“Apa maksudnya kartu-kartu kredit saya diblokir? Kan saya tidak ikut korupsi! Ini uang hasil kerja keras saya sendiri! Keluarga saya punya usaha rumah makan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintahan!” teriak Bu Tita pada siapapun di seberang telepon. “Apa maksudnya tindakan preventif? Tapi saya…” suara Bu Tita menghilang saat melihat Pak Januar memasuki kamar rumah sakit tempat Nesha dirawat dengan setelan jas rapi seperti biasanya. “Ya sudah, nanti saya hubungi lagi!”
“Ada apa, Tita? Kamu bilang ini urgent sekali dan menyangkut anak kita, sampai aku harus cancel meeting dengan seorang menteri dan lari ke sini!” tanya Pak Januar dengan wajah sangat serius.
Bu Tita menoleh sejenak ke arah Nesha yang sedang ditemani Arslan menonton TV, lalu menjawab dengan setengah berbisik, “Mas, kartu-kartu kreditku diblokir! Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar biaya pengobatan Nesha! Padahal hari ini Nesha sudah boleh pulang! Boleh pinjam uang dulu?”
“Ya Tuhan, kenapa harus pinjam segala, sih? Nesha itu anakku juga! Ayo, kita ke bagian administrasi!”
“Mas…” Bu Tita menahan lengan Pak Januar yang sudah ingin mengajaknya keluar. “Kita bukan suami-istri. Akan mencurigakan kalau sama-sama ke sana untuk membayar biaya pengobatan Nesha. Tolong kasih aku uang cash saja…”
Wajah Pak Januar tampak agak terpukul lalu ia mengeluarkan satu kartu berwarna hitam dari dompet tebalnya.
“Ini, tarik uang berapa saja di ATM bank mana saja yang kamu mau. Pasword-nya baru aku ubah. Ulang tahun Nesha.”
“Terima kasih, Mas…” ucap Bu Tita berkaca-kaca dan sedianya mereka sudah hampir berpelukan kalau tidak ingat ada anak-anak juga di dalam. Mama Nesha itu lantas mendekati putrinya. “Sayang, siap-siap, ya, dibantu Arslan. Kita pulang sebentar lagi, ya.”
“Mama nggak apa-apa? Tadi teriak-teriak…”
“Mama nggak apa-apa, dong. Kamu cepat berkemas, Mama bayar dulu di bawah,” kata Bu Tita sambil tersenyum meski terlihat agak terpaksa.
“Ya, Ma…”
Setelah Bu Tita keluar, Pak Januar ganti mendekati Nesha dan membantunya bangun lalu mencium pipinya.
“Papa bantu, ya? Mau bawa apa? Pake jaket, ya! Sudah kekecilan, nih! Mau Papa beliin yang baru?”
“Nggak perlu, Pa. Ntar aja…” sahut Nesha muram karena teringat berbagai masalah keluarganya. “Arslan, tolong jangan lupa tabletku…”
“Iya, Nes, ini aku masukin semuanya…”
Mereka bersiap-siap selama lima belas menit sebelum Mama Nesha datang.
“Sudah siap, Nak? Yuk, pulang!” kemudian Bu Tita menyerahkan black card tadi pada Pak Januar, namun ditolak.
“Pakai saja dulu. Kalau kurang, nanti aku top-up. Buat keperluan Nesha juga…”
“Jangan, Mas! Aku takut nanti ketahuan kalau diperiksa yang berwenang dan Mas ikut terseret-seret,” Bu Tita menerimakan secara paksa kartu itu ke tangan Pak Januar. “Nanti aku pikirkan caranya bersama ayahku. Kita pulang dulu biar Nesha nggak capek.”
“Ya, buruan! Aku bakal balik ke kantor! Langsung hubungi kalau ada apa-apa, ya, terutama kalau terkait Nesha!”
“Ya, Mas… Ayo, Nesha Sayang…”
***
“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ada banyak orang di sini?” teriak Bu Tita saat melihat apartemen mewahnya sudah dalam posisi terbuka dan dikerubungi oleh para penegak hukum yang berseragam. Beberapa orang bahkan membawa keluar barang-barang dari dalam, kebanyakan berupa berkas dan komputer.
