemudian Bu Tita tersenyum pada Nesha. “Nes, ada teman Mama yang ingin jenguk kamu…”
“Teman Mama?”
Tanpa menanggapi lebih lanjut, masuklah seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang berkulit putih dengan penampilan yang tampan rupawan. Ia mengenakan setelan jas kerja berwarna biru tua dengan dasi merah, tampaknya adalah orang yang berada.
“Nesha, apa kabar? Nama Om Januar Syailendra. Kebetulan lewat sini dan ketemu Mama kamu, katanya anaknya yang cantik ini sakit. Om boleh jenguk, kan?” Pak Januar kemudian memberikannya sebuah boneka teddy bear yang agak besar dan sangat fluffy. “Kata Mama, Nesha suka teddy bear. Ini, Om belikan biar semangat buat cepat sembuh!”
“Terima kasih, Om,” sahut Nesha, langsung memeluk boneka itu dengan senyum manis. “Om ini teman Mama dari Surabaya atau Jakarta?”
“Om sudah kenal Mama kamu sejak SMA, tapi memang kerja dan hidup di Jakarta. Nanti kalau sudah sembuh, main-main ke rumah Om di Pondok Indah, gimana?” ia menawarkan dengan senyuman yang menampilkan deretan giginya yang putih sempurna, seperti artis saja. Sementara itu, Arslan terlihat agak terperangah mendengar kata “Pondok Indah.”
“Nanti aku dikenalin dengan anak Om, ya? Dia kelas berapa?”
Senyum di bibir Pak Januar sedikit memudar, “Om belum dikaruniai anak. Istri Om sudah lama meninggal…”
“Oh… Maaf, Om…”
Pak Januar mendekati ranjang Nesha lalu mengelus-elus rambut panjangnya, membuat mata Arslan sedikit menyipit.
“Cepat sembuh, ya, Cantik! Kuncinya hanya banyak makan dan cukup istirahat! Om juga punya penyakit seperti kamu, tapi kalau pinter jaga tubuh, bisa kok hidup normal seperti orang kebanyakan…”
“Om juga sakit kayak aku?”
Alis Arslan sedikit naik.
“Dulu, sekarang sudah jarang kambuh… Jarang sekali…” kemudian Pak Januar memandang ke arah Bu Tita. “Mirip sekali Nesha dengan kamu… Seperti melihat kamu waktu masih SMA dulu…”
Bu Tita tersipu malu, “Masa sih?”
“Ini siapa?” tiba-tiba perhatian Pak Januar tertuju pada Arslan, bahkan ia memandangi pemuda tampan itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Pacar Nesha?”
“Bukan, Mas… Ini temannya…”