Cahaya Hidayah Sang Putri

Rosa L.
Chapter #7

Salvation

Pak Januar membawa Nesha untuk tinggal di sebuah desa kecil yang cantik dan terletak di dekat wilayah perbatasan antara Inggris dan Irlandia. Suasananya sangat asri, persis seperti yang biasanya tergambar dalam ilustrasi buku dongeng dari Eropa. Atmosfir dan cuacanya juga amat bersahabat, cocok untuk healing seperti yang dibutuhkan oleh gadis berusia tujuh belas tahun itu.

Selama seminggu, Pak Januar membiarkan putrinya beristirahat agar dapat lebih tenang untuk menjalani kehidupannya yang selanjutnya. Maklum, gadis cantik itu sudah banyak mengalami peristiwa menyedihkan yang menimpanya dalam waktu yang nyaris bersamaan. 

Namun ternyata hanya sekedar makan dan tidur membuat Nesha justru lebih sedih. Ia selalu teringat akan kenangan-kenangan indahnya bersama keluarganya, kehidupannya yang sempat berjalan mulus sepanjang sekolah, dan juga teman-teman baik hati yang ditinggalkannya di Surabaya. Sejak pindah ke Jakarta, kehidupannya jadi berubah drastis. Meski mendapat perhatian dari seorang pemuda tampan yang ia sukai, namun kebahagiaannya itu seolah harus dibayar mahal dengan kambuhnya penyakitnya dalam waktu yang lama, masuknya pria yang ia anggap sebagai ayahnya ke dalam penjara, disitanya berbagai aset penting keluarga, dikeluarkannya kekasihnya dari sekolah, sampai kematian mamanya yang sangat tidak terduga. Ia tak tahu apa salah dan dosanya sehingga semua kejadian buruk itu menimpanya secara bertubi-tubi nyaris tanpa jeda, seolah menganggap bahwa hatinya harus bisa sekuat baja dalam waktu singkat.

Namun nyatanya, Nesha sudah nyaris tak sanggup lagi menjalani kehidupan yang seperti ini. Meski Arslan setiap hari meneleponnya dan menghujaninya dengan ucapan motivasi dan kata-kata cinta, namun semuanya seakan tak berarti saat ia merenung sendirian, dikelilingi oleh bayang-bayang kehidupan bahagia di masa lalu, yang sekarang seolah terampas begitu saja tanpa ia tahu salahnya dimana hingga harus menerima semua ini.

Hingga akhirnya di hari Senin yang cerah itu, ia sudah benar-benar tidak tahan lagi menjalani semuanya. Seakan terinspirasi dari tindakan mamanya, usai sarapan dan tidak ada orang lagi di sekitarnya karena papanya pergi ke suatu tempat dan pengurus rumah mereka sedang berbelanja, Nesha naik ke loteng rumah mungilnya sampai akhirnya ia berada di ujung tangga yang paling atas. Kalau ia menjatuhkan diri dari sini, besar kemungkinannya bisa tidak terselamatkan lagi karena lehernya patah atau yang lebih parah dari itu.

Airmata Nesha menetes saat sekali lagi teringat akan semua kenangan indahnya bersama orang-orang yang ia sayangi. Setelah kilas balik sekian detik itu selesai, Nesha menutup matanya dan bersiap untuk menjatuhkan dirinya. Ia menghirup napas dalam-dalam karena mengira itu adalah yang terakhir, lalu pelan-pelan mulai melepaskan tangannya dari pegangan tangga dan...

"Nesha!" 

Secara otomatis perempuan itu membuka mata dan melihat Mr. Jorissen sudah ada di bawah tangga dengan wajah yang sangat khawatir.

"Kamu sedang apa? Jangan lakukan itu!"

"Say.. saya... ah!"

Namun karena sudah terlanjur hampir melepaskan pegangan tangannya, keseimbangan Nesha terganggu dan ia terpeleset. 

"TIDAK!"

Nesha segera meraih kembali pegangan kayu kokoh di sebelahnya yang tadinya hendak ia lepaskan dan untungnya itu berhasil menghentikannya sebelum benar-benar menggelinding ke bawah. Mr. Jorissen segera berlari ke arahnya untuk menyokong tubuhnya yang belum begitu seimbang.

"Apa yang kamu pikirkan?!" bentaknya sambil memeluk tubuh mantan muridnya itu erat-erat untuk mencegahnya jatuh ke bawah. Nesha hanya bisa menangis terisak-isak di dalam pelukannya. Kemudian Mr. Jorissen membopong tubuhnya dan meletakkannya di sofa ruang tamu. Hening sejenak karena keduanya masih shock dengan apa yang terjadi barusan.

