CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #2

HARI NORMAL

Auglis tengah bersiap untuk tidur ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan. Gadis delapan belas tahun itu segera menanggalkan selimut dan mencari sandalnya, Kemudian ia menuju pintu depan. Auglis melirik jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

Dengan mata yang telah menyipit, Auglis mengintip dari balik tirai jendela. Seorang lelaki berambut hitam tengah berdiri dengan koper besar di samping kakinya. Mata Auglis mendadak terbuka maksimal. Wajah suntuknya pun berubah ceria, seolah ia baru saja mendapati nomor tiket lotrenya menang.

Tentu saja gadis itu senang. Yang tengah berdiri di depan pintu adalah pelitanya; orang yang selama ini mendengarkan seluruh curhatan hatinya, menyiapkan sarapan paginya, menceritakan kisah-kisah fairytale sebelum tidur bahkan orang itulah yang selalu memeluknya ketika ia bersedih seumur hidupnya.

Auglis memutar knob pintu dengan cepat. Bibirnya tersungging lebar. Begitu pintu terbuka, ia langsung menghambur ke arah tubuh itu.

“Ayah!” pekik gadis itu. Ia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

“Halo, Gadis Kecilku!” lelaki itu, Helvin, balas memeluk putrinya erat.

“Kupikir Ayah baru pulang besok,” ucap Auglis manja. Segera ia menarik ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.

“Ya, tadinya begitu. Tapi ayah tak sanggup menahan rindu semalam lagi untuk bertemu putri ayah yang cantik.” Helvin mencolek hidung mancung putrinya.

“Yang benar?” ledek Auglis.

“Ya. Mana bisa ayah tahan lama-lama jauh darimu?” Helvin mengusap-usap rambut Auglis, kemudian ia menarik koper dan membukanya. Tangannya sibuk mencari sebuah benda yang tersimpan di bawah tumpukan baju kotornya. “Tebak. Ayah bawa apa?”

Auglis menempelkan telunjuknya pada dagu kemudian mengetuk-ngetukannya. “Apa…, ya?” Matanya menerawang seolah melihat sesuatu. “Karena Ayah baru saja pulang dari Ykaten…, jadi, mungkin itu… makanan khas dari sana?”

Helvin memandangi Auglis tanpa berkedip. Ia membiarkan putrinya menebak apa yang ia bawa dari kota itu. Wajah Auglis selalu mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia cintai. Mata hitam itu berkerlip perak ketika mengingat wanita pujaannya dari wajah putri semata wayangnya. Dan, hati Helvin selalu hangat ketika mengingat wanita itu. Seperti orang kelaparan yang mendapatkan sepotong roti hangat, atau seekor ikan di akuarium yang menyentuh sejuknya air lautan bebas. Helvin cukup bahagia hanya dengan mengingat harum tubuh si wanita pujaannya yang seperti bunga lily serta halus rambutnya yang terurai panjang.

“Jadi, itu apa, Ayah?”

Suara Auglis menyadarkan Helvin. Semua bayangannya tentang wanita itu—ibu dari putrinya—pudar. Lelaki itu tersenyum lembut. “Kau akan menyukainya, bukalah….”

Helvin memperhatikan bagaimana raut wajah Auglis yang penasaran berubah kaget ketika ia membuka tas kertas yang barusan ia sodorkan. Ia melihat pelangi mengelilingi putrinya yang kini tengah tersenyum ceria.

“Anggrek hitam!” Auglis memeluk ayahnya lagi. Ia tak bisa percaya akan mendapatkan sebuah bros cantik berbentuk anggrek hitam, bunga favoritnya. “Bagaimana ada benda seperti itu di sana?”

“Kata pedagangnya, di sana memang terdapat beragam jenis anggrek. Mereka bahkan menjual beberapa tanaman aslinya.”

“Beruntung sekali!” seru Auglis girang.

“Ayah bawa yang lain.” Helvin bangkit dan membuka pintu depan lebar-lebar. 

“Apa itu?” Auglis mengekor ayahnya ke luar. Sesampainya di sana, mulutnya terbuka lebar. “Waow!”

“Untuk ayah juga…,” ujar Helvin seraya membuka satu kotak kayu yang berisi beberapa tanaman. “Ini semua bunga-bunga yang langka.”

“Apa ini tidak berlebihan?” tanya Auglis seraya menyambar satu dari Helvin. “Semuanya akan jadi saudariku? Mereka pasti cantik kalau sudah mekar.” 

Lihat selengkapnya