“Maaf, Bu, tapi apartemen ini dan banyak aset lainnya milik Pak Sulaiman Ibrahim sudah disita oleh negara. Oh ya, tadi pakai mobil sedan yang hitam itu, kan? Dari kemarin kami mencari mobil itu untuk disita juga. Jadi tolong serahkan kunci mobilnya sekarang!” kata seorang petugas yang memakai seragam dinas.
Bu Tita tampak berang dan menolak saat petugas yang lain hendak mengambil kunci mobil dari tangannya.
“Enak saja! Mobil ini saya cicil lima tahun, bukan hasil korupsi! Kalau ada puluhan milyar di rekening saya, belinya akan cash dari kapan tahu!”
“Maaf, Bu, nanti semuanya bisa dibuktikan di pengadilan. Sekarang tolong berikan kunci mobilnya atau aparat akan mengambilnya secara paksa!”
Bu Tita mendengus lalu terpaksa menyerahkan benda mungil di tangannya itu.
“Sekarang silakan Anda dan keluarga tinggalkan dulu tempat ini dan biarkan para petugas melakukan kewajibannya.”
Nesha hanya bisa menangis diam-diam melihat semua itu sambil memeluk Arslan, sebelum Bu Tita mengajak mereka semua turun lewat lift.
“Ma, kita mau kemana? Balik ke Surabaya? Kan rumah yang sana sudah dijual! Apa kita ke rumah kakek saja seperti adik-adik?” tanya Nesha saat mereka berjalan di lobi.
“Tante, bisa ke apartemen saya dulu, kok! Sekedar mampir sebelum memutuskan mau kemana. Biar Nesha nggak terlalu capek!” Arslan menawarkan. “Pake mobil saya aja dulu! Masih di parkiran, lho…”
“Iya, Ma, naik mobil Arslan aja. Kepalaku pusing…” Nesha setuju sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Arslan.
“Duduk dulu, Sayang… Duduk dulu… “ Arslan membawanya duduk di sebuah sofa putih yang empuk yang terdapat di lobi gedung apartemen Nesha.
“Mama telepon Papa Januar, ya…”
“Tapi, Ma…”
Namun Bu Tita sudah menempelkan smartphone-nya di telinganya.
“Halo, Mas, apartemen dan mobilku, juga semua aset kami, sudah dibekukan oleh negara! Untung adik-adik Nesha sudah aku kirim ke rumah kakeknya di Surabaya! Tapi Nesha bagaimana?” Bu Tita mendengarkan sebentar. “Oh, oke. Aku tunggu di lobi apartemen, ya? Kasihan Nesha masih pusing… Ya, oke… Terima kasih, Mas…”
Tak lama kemudian, Bu Tita duduk di sebelah Nesha. Wanita yang memakai jaket beludru merah marun yang mewah dengan rok selutut berwarna hitam itu menghela napas lalu memeluk putrinya yang tampak lemas. Bahkan Nesha hanya memakai daster rumah sakit yang ditumpuk dengan jaket, sementara Arslan di sebelahnya masih menggunakan seragam sekolahnya.
“Nanti kita menginap dulu di rumah Papa di Pondok Indah, ya, Sayang. Papa sedang jemput kita di sini. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja…”
Setelah setengah jam lebih menunggu tanpa beranjak dari sofa, akhirnya Pak Januar datang, masih menggunakan pakaian kerjanya yang tadi. Bu Tita langsung menghampirinya.
“Mas, tolong belikan air minum untuk Nesha, dia kehausan dari tadi! Uang cash-nya aku taruh di mobil dan sudah disita negara…” airmata Bu Tita menetes. “Kasihan sekali harus kehausan begitu padahal sedang sakit…”
“Oke… Oke… Aku belikan sesuatu untuk Nesha, ya… “ Pak Januar lalu menghampiri Nesha yang menyandarkan kepalanya ke pundak Arslan dengan mata nanar. “Sayang, haus, ya? Mau minum apa? Makan siang sekalian di restoran depan, yuk? Ayo, Sayang!”
Pak Januar membantu Nesha berdiri lalu membiarkannya ganti menyandarkan kepala ke pundaknya sambil melingkarkan tangan ke pinggangnya.
