Cahaya Hidayah Sang Putri

Rosa L.
Chapter #8

Family

“Berani-beraninya kamu membawa pergi Nesha ke luar negeri! Mentang-mentang ibu Nesha sudah tiada!” Nenek Nesha yang juga adalah ibu dari Bu Tita, Bu Diandra, mengomeli Pak Januar saat mereka sudah berada di salah satu rumah sakit besar di Surabaya untuk menjenguk Kakek Nesha, Pak Rahmat, yang sedang kena stroke.

“Bukannya sudah saya katakan sebelumnya, Bu, kalau Nesha ini adalah putri kandung saya? Ada tes DNA yang bisa membuktikan hal itu!” jawab Pak Januar. “Sulaiman sedang tidak ada dan mamanya Nesha juga sudah meninggal, sementara Nesha sakit-sakitan! Apa saya harus membiarkannya begitu saja?” tambah Pak Januar, yang saat itu mengenakan pakaian kerja berbalut mantel tebal berwarna abu-abu, karena mereka langsung berangkat ke Surabaya sepulang ia kerja tanpa sempat mengganti baju.

“Nesha masih punya kakek dan nenek! Memang kakeknya sekarang sedang sakit, tapi saya masih ada!” Bu Diandra memeluk Nesha yang, seperti ayahnya, juga mengenakan jaket bepergian berwarna hitam, lebih untuk menghalau cuaca yang dingin untuk tubuh ringkihnya. “Kami masih punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan Nesha dan kedua adiknya!”

“Nesha adalah darah daging saya, dan sebagai ayah kandungnya, saya berhak juga untuk mengasuh Nesha!” sergah Pak Januar.

“Lalu kemana saja kamu selama tujuh belas tahun ini?” serang Bu Diandra yang tengah mengenakan daster batik yang ditumpuk dengan jaket berwarna hitam.

“Saya juga baru tahu beberapa bulan sebelum Tita meninggal bahwa Nesha adalah putri kandung saya! Sebelumnya, seperti semua orang, saya mengira Nesha adalah putri Sulaiman dari pernikahannya dengan Tita, apalagi wajah Nesha memang sangat mirip dengan mamanya! Kalau saya tahu dari dulu kalau Tita sedang mengandung anak saya, tak akan saya biarkan dia menikah dengan pria lain!”

“Tapi buktinya keluarga mereka bisa hidup bahagia tanpa kehadiranmu, kan? Ya, sudah, pergi saja sana selamanya! Terima kasih sudah menjaga Nesha selama beberapa minggu ini, tapi biarkan Nesha pulang pada keluarganya!” seru Bu Diandra, lalu bicara pada cucunya. “Nesha, Mbah Putri senang sekali akhirnya kamu bisa pulang! Mbah kaget sekali waktu dengar kamu dibawa ke luar negeri oleh… orang ini saat kami sedang sibuk menyiapkan tahlilan untuk mamamu,” Bu Diandra memandang Pak Januar dengan sinis, “Sekarang tinggal sama Mbah saja di Surabaya, ya? Kamu bisa masuk kembali ke sekolah lamamu. Ayo, Nak, ambil kopermu dan kita pulang ke rumah Mbah…”

“Tidak bisa!” Pak Januar memegang sebelah tangan Nesha. “Nesha adalah putri kandung saya! Tak akan saya biarkan dia dibawa pergi kemanapun! Dalam surat perpisahannya, Tita juga minta saya untuk terus menjaga Nesha!”

“Saat menuliskan surat wasiat itu, Tita mungkin tidak dalam kondisi kejiwaan yang sehat! Lagipula, kamu sadar kamu ini siapa? Kamu ini bukan suami Tita! Secara agama, kamu tidak berhak bahkan sekedar menikahkan Nesha kelak! Jadi sebaiknya kamu pulang saja ke rumahmu di luar negeri sana dan jangan pernah kembali lagi! Sekarang, lepaskan tangan cucu saya!” bentak Bu Diandra sambil menyentakkan tangan Pak Januar dari Nesha. “Ayo, Nesha, kita pulang ke rumah, Nak…” 

“Saya bisa tuntut ini ke pengadilan! Saya tidak akan membiarkan Nesha berada dalam pengasuhan orang lain selama saya masih hidup!”

“Silakan saja! Tapi untuk saat ini, Nesha harus tinggal bersama keluarganya!”

“Tapi, saya ini juga keluarganya…”

“Apa kamu tidak memikirkan masa depan Nesha? Apa kata orang nanti jika tiba-tiba Nesha tinggal dengan laki-laki asing yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah dengan ibunya?” cecar Bu Diandra.