"Saya kenal seseorang," akhirnya Mr. Jorissen memulai pembicaraan. "Dia itu wanita muslim dari Indonesia, sama sepertimu. Tapi dia mengenakan hijab dan salah satu orang paling sabar yang pernah saya temui. Cobaan hidupnya luar biasa, tapi dia tetap tegar di tengah segala keterbatasannya. Dia mengajar agama di dekat sini. Kamu mau saya antar ke sana? Sekedar berbagi perspektif, mungkin?"

Nesha menggeleng, "Saya di sini saja..."

"Nesha, tindakanmu itu sangat berbahaya dan tidak boleh diulangi lagi, apa kamu paham? Sebenarnya kamu butuh konseling dengan psikolog profesional, tapi mumpung dekat dengan teman saya yang itu, mungkin kalau kalian bertemu, bisa sedikit membantu..."

"Tidak perlu, terima kasih...."

Mereka diam selama beberapa lama sampai akhirnya pintu dibuka oleh Pak Januar, yang agak kaget melihat pemandangan di ruang tamu.

"Nesha... kenapa, Sayang? Mr. Jorissen, apa yang terjadi?"

"Nggak ada apa-apa, Pa, aku hanya sedih teringat Mama..." Nesha menjawab cepat sebelum Mr. Jorissen mengatakan sesuatu.

"Begitu..." Pak Januar duduk di sebelahnya lalu memeluknya dan mengusap airmatanya. "Sayang, kamu homeschooling saja sampai lulus, ya? Kondisi kesehatanmu belum memungkinkan, lalu ada gejala depresi juga, jadi belum siap sekolah dengan banyak teman seperti dulu..."

"Homeschooling?"

"Ya, dan karena Papa harus mengurus banyak sekali pekerjaan di luar rumah, Papa meminta Mr. Jorissen untuk menjadi tutor privatmu mulai hari ini sampai lulus nanti. Bagaimana?"

Nesha memandang Mr. Jorissen yang lantas menampilkan senyum tipisnya kepadanya, yang entah kenapa membuatnya sedikit tenang.

"Kenapa harus Mr. Jorissen, Pa? Bagaimana dengan pekerjaan beliau di sekolah? Dan..."

"Saya sudah resign sejak minggu lalu dari tempat kerja yang lama jadi sudah siap menjadi tutormu," sela Mr. Jorissen.

"Papa pilih Mr. Jorissen karena kualifikasinya yang sangat bagus. Apa kamu tahu kalau dia itu lulusan MIT?"

Nesha melebarkan matanya, "Lulusan MIT jadi guru Matematika di sekolah?"

Mr. Jorissen terkekeh, "Ya, memang ada banyak pilihan karir di luar sana, tapi saya lebih senang mengajar generasi yang lebih muda..."

"Dan juga, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang hubungan kita sebagai ayah dan anak," tambah Pak Januar. "Jadi, ketika beliau menawarkan diri, Papa pikir, kenapa tidak?"

"Apa benar Anda tidak ingin berkarir yang lebih bagus di luar sana, Mr. Jorissen? Dengan gelar dari universitas yang sangat prestisius itu..."

"Saya bisa melamar kerja di NASA, tapi apa gunanya kalau itu tidak membuat saya bahagia?"

"Dan mengajar seorang anak perempuan yang sakit-sakitan di rumah seperti ini membuat Anda bahagia? Dibandingkan dengan pekerjaan Anda sebelumnya, yang semestinya memberikan lebih banyak pengalaman karena ada ratusan siswa yang menunggu Anda untuk menjabarkan teori Matematika?"

"Sejak kapan kamu begitu penasaran dengan kehidupan saya?" Mr. Jorissen tersenyum simpul, membuat wajah tampannya jadi jauh lebih tampan lagi. "Jangan salah, saya merasa sangat senang mendapat perhatian seperti ini dari kamu."

Pipi Nesha bersemu merah namun ia tidak menjawab. Pak Januar berdehem.

"Tadinya sesi belajar pertamanya adalah hari ini, karena itu Papa minta Mr. Jorissen untuk datang ke rumah. Tapi sepertinya... kamu belum siap, Sayang..."

"Tidak apa-apa, saya akan datang lagi besok, mungkin saat itu Nesha sudah lebih baik keadaannya. Saya mengerti dia sedang dalam fase hidup yang sangat sulit...."

