“Louis? Nesha… dan…”
“Ini Papa saya,” Nesha menunjuk papanya yang tersenyum saat melihat Mbak Izzah.
“Perkenalkan, saya Januar Syailendra, ayah Nesha,” Pak Januar hendak menjabat tangan Mbak Izzah, tapi perempuan berhijab panjang dengan abaya yang sama-sama berwarna jingga tua itu hanya menangkupkan tangannya ke dada, seperti salam ala orang Thailand.
“Izzah tidak menjabat tangan orang yang bukan mahramnya, Mr. Januar, “ Mr. Jorissen memberitahu, membuat Pak Januar menurunkan tangannya sambil tersenyum kagok.
“Ramai sekali tamu saya hari ini, ya… Ayo, silakan masuk!”
Mbak Izzah meminggirkan tubuhnya, membuat ketiga orang tersebut memasuki ruang tamunya yang hanya memiliki seperangkat sofa tua berwarna putih dan sebuah lemari kaca yang berisi beberapa buku dan ornamen.
Pak Januar mengenakan setelan jas rapinya yang berwarna cokelat tua seperti biasa, Nesha menggunakan celana jeans dan sweater berwarna biru muda, sedangkan Mr. Jorissen memakai celana dan kemeja berwarna hijau terang, seperti jika ia mengajar di sekolah, hanya saja kali ini dipadukan dengan sweater abu-abu karena cuaca Inggris saat itu cukup dingin.
“Silakan duduk. Mau minum apa?”
“Saya merekomendasikan susu kurma buatan Izzah, Mr. Januar. Nesha waktu itu belum sempat mencicipinya, jadi mungkin hari ini mau mencobanya. Biskuit madu buatan Izzah juga sangat enak,” kata Mr. Jorissen seakan berpromosi.
“Boleh, deh! Saya mau susu kurma dan biskuit madunya. Papa juga mau?” tanya Nesha bersemangat.
“Tentu, Sayang. Kenapa tidak?”
Mbak Izzah silam sebentar ke dapur dan tak lama kemudian keluar dengan membawa nampan besar berisi tiga buah mug penuh berisi susu berikut satu toples kue kering bundar berwarna cokelat muda.
“Silakan dinikmati…”
Mr. Jorissen segera menyeruput susu kurma hangatnya tanpa sungkan-sungkan lalu mendesah puas, membuat Nesha tertarik, demikian pula Pak Januar. Keduanya saling pandang takjub saat telah mencicipi minuman masing-masing.
“Enak sekali ternyata,” puji Pak Januar. “Anda benar, Mr. Jorissen!”
“Jangan lupa cicipi biskuit madunya,” Mr. Jorissen membuka toples dan mengambil satu untuk dia gigit, sebelum menutup matanya sesaat ketika mengunyahnya. “Saya selalu sarankan agar Izzah buka pabrik, tapi dia tidak pernah mendengarkan.”
Mbak Izzah tertawa, “Kamu buka restoran dan aku buka pabrik, ya? Lalu kita sama-sama akan jadi billionaire!”
“Bukan ide yang buruk juga…” kekeh Mr. Jorissen.
“Pa, cobain biskuitnya!” Nesha mengambil dua keping biskuit untuk dirinya dan papanya. Setelah merasakan sensasi gigitan yang pertama, ia terkesiap, “Wah, benar, Sir! Rasanya ini biskuit terenak yang pernah saya makan!”
“Nesha tidak bohong! Bagaimana kalau ini dijual saja? Rasanya benar-benar mantap!” dukung Pak Januar. “Saya punya banyak kenalan yang bisa mewujudkan mimpimu untuk memiliki brand biskuit sendiri!”
“Mr. Januar ini seorang billionaire yang usahanya sudah merambah ke seluruh dunia. Awalnya ayah beliau mulai dengan satu pabrik sepatu, tapi kini jaringan bisnisnya sudah luar biasa, sampai ada hotel, minimarket, dan mall juga,” Mr. Jorissen menjelaskan.
“Seperti ayahmu, Louis?”
Nesha dan Pak Januar terbelalak.
“Apa ayah Anda seorang pengusaha besar?” tanya Pak Januar.
“Ayahnya itu Karl Andersen, billionaire dari Denmark yang merajai dunia dengan perusahaan furniturnya. Apa kalian pernah bertanya-tanya kenapa seorang lulusan MIT hanya bekerja sebagai guru? Karena dia tidak butuh lagi uang. Trust fund-nya saja bisa bikin dia foya-foya seumur hidup! Iya, kan, Louis?”
