Saat bangun pagi keesokan harinya, yang Nesha rasakan hanyalah…
SEPI.
Ia meraih ponselnya, dan memang ada beberapa teman lamanya dari Surabaya yang mengucapkan selamat ulangtahun di WA demikian juga papanya, mama barunya, dan Mr. Jorissen. Tapi kekasihnya, Arslan, seakan menghilang dari peredaran. Apa dia tidak tahu bahwa ini adalah hari ulangtahun Nesha yang ke-18?
Nesha lantas membuka sosmed-nya, mungkin Arslan mengucapkan selamat ulangtahun di sana, tapi ternyata tidak ada juga. Saat mengecek status terbaru Arslan, betapa kagetnya ia saat mendapati pemuda tampan itu telah mengunggah foto dirinya dengan seorang gadis Turki yang berambut hitam panjang bergelombang, bermata biru dan berkulit putih. Mereka sama-sama tengah mengenakan seragam sekolah, tampak tersenyum di depan kamera. Gadis itu cantik sekali, seperti model saja, membuat Nesha minder.
Siapa dia?
Bagaimana dengan perkataan Arslan bahwa kebanyakan gadis-gadis di sekitarnya itu berhijab?
Lalu ini apa?
Saat membaca caption-nya dalam bahasa Turki, Nesha hanya mendapati tulisan singkat yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi “sedang berada di depan sekolah”.
Nesha pun segera menelpon laki-laki muda itu sambil menahan amarahnya.
“Halo?”
“Arslan, itu yang di IG kamu siapa?” tanya Nesha tanpa basa-basi.
“Hah?” Arslan malah kebingungan.
“Itu, yang di IG kamu, cewek cantik itu, siapa? Yang berfoto dengan kamu di depan sekolah itu? Foto terbaru di IG kamu itu!” Nesha berusaha menjelaskan di tengah kemarahannya yang hampir membuncah.
“Oh, itu…” Arslan terkekeh, “Itu teman sekelompok aku di project kelas Biologi, namanya Gulbahar…”
“Aku nggak peduli namanya siapa! Ngapain kamu upload foto seperti itu? Pengen go-public dengan hubungan baru kamu? Lupa kalau masih ada aku sebagai pacar kamu? Hapus, nggak?!”
“Apaan sih marah-marah sepagi ini hanya karena satu foto itu aja?! Emang kalau aku pacaran sama kamu, nggak boleh temenan sama cewek lain, gitu? Posesif banget, sih?! Kamu kan bukan istri aku!” protes Arslan. “Sok banget ngatur-ngatur hidup orang! Harus begini… harus begitu… Kamu sendiri emang mau aku atur-atur? Mau say good bye pada Mas Louis tercinta dan beef stew-nya yang enaknya nggak ada duanya itu?!”
“Kenapa jadi bawa-bawa Mas Louis, sih? Salah dia apa? Kan dia cuma tutor aku!”
“Kamu kok polosnya kebangetan, ya! Dia itu modus jadi tutor kamu biar bisa deketin kamu! Sadar, nggak, sih?!”
“Aku udah tahu dia suka sama aku, tapi…”
“Tapi kamu suka kan dia ada di dekat kamu karena dia ganteng dan anak orang kaya, iya kan?!” tuding Arslan.
“Apaan sih, nuduh sembarangan!”
“Lah, kamu juga sekarang nuduh sembarangan! Aku cuman upload satu foto doang sama temen aku, sudah dituduh macem-macem! Kalau aku suka sama dia, udah aku putusin kamu dari kemarin-kemarin!” bentak Arslan, membuat airmata Nesha menggenang. “Udah, ya? Udah jelas, kan? Kalau gitu, aku mau sarapan dulu, karena harus segera berangkat ke sekolah! Maaf, deh, ortuku bukan billionaire jadi aku harus kerja keras buat masa depanku nanti!”
“Arslan, tunggu!” kata Nesha dengan suara bergetar menahan tangis. “Kamu tahu, nggak, ini hari apa?”
“Hari apa? Hari Rabu, kan, ya…”
“Ini hari ulangtahun aku, Arslan! Kamu lupa? Atau kamu nggak tahu?” isak Nesha.
“Apaan, sih, sensi banget! Gitu aja nangis! Oke deh, selamat ulangtahun! Maaf, ya, Sayang, aku lupa karena sibuk belajar di sini biar bisa lulus dengan nilai bagus nanti! Syukur-syukur kalau ntar bisa masuk MIT dan keluar sebagai wisudawan terbaik biar bisa sedikit nyaingin Mas Louis tersayang, meski bokapku bukan billionaire, sih!”