“Justru saya ingin menyelamatkan Nesha dengan membawanya ke luar negeri! Di sini, dia dicaci-maki oleh teman-teman dan orang-orang di sekitarnya sebagai ‘putri koruptor’! Tapi saat dia tinggal di luar negeri bersama saya, semua baik-baik saja, tidak ada yang mengejeknya!”

“Itu hanya alasanmu saja untuk mendapatkan anak dari Tita! Saya tidak akan pernah mengizinkan ini terjadi! Nesha harus tinggal dengan keluarga ibu kandungnya, yang jelas hubungannya baik secara hukum atau agama! Ayo, Nesha!”

“Papa…” hanya itu yang bisa Nesha katakan saat dibawa masuk oleh neneknya ke dalam sebuah mobil SUV putih yang sudah menunggu di pelataran rumah sakit.

“Nesha… Papa akan datang, Sayang! Jangan khawatir! Sabar, ya, Sayang!”

“Jangan panggil ‘Papa’ lagi! Dia bukan orang yang pantas untuk dipanggil seperti itu!” sentak Bu Diandra, lalu berkata pada anak lelakinya, Om Andre, yang sedang menyetir mobil. “Jalan, Dre!”

Mobil yang dikendarai oleh pamannya itu pun berlalu dengan kencang, meninggalkan Pak Januar yang hanya bisa memandanginya dengan wajah yang sangat terpukul.


***


“Kamu balik lagi ke Surabaya, Nes?” tanya Arslan dari seberang telepon.

“Iya, sudah tiga minggu aku tinggal di sini,” jawab Nesha. “Kamu sudah di Ankara?”

“Ya, aku sudah sekolah lagi di Ankara di sekolah internasional dekat kantor baru ayahku…”

“Pake bahasa Turki, nggak?”

Arslan tertawa, “Nes, ayahku itu orang Turki asli! Terus kamu pikir aku nggak bisa bahasa Turki, gitu? Tapi kalau di sekolah sih lebih banyak pakai bahasa Inggris, samalah seperti di Jakarta dulu…”

“Aku pengen dengar kamu bicara pakai bahasa Turki, deh! Gimana, sih? Penasaran banget….” Kata Nesha sambil terkikik, dan Arslan di sana juga terdengar tertawa.

“Kapan-kapan kalau kamu ke sini, kamu akan lihat gimana lancarnya aku bicara pakai bahasa Turki! Bahkan mereka aja nggak ada yang ngeduga kalau aku ini punya darah Indonesia juga.”

“Iya, sih, muka kamu memang lebih kebarat-baratan jadi kalau nggak ngeh, bakal dikira bule asli!” tukas Nesha. “Aku mau mulai belajar bahasa Turki, deh, biar bisa ngomong sama kamu dan Om Omer! Biar lebih disayang calon ayah mertua…”

Keduanya tertawa, namun sejenak kemudian suara Arslan jadi lebih serius, “Tapi tubuh kamu gimana? Aku agak kaget lihat foto di status WA kamu tiga hari yang lalu. Kamu masuk rumah sakit lagi?”

“Iya, mungkin karena kecapekan muter-muter Surabaya. Habis kangen banget, juga sempat main sama teman-teman lama aku. Sehari sebelum balik ke sekolah lama, tiba-tiba sepulangnya dari jalan-jalan di Kenjeran, aku pingsan dan kata dokter harus di-opname lagi karena penyakitku kambuh. Terpaksa nggak bisa masuk sekolah lagi, deh…” cerita Nesha agak sendu, memandangi kota Surabaya dari lantai lima kamar rumah sakitnya yang mewah. “Tapi aku nempatin rumah sakit berskala internasional yang baru aja diresmikan presiden. Kamarnya lebih bagus dari yang dulu yang pernah aku tempati di Jakarta itu. Kesan hotel berbintangnya lebih terasa, makanannya juga enak-enak banget!”

“Kalau terus sakit gini, kapan masuk sekolah lagi? Apa kamu siap untuk menghadapi ujian akhir?” tanya Arslan khawatir.

“Sebenarnya aku sudah bakal homeschooling dengan Mr. Jorissen, yang diatur sama Papaku, tapi belum juga mulai, Mbah Putri keburu bertindak. Waktu aku jenguk Kakekku yang stroke di Surabaya, aku nggak boleh balik lagi ke Inggris bersama Papa.”

“Oh, jadi Mr. Jorissen itu tutor homeschooling-mu? Jadi dia berhenti kerja di sekolah kita yang dulu?”

“Ya, katanya dia sudah resign dari sana… Tahu, enggak, katanya dia itu lulusan terbaik dari MIT!”

“Serius? Lulusan terbaik MIT cuman jadi guru Matematika? Sekarang turun kelas jadi tutor privat lagi… Kok nggak sayang sama gelar yang dia punya, ya?” gumam Arslan bingung.

Lihat selengkapnya