“Saya kenal Karl Andersen! Tapi kenapa nama Anda…”
“Ayah dan ibunya bercerai saat masih kecil. Louis juga adiknya, Liam, memilih ikut ibunya yang berasal dari Belgia dan menggunakan nama keluarganya. Sekarang ibunya sudah meninggal dan ayahnya juga telah menikah lagi dan memiliki anak-anak yang lain. Tapi dia tetap dapat harta warisan dari ayah kandungnya…”
“Sudah cukup, ya, sesi perkenalannya, Izzah?” kata Mr. Jorissen agak jengah, lalu menoleh pada Pak Januar. “Saya tidak pernah menyembunyikan apapun… “
“Apa seorang billionaire bisa mengajar aku, Pa? Dia kan sebenarnya nggak butuh gaji dari Papa,” gumam Nesha minder. “Aku sungkan dan malu diajari oleh seorang billionaire begini.”
“Lihat masalah apa yang kamu timbulkan, Izzah?” Mr. Jorissen memandangnya tajam.
“Anggap saja kamu diajari oleh seorang kakak yang baik hati dan ganteng,” timpal Izzah. “Kapan lagi, ya, kan?”
“Apa pernah terpikir bagi Anda untuk kembali ke Denmark dan meneruskan perusahaan ayah Anda, Mr. Jorissen?” tanya Pak Januar serius.
Guru muda itu sedikit tergelak, “Tidak, saya lebih suka menjadi seorang guru. Saya punya banyak saudara lain yang mengurusi bisnis ayah saya.”
“Tapi ada apakah gerangan sampai membawa mereka ke rumahku, Louis?” kali ini Izzah yang bertanya.
“Ah, ya, Mbak Izzah. Nesha kemarin bercerita tentang pandangan-pandangan Anda mengenai agama. Jujur perspektif Anda begitu unik…” Pak Januar memulai.
“Perspektif saya? Itu bukan pandangan pribadi saya, Pak! Semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan hadist-hadist shahih!” koreksi Mbak Izzah.
“Misalnya tentang pacaran…”
“Ya, saya sudah bilang pada Nesha. Tidak ada pacaran dalam Islam, berdasarkan surat Al-Isra’ ayat 32, yang menyarankan agar tidak mendekati zina. Lalu apa Anda pernah mendengar Rasulullah SAW dan para sahabat beliau melakukan itu sebelum menikah, Pak Januar? Kalau itu adalah hal yang bagus, maka mereka semua pasti sudah melakukannya. Tapi mereka semua tidak ada yang pacaran. Jika mereka menyukai lawan jenis maka hubungan mereka akan dilanggengkan ke dalam ikatan pernikahan. Tidak ada saling sentuh, cipika-cipiki, peluk-pelukan, apalagi yang lebih dari itu sebelum menikah. Semuanya dilakukan setelah hubungan mereka sah,” jelas Mbak Izzah.
“Tapi bagaimana mereka bisa saling mengenal?”
“Nesha juga menanyakan hal yang sama. Baik, saya akan jelaskan kembali…”
***
Setelah berdebat cukup panjang dengan Pak Januar mengenai pacaran, pernikahan, dan banyak hal lainnya, sampai Mbak Izzah harus mengeluarkan buku-buku agama tebal koleksinya, akhirnya Pak Januar menutup sesi diskusi mereka dengan penuh kekaguman.
“Saya tidak menyangka ternyata Anda memiliki referensi yang sangat bagus. Nesha, kamu harus banyak belajar agama dari Mbak Izzah,” kata Pak Januar.
“Oh, jadi Mbak Izzah bukan termasuk aliran tertentu?” tanya Nesha polos karena sedari tadi dia hanya menonton bersama Mr. Jorissen sambil ngemil biskuit madu sampai toplesnya hampir kosong.
“Apa Anda termasuk…?”
“Tidak, saya hanya seorang muslim biasa yang masih terus belajar. Saya juga sering ikut kajian yang diselenggarakan oleh seorang syekh di London. Awal bulan depan rencananya akan ada kajian baru lagi. Nesha boleh ikut kalau mau.”
“Nesha mau ikut, Sayang? Biar bisa belajar agama juga…”
“Boleh, Pa?”
“Boleh, dong…”
“Saya bisa antarkan…” celetuk Mr. Jorissen.
“Tapi ini kan khusus untuk muslim saja, Mr. Jorissen…” kata Nesha. “Nanti Anda menunggu lama…”
Izzah terkikik, “Kalian belum tahu? Louis ini sudah masuk Islam sejak lima tahun yang lalu!”