“Kamu bisa datang ke sini, nggak, sepulang sekolah?” tanya Nesha, berusaha mengabaikan sarkasme Arslan yang sebenarnya cukup menyakitkan hatinya
“ ‘Datang ke sini’ gimana maksudnya?” tanya Arslan sok tidak mengerti.
“Ya, ke sini, ke rumah aku. Lagi nggak ada siapapun di sini. Mungkin kalau kamu bisa datang sepulang sekolah, kita bisa ngerayain ultahku berdua, gitu… “
“Kamu gila, ya?! Kamu lagi ada di negara mana, hah?! Kamu pikir biaya ke sana itu murah?! Kamu kira aku ini Mas Louis yang saking gabutnya kuliah di MIT dan keluar sebagai lulusan terbaik cuman buat jadi tutor privat doang?!”
Airmata Nesha menetes lebih deras.
“Perhitungan banget, sih?! Dulu kamu nggak pernah kayak gini! Tiap hari jengukin di rumah sakit, bawain makan macem-macem, nganterin kemana-mana…”
“Dulu itu biayanya berapa?! Sekarang biayanya berapa?! Mentang-mentang orangtua kamu kaya, bukan berarti aku juga sama! Belum lagi waktu perjalanan ke sana… Aku mau pake alasan apa, terlebih besok harus sekolah?! Ibuku sekarang sudah nggak suka lagi sama kamu! Nggak segampang dulu buat bikin alasan nginep dan segala macam… Udah, deh, nggak usah manja! Sebentar lagi juga Papa Januar dan Mama Izzah datang!”
“Meskipun…” Nesha terbatuk-batuk dan merasa sedikit sesak napas. “Meskipun aku sakit?”
Arslan sedikit tergelak, “Mau pura-pura sakit biar aku datang ke sana? Tetap nggak bisa, ya, Nesha, nggak bisa! Telepon ambulans sono! Udah, ya, aku mau berangkat ke sekolah! Udah mepet banget, nih! Nggak semua orang di dunia ini homeschooling dengan waktu fleksibel seperti kamu!”
Nesha berjuang untuk bernapas agar bisa tetap bicara, “Kenapa sekarang kamu beda banget? Dulu peduli banget sama aku, tapi sekarang bahkan aku sakit pun nggak ngaruh… Udah nggak bisa lagi, ya, berkorban dikit aja untuk aku?! Udah nggak sayang lagi, ya, sama aku?”
“Aku ini sampai bela-belain keluar dari sekolah yang lama demi kamu! Sampai hari ini pun masih kucing-kucingan di belakang ibuku demi tetap jadi pacar kamu! Bahkan sekarang saja aku ngelewatin sarapan demi nemenin kamu yang nangis nggak jelas gara-gara satu foto teman cewekku dan ultah yang aku kelupaan! Kurang apa lagi aku berkorban buat kamu?! Kamu sendiri berkorban apa buat aku?! Pernah kamu ngelakuin hal yang buat aku nyaman?! Setidaknya cari tutor lain yang cewek gitu.. tapi nggak kan?! Selalu harus aku yang mengorbankan diriku untuk kamu! Selalu harus aku yang jadi pahlawan sementara kamu yang jadi tuan putrinya! Dan kalau aku sudah nggak bisa berkorban lagi buat kamu, maka kamu akan mulai play victim seolah jadi pihak yang paling menderita! Kamu pikir aku ini budak kamu atau gimana, ya?!” omel Arslan.
Tangis Nesha makin keras mendengar tuduhan-tuduhan itu.
“Udah, ah, aku harus berangkat ke sekolah dulu! Jadi telat, deh, gara-gara kamu! Tapi belum puas juga, kan, ya, kalau aku belum berenang ke Inggris sana sekarang juga demi meraih cintamu?! Dasar!”
Arslan memutuskan sambungan telepon, membuat Nesha hanya bisa terus tersedu dengan napas yang makin memburu.
Kenapa ini?
Bukannya dia rajin minum obat dan tidak pernah kecapekan?
Atau karena terlalu stres berbicara dengan Arslan tadi?
Nesha berusaha meraih obat-obatannya di atas nakas, tapi karena terburu-buru, jadinya ia malah menyenggolnya hingga botol-botol kaca itu justru jatuh dengan suara keras ke lantai dengan isi yang berhamburan.
“MS. SMITH! MS. SMITH!” Nesha memanggil pengurus rumahnya namun tidak ada jawaban. Lantas ia sadar bahwa Ms. Smith tidak tinggal secara permanen di rumah ini. Dia hanya akan berada di sini antara jam delapan pagi sampai jam delapan malam, sementara sekarang masih jam enam pagi, yang berarti sedang tidak ada siapapun di rumah ini.