"Baik kalau begitu, terima kasih banyak sudah berkunjung, Mr. Jorissen! Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Nesha pasti senang kalau ada lebih banyak orang di meja makan!"

"Tentu, kenapa tidak?"


***


“Entah kamu masuk, atau saya laporkan pada Papa kamu kalau kemarin kamu mencoba untuk bunuh diri.”

Nesha menghela napas saat mendengar ancaman Mr. Jorissen di belakangnya sehingga ia terpaksa mengetuk pintu sebuah rumah berukuran sedang sambil menyiapkan senyuman terbaiknya. Hanya dalam beberapa detik, pintunya terbuka, menampilkan seorang wanita muda berusia sekitar 20 tahunan yang berkulit kuning langsat dengan hijab panjang lebar dan abaya berwarna hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Senyumnya terkembang saat melihat mereka sehingga Nesha segera balas tersenyum.

“Louis?” senyum Nesha agak memudar karena ternyata wanita itu tidak memberi perhatian padanya, namun pada gurunya yang padahal berdiri di belakangnya.

“Izzah?” Mr. Jorissen sepertinya memanggil nama depan perempuan itu, membuat Nesha bertanya-tanya, sedekat apa sang tutor tampan dengan wanita muslimah ini. Melihat hijab besarnya, rasanya ia tidak mungkin akrab dengan begitu banyak lawan jenis, sementara Mr. Jorissen sendiri terkenal sebagai guru yang pendiam namun cukup killer di sekolah sehingga Nesha heran bagaimana mereka berdua sampai bisa sampai begitu akrab.

“Kamu sudah lama banget nggak datang!” Mbak Izzah berkata dalam bahasa non-formal. “Kayaknya betah banget ngajar di negaraku!”

“Terima kasih sudah merekomendasikan Indonesia sebagai tempat untuk bekerja! Tentu, itu adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidupku!” balas Mr. Jorissen sambil menampilkan senyuman tipisnya, membuat Nesha yakin bahwa mereka benar-benar dekat karena sang guru tidak akan memberikan senyuman itu sembarangan. Bahkan selama mengajar di kelas, Mr. Jorissen tidak pernah tersenyum sama sekali. Kenapa dia merasa kurang nyaman dengan fakta itu?

“Ini siapa? Cantik banget… Masih remaja, kan? Muridmu?”

“Ya, ini Nesha, muridku dulu di Jakarta. Dia tertimpa masalah yang sangat berat jadi pergi ke Inggris bersama ayahnya untuk menenangkan diri,” jelas Mr. Jorissen.

“Dan apa peranmu, Louis? Akhirnya kamu dipromosikan sebagai wali kelas dan mengantarnya secara khusus?”

“Tidak, aku ini tutornya mulai sekarang. Ia akan homeschooling bersamaku…”

“Wah, betapa beruntungnya!” seru Mbak Izzah seakan tak rela. “Bisa dekat dengan seorang Louis Jorissen, sang pangeran es, selama berjam-jam sehari dan mendengarkan semua ocehan hebat yang membuatnya jadi lulusan terbaik di MIT! Pasti menyenangkan!”

Mata Nesha terbelalak mendengar fakta itu, “Lulusan terbaik?”

“Ya, apa kamu belum tahu? Dia ini lulusan terbaik di MIT bahkan waktu lulusnya sangat cepat! Aku tahu karena dulu suamiku…” Mbak Izzah berhenti sejenak, pandangannya menjadi sendu.

“Suami Izzah dulu adalah teman saya di MIT,” Mr. Jorissen menyelesaikan kata-kata perempuan itu, “Teman yang sangat baik dan begitu cerdas. Sayang dia meninggal karena kecelakaan hanya beberapa hari sebelum diwisuda untuk gelar doktornya.”

“Oh, maaf…” ucap Nesha.

“Nggak apa-apa, sudah lama juga, lima tahun yang lalu! Tapi karena kalian sudah datang berdua begini, pasti ada tujuannya, dong? Ayo, masuk dulu!”

Mbak Izzah sengaja meminggirkan tubuhnya dan Mr. Jorissen mendorong Nesha untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Terlihat ada beberapa anak kecil yang berlarian di ruang tamu.

“Itu anak-anak saya. Kadang tingkah mereka agak aneh, jadi biarkan saja, ya,” kikiknya sementara salah seorang putranya menghampiri Mr. Jorissen.

“Om Louis! Akhirnya mampir lagi! Aku kangen, lho, pengen main catur lagi!”

“Nanti kita main, ya, Ahmad? Sekarang Om mau bicara dengan Ummi dulu…”

“Oke!”

Lihat selengkapnya