“Beneran?”
Mr. Jorissen mengangguk, “Saya memang belum bisa mencapai tingkatan iman seperti Izzah, tapi setiap hari saya terus berusaha untuk menjadi muslim yang lebih baik lagi… “
“Saya tidak menyangka kalau kita ini saudara satu iman, Mr. Jorissen!” Pak Januar menepuk pundaknya.
“Bagaimana kalau segala formalitas ini kita tanggalkan? Panggil saya ‘Louis’ saja, “ usul Mr. Jorissen.
“Hanya kalau Anda memanggil saya Januar tanpa embel-embel ‘Mister’! “
“Lalu saya panggil apa, Sir?” tanya Nesha.
“Kak Louis kayaknya bagus, ya?” usul Mbak Izzah.
“Mas Louis saja gimana?” Nesha memberikan ide yang lain.
Mbak Izzah tertawa, “Oh ya, aku lupa, kamu ini orang Jawa!”
“Mas Louis terdengar bagus juga, ya,” sang tutor tampan tersenyum pada Nesha. “Bolehlah, panggil saya dengan nama itu.”
"Jadi, kapan kita mulai belajar, Mas Louis?"
***
“Aku mencintaimu, Louis…”
“Aku sudah jawab pernyataanmu ini sejak lima tahun yang lalu, Izzah, dan jawabanku belum berubah. Maaf, aku tidak bisa menerima cintamu.”
“Apa kamu mencintai anak SMA yang sedang tidur di belakang kita ini?”
“Menurutmu?”
“Menurutku kamu sedang berjuang untuk menjadikannya milikmu.”
“Kamu tidak salah. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis berusia tujuh belas tahun ini.”
“Tapi dia sudah punya pacar…”
“Kita tidak pernah tahu… Mungkin saja keberuntungan kali ini akan berpihak kepadaku…”
“Nesha, apa pendapat kamu tentang Izzah?”
“Hah?” Nesha tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat ayahnya menanyakan tentang hal itu di suatu pagi yang cerah saat mereka sedang sarapan. Ini sudah tiga bulan sejak ia homeschooling bersama Mr. Jorissen, yang sekarang ia panggil “Mas Louis”. Kini ia juga rutin ikut pelajaran agama Mbak Izzah setiap seminggu sekali yang tadinya diperuntukkan untuk mualaf wanita di kota tempat tinggal mereka. Dari situ, ia mendapatkan banyak pemahaman baru mengenai agama yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia juga selalu ikut Mbak Izzah ke London sebulan sekali untuk mendengarkan kajian Islami dari seorang syekh terkenal lulusan sebuah universitas di Arab. Mr. Jorissen juga selalu mengantarkan mereka ke sana. “Apa maksud Papa bertanya seperti itu?”
Sang papa tersenyum malu-malu, “Izzah cantik, nggak? Menurut kamu ia bakal mau dengan orang seperti Papa, nggak?”
“Papa suka sama Mbak Izzah?” tebak Nesha kaget.
“Ya, Papa kagum sekali dengan kecantikan dan pengetahuan agamanya. Dia juga lulusan MIT, kan? Sudah akrab dengan kamu juga…”
“Pa, dia sudah mencintai orang lain!” kata Nesha, teringat pembicaraan dalam mobil yang ia dengar saat sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah kajian di kota London. Saat itu, Nesha terkulai kelelahan di jok belakang, membuat Mr. Jorissen dan Mbak Izzah berasumsi bahwa dia sudah tidur jadi berbicara tentang hal yang sangat personal.
“Beneran? Kamu yakin?” senyum di wajah Pak Januar memudar. “Kamu tahu siapa orang yang dia sukai?”
Nesha tidak dapat menjawab bahwa itu adalah tutornya karena bisa jadi Mr. Jorissen tidak bisa mengajarnya lagi. Padahal ia sudah terlanjur menggemari gaya mengajar laki-laki muda itu yang amat jelas dan tidak ribet. Wajah tampannya juga sangat enak untuk dilihat. Dan jangan lupakan beef stew dan masakan-masakan buatannya yang lain yang kadang ia bawakan, yang bisa membuat Nesha menjilati piringnya diam-diam kalau sang tutor sedang berpaling. Ya, Mr. Jorissen telah menjadi salah satu guru terfavoritnya dan kalau bisa Nesha ingin setiap hari bertemu dengan “Mas Louis” karena sang pengajar memang semenarik itu…
Ups… dia mikir apa, sih?