CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #3

PANDANGAN PERTAMA

Semuanya gelap. Pekat. Tak ada satu pun yang terlihat. Tiba-tiba secercah cahaya muncul berkelebat, berkilat-kilat terang hingga warna-warna bermunculan. Mula-mula putih, kemudian biru menyapu angkasa. Hijau membentang di daratan bersamaan dengan kemunculan warna-warna lain. Suatu makhluk tercipta dari terangnya cahaya. Lainnya muncul dari tanah, air, angin, serta api. Para cahaya kemudian mengalami perpecahan sehingga lahirlah para makhluk cahaya yang menyerah pada gelap. Kegelapan menyaksikan semua itu. Mereka berbagi ruang dengan para makhluk baru yang mewarnai dunia mereka, Umbrya.

Umbrya adalah dunia dengan dataran yang berbentuk elips, cenderung lonjong. Di sebelah barat adalah dataran tandus yang di ujungnya terdapat lautan dengan air yang curam seperti air terjun. Di timur terdapat pegunungan tinggi yang subur. Dengan sumber cahaya mereka yang diam di tengah, gunung itu menciptakan bayangan dengan area yang cukup luas. Sementara batas dunia itu di sisi utara dan selatan adalah jurang yang sangat curam dan dalam. Jurang di selatan lebih dikenal sebagai Lembah Sunyi, tempat yang sarat akan kejahatan dan kekejaman.

Tak ada matahari yang terbit atau tenggelam di dunia itu. Sumber cahaya mereka statis, bergeming dari waktu ke waktu. Satuan waktu menjadi sesuatu yang abstrak. Namun, mereka yang menghuni Umbrya bukanlah makhluk primitif. Mereka cukup cerdas untuk menentukan satuan waktu dengan bintang-bintang.

Pertumbuhan mereka bisa dibilang unik. Sejak lahir hingga usia remaja, pertumbuhan mereka selayaknya manusia. Namun, pertumbuhan mereka melambat ketika menginjak usia dua puluh tahunan, seolah mereka immortal. Makhluk-makhluk itu awet muda dan panjang umur. Umur mereka bisa mencapai rata-rata tujuh abad lamanya.

Para makhluk di sana pun berkembang dengan kemampuan masing-masing. Makhluk cahaya menguasai elemen cahaya, makhluk air menguasai air dan seterusnya. Adalah Kaum Gelap, makhluk yang paling tidak diuntungkan karena ketiadaan malam hari. Mereka hanya bisa menghuni daerah bayangan tanpa pernah menikmati kebebasan penuh dengan kegelapan.

***

Helvin berdiri mematung melihat kilat yang berkelebat di langit. Ia menghampiri mereka sembari tersenyum. Kaum Gelap sepertinya memang terbiasa mendampingi kaum Petir yang ingin turun ke daratan. Helvin mendekati salah seorang kaum Petir yang tengah menunggangi awan. Dengan cekatan ia bersembunyi di bawah awan.

“Kau yang di bawah sana, lebih baik segera turun. Aku akan ke tempat yang jauh. Salah-salah kau bisa tersesat di sana nanti,” ucap si penunggang awan.

Helvin tak menggubris perkataan lelaki Petir itu. Ia terus menempel di awan yang membawanya terus terbang menjauh ke utara. Melewati gunung-gunung tinggi yang belum pernah dilihatnya; melewati jurang-jurang yang terjal dengan bebatuan di bawahnya; melewati sungai-sungai yang meliuk-liuk, bercabang kemudian meliuk lagi dan bertemu dengan anak sungai lainnya.

Hati Helvin menciut, ia tak tahu lagi ada di mana sekarang. Sebelum si lelaki Petir membawanya lebih jauh, Helvin memutuskan untuk turun. Ia melompat ke bawah, menyusup di antara bayangan ranting-ranting yang tipis. Pohon-pohon di daerah itu tak memiliki daun. Hanya ranting-ranting kecil yang tipis berwarna hijau keunguan. Hati-hati ia melangkah agar tidak terkena sinar bulatan bercahaya di langit. Sepertinya daerah itu berada tepat di bawah bulatan hitam bercahaya yang ada di langit sehingga lingkungannya lebih terang dari daerah lain.

“Hei, kau siapa?”

Helvin menoleh ke arah suara itu. Warna hitam kulitnya memudar. Matanya terbakar cahaya. Helvin menjauh. Seseorang di sana terlalu menyilaukan matanya. Ia segera berlari menuju bayangan pohon terlebar. Hati-hati ia mengintip orang itu.

Bola mata Helvin berbinar melihat bahwa orang itu ternyata adalah seorang gadis manis. Tubuhnya dipenuhi sinar terang. Rambutnya yang tergerai memiliki gradasi langit senja yang memukau. Mata gadis itu sewarna emas dua puluh empat karat. Ketika gadis itu mendekat, Helvin terpesona. Ia menikmati sensasi terbakar di kulitnya setiap kali gadis itu melangkah. Tanpa disadari, kulitnya memucat seperti abu dari pembakaran bambu. 

Gadis itu tertawa tetapi tangannya menghalangi bibirnya yang tersungging. Baru pertama kali ia melihat perubahan warna Kaum Gelap sedrastis itu. Ditambah lagi, wajah Kaum Gelap satu itu tidak seburuk saat kulitnya hitam. Ia pernah bertemu Kaum Gelap yang memucat tapi wajahnya tak setampan yang kini berada di hadapannya.

“Siapa kau?” tunjuk gadis itu pada Helvin.

Helvin tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Alih-alih menjawab pertanyaan si gadis, ia malah terbengong-bengong. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia ditanyai oleh seorang gadis dari kaum lain. Rasa-rasanya keringat mulai bercucuran dari wajah dan lehernya.

“Oh! Maafkan aku,” kata si gadis setelah melihat tubuh Helvin basah. “Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku Verna, salah satu Terang,” sapa gadis bermata emas itu ramah. Ia mengulurkan tangannya.

Ragu-ragu, Helvin menyambut tangan yang terlihat begitu halus itu. “Namaku Helvin, dari kaum Gelap.”

Lihat selengkapnya