“Aku pusing, Pa…” isak Nesha lirih.
“Sudah minum obat, belum?”
“Sudah… Tapi masih pusing…”
“Makan dulu, ya? Nanti pulang ke rumah Papa di Pondok Indah. Ayo!”
***
Rumah Pak Januar di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, sangat besar dan mewah. Bergaya Mediterania dengan nuansa putih gading, hunian itu memiliki kolam renang, taman, ruang fitnes, perpustakaan pribadi, bioskop dan salon mini, juga beragam fasilitas mewah lainnya, termasuk belasan kamar yang setara dengan hotel bintang lima. Nesha yang sudah terbiasa hidup berkecukupan saja merasa takjub dengan level kekayaan seorang Januar Syailendra yang adalah ayah kandungnya itu.
“Ini kamar Nesha. Baru saja Papa siapkan. Bagus, nggak?” Pak Januar membawanya ke sebuah kamar yang benar-benar luas dengan dinding berwarna pink yang sepertinya dirancang oleh interior designer kenamaan. Selain memiliki kamar mandi sendiri, juga ada AC, kulkas, TV layar datar besar yang menghadap ke arah tempat tidur bertiang empat di tengah ruangan, meja belajar, meja rias, rak yang penuh berisi buku, dan walk-in closet yang cukup besar dan berisi ratusan baju, tas, perhiasan dan aksesoris lainnya yang semuanya branded.
“Bagus banget, Pa,” Nesha tersenyum gembira. Dibantu mamanya dan Arslan, ia membaringkan diri di ranjangnya yang ternyata sangat empuk dan nyaman. Pak Januar membantu merapikan selimutnya lalu duduk di sebelahnya.
“Di sebelahmu ada bel. Kalau ada perlu, pencet aja dan nanti akan ada mbak yang membantu kamu untuk keperluan apa saja,” ia memberitahu.
“Oke, Pa. Besok aku sudah boleh masuk sekolah, kan? Ada sopir, kan, yang bisa antar-jemput aku?”
“Aku yang bakal antar-jemput kamu tiap hari, Sayang. Lupa kalau sudah punya pacar, ya?” Arslan menyahut sebelum Pak Januar, membuat pengusaha sukses itu tergelak.
“Tuh, sudah ada sopir pribadi, kan?”
“Mana ganteng banget lagi,” celetuk Bu Tita. Kata-katanya membuat Pak Januar tersadar akan kehadirannya.
“Kamarmu ada di sebelah, Tita…”
“Mama tidur sini aja bareng aku! Mau, ya, Ma?” ajak Nesha.
Bu Tita tersenyum, “Boleh, deh!”
“Nanti malam binge-watching drama Turki lagi, yuk! Gara-gara rekomendasi Arslan, kita berdua jadi ketagihan banget!” cetus Nesha.
“Oh ya? Drama apa lagi itu?” tanya Pak Januar tertarik.
“Bagus banget, Pa! Drama kolosal Islami yang ada tokoh ustadz-nya! Nanti nonton bareng aku, ya!”
“Boleh! Ntar weekend, ya… Sekarang Papa balik ke kantor dulu, ada yang mesti diselesaikan. Oh ya, mau makan malam apa? Bilang aja ke Mbok Inah di dapur, nanti bakal dimasakin! Atau kalau mau beli makan pakai ojol di luar, tinggal bilang aja, nanti dibayarin orang rumah, sudah dititipin uang juga untuk urusan rumah tangga!” kata Pak Januar.
“Nggak perlu, Mas, nanti aku yang bakal masakin buat kita semua! Pada suka gulai, kan?” sergah Bu Tita, membuat Nesha bersorak.
“Mau, Ma! Gulai ayam bikinan Mama memang paling juara!”
“Ya udah, Papa pergi dulu. Jangan lupa, lho, sisakan gulainya buat Papa!”
***
“Hei, lihat, ada anak koruptor masuk ke sekolah!” sebuah teriakan nyinyir menyambut Nesha saat ia menginjakkan kaki di pintu sekolahnya. Beberapa siswa tertawa mendengarnya.
“Nggak tahu malu, ya, masih berani datang ke sekolah?”