Menjadi semakin panik, Nesha menelepon papanya, namun ternyata sedang tidak ada jaringan. Mama barunya juga sama. Memangnya keduanya sedang kemana? Naik gunung, snorkeling, atau menjelajah hutan, mungkin, sampai tidak bisa dihubungi?
Akhirnya Nesha memilih untuk menghubungi Mr. Jorissen. Teleponnya agak lama tidak diangkat, tak seperti biasanya, namun akhirnya tersambung juga.
“Mas Louis, untunglah…” desah Nesha lega.
“Ada apa, Nesha? Penting banget, nggak? Saya sedang bernegosiasi dengan para polisi di sini untuk membebaskan adik saya dari penjara!”
“Penting banget, Mas, tadi…”
“Kamu nangis? Arslan lagi, ya?” potong Mr. Jorissen.
“Iya, sih, tapi…”
“Nesha, saya sedang tidak ada waktu untuk mendengarkan curhat kamu tentang Arslan sekarang, oke?!”
“Tunggu, Mas, ini penting sekali karena…”
“APAPUN YANG TERKAIT ARSLAN TIDAK LEBIH PENTING DARI KESELAMATAN ADIK KANDUNG SAYA! JANGAN GANGGU SAYA LAGI!”
Teleponnya tiba-tiba terputus dan Nesha mencoba menghubungi Mr. Jorissen lagi tapi kini nomor itu sudah tidak aktif. Padahal ia baru mau memberitahu tutornya itu bahwa sekarang dirinya sedang sakit, obat-obatannya hancur, dan tidak ada siapapun yang bisa membantunya. Ia merutuki kebodohannya yang mengaitkan masalahnya dengan Arslan sehingga mengarah pada kesalahpahaman antara dirinya dan Mr. Jorissen.
“Bagaimana ini? Bagaimana ini?”
Haruskah ia menelpon ambulans?
Tapi daerahnya ini adalah desa yang cukup terpencil di wilayah perbatasan, kira-kira berapa lama ambulans akan menjemputnya? Bagaimana ia akan mengurus administrasinya sendirian tanpa didampingi siapapun? Biasanya akan selalu ada seseorang yang membantunya dalam situasi yang seperti ini…
“Mama…”
Tiba-tiba ia teringat ibunya yang sudah meninggal dan segala kesedihannya yang dulu seakan kembali lagi, ditambahi kerumitan situasinya sekarang, membuatnya serasa tak kuat lagi menjalani hidup ini. Sebuah gunting yang tergeletak di atas meja membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya seperti beberapa bulan yang lalu. Toh sekarang sedang tidak ada siapapun, mungkin akan berhasil dan ia akan segera menyusul mamanya ke surga dengan bahagia….
“Kamu pikir orang bunuh diri itu bisa masuk surga? Dalam hadist-hadist shahih, orang yang membunuh dirinya sendiri akan dihukum berat di dalam neraka, bukan lantas dapat fasilitas VIP masuk surga lewat jalan tol!”
Kata-kata Mbak Izzah mendadak terulang kembali di dalam benaknya dan ia jadi ketakutan. Bagaimana kalau ia justru masuk neraka gara-gara perbuatannya ini? Niat awalnya yang tadinya ingin jadi bahagia, malah bisa jadi berakhir makin melarat. Bahkan siksaannya kali ini bisa jauh lebih lama dan lebih dahsyat dari segala permasalahannya di dunia fana ini. Apa ia akan sanggup melewatinya?
Apa yang harus dilakukannya?
Suara Mbak Izzah kembali terngiang di telinganya.
“Coba berdzikir, sholat dan baca Al-Qur’an. Insya Allah, akan turun ketenangan dalam diri kamu…”
Ia sedang tidak bisa sholat atau baca Al-Qur’an dengan kondisi tubuh yang begini, tapi kalau dzikir mungkin masih bisa. Dulu Arslan pernah mengajarkan dzikir “subhanallah” di mushola sekolah dan itu berhasil membuatnya lebih tenang, mungkin sekarang juga sama?
Nesha pun mencoba untuk berdzikir dengan kepasrahan yang total karena sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan dan tidak ada lagi orang yang bisa ia hubungi untuk membantunya saat ini.
Saat berdzikir, ia pun memikirkan berbagai kemungkinan terburuk termasuk meninggal sendirian di atas ranjang saat ini juga, sehingga air matanya mengalir, namun ia memaksakan diri untuk terus berdzikir. Tanpa terasa, matanya memberat dan ia pun jatuh tertidur sebelum sempat melakukan tindakan apapun lagi.
***