“Tunggu di sana. Jangan jauh-jauh,” pinta seorang gadis berjaket merah pada temannya yang berkulit sawo matang.
“Jangan lama-lama,” kata gadis sawo matang itu. Kulitnya sedikit berpendar kekuningan sekilas.
“Ya, Auglis. Aku janji,” ucap gadis berjaket merah sebelum pergi ke balik semak.
Auglis melipat tangan di dada. Sambil menunggu temannya yang sedang buang air, ia melihat sekeliling. Meskipun keadaan hutan itu gelap tetapi mata Auglis dapat melihat jelas setiap bentuk dan gerakan makhluk hidup yang ada di sana. Ada sebuah pohon yang cabangnya banyak dengan daun-daun yang hampir semuanya berguguran. Ada sebuah pohon yang terlihat layu puncaknya karena tersambar petir. Pada dahan-dahannya yang rendah, para semut berbaris rapi mengangkut makanan ke sarangnya. Di samping pohon yang tersambar petir, ada semak belukar yang didiami oleh banyak ulat yang mulai bermetamorfosis menjadi kepompong. Seekor burung hantu berbunyi nyaring pada sebuah cabang pohon yang lain. Di bawahnya, sesosok bayangan manusia tengah berjalan.
“Aku sudah selesai. Ayo, kita kembali ke tenda,” ucap si gadis berjaket merah yang baru saja kembali dari balik semak. “Ada apa?” tanyanya melihat Auglis yang bergeming.
“Ada orang di sana,” bisik Auglis.
“Mana? Dimana?”
“Di bawah pohon itu. Kau lihat?” Auglis menunjuk pohon yang dihinggapi burung hantu.
Gadis berjaket merah memicingkan mata dan berjingkat. “Tak ada apapun.”
“Itu….”
Bersamaan dengan suara Auglis, burung hantu pun bersuara. Teman Auglis yang sedikit gemuk itu pun bergidik.
“Itu burung hantu. Ayo kita kembali!” ajak si gadis berjaket merah sembari menarik Auglis agar menjauh dari tempat itu.
Auglis menurut saja ketika temannya itu memaksanya pergi. Sepertinya si jaket merah ketakutan. Namun, Auglis yakin bahwa yang ia lihat tadi bukanlah bayangan dari pohon, semak atau bahkan binatang nokturnal. Itu jelas-jelas siluet seseorang.
Malam semakin larut, acara api unggun telah selesai dua jam yang lalu. Auglis tak segera tidur seperti teman-temannya yang lain yang tidur bersama dalam satu tenda. Gadis itu keluar dari tenda dan melihat berkeliling. Terkadang Auglis begitu tertarik pada kegelapan, tepatnya ia suka berada di tengah kegelapan. Sesuatu di dalam dirinya bergejolak ketika gelap melanda dunia. Auglis mengira itu karena kegelapan membuatnya bisa melihat keindahan ribuan bintang yang berkumpul membentuk suatu gugusan dengan kemilau cahayanya yang berwarna-warni.
Auglis duduk di atas sebuah batang pohon yang mati. Tenda-tenda yang dibangun oleh teman-teman dan guru-gurunya menyala seperti lampion raksasa yang berada di ruangan terbuka. Suara-suara dengkuran halus terdengar dari dalam tenda. Auglis mendongak, melihat kumpulan bintang yang membentuk jalur bercahaya yang membentang dari timur ke barat. Mereka berkelip dan perlahan, sangat pelan, bergerak semu. Beberapa gugus bintang juga terlihat berkilau. Tanpa garis penghubung seperti yang sering tergambar di peta bintang, tentu saja. Pemandangan yang indah itu tak bisa Auglis lewatkan meskipun sudah kebiasaannya untuk memandangi langit malam hari dari jendela kamarnya ketika langit malam cerah selama berjam-jam, membayangkan bahwa ibunya berada di antara ribuan kilau cahaya indah itu.
Ketika Augllis bangkit dari duduknya setelah puas memandangi langit, ia dikagetkan oleh bayangan hitam yang berkelebat di antara tenda-tenda. Auglis hampir terjatuh karena kaget. Akan tetapi, alih-alih menjerit, ia justru membungkam mulut dengan tangannya sendiri.
“Siapa? Siapa di sana?” bisik Auglis. Ia ingin berteriak agar sosok itu mendengarnya, tetapi ia tak hendak membuat seisi perkemahan terbangun karena suaranya.
Perlahan, Auglis mendekati tenda kecil di ujung., tempat sosok tadi menghilang, atau bersembunyi. Ia berjinjit pelan seolah sosok itu akan kabur jika ia bersuara sedikit pun. Dua meter lagi Auglis sampai di tenda kecil itu, tetapi bayangan hitam kembali berkelebat. Kali ini bayangan itu lari menuju batang pohon yang tadi ia duduki. Sedikit kesal dan merasa dipermainkan bayangan itu, Auglis berlari secepatnya, takut kalau-kalau bayangan itu kabur lagi.
Auglis celingak-celinguk melihat di antara pepohonan dan semak ketika ia telah sampai di batang pohon mati yang tadi sempat ia duduki. Ia tak melihat sosok bayangan itu dimana pun. Gadis itu merapatkan gigi dan mengepalkan tangan. Dia lolos.
Dengan hati kecewa, Auglis berbalik dan hendak menuju tendanya.
“Mencariku?”
Suara seorang lelaki membuat mata Auglis melebar. Dia ada, benar-benar ada. Auglis berbalik dan mendapati seorang laki-laki tinggi memakai baju serta celana hitam tengah menatapnya. Mata laki-laki itu adalah satu-satunya yang dapat Auglis lihat dengan jelas. Walaupun, warna mata lelaki itu juga hitam.
Bibir Auglis bergerak-gerak tetapi tidak ada suara yang keluar. Tubuh Auglis merinding ketika dilihatnya lelaki itu berjalan ke arahnya. Gadis itu menelan ludah dan bergerak mundur satu langkah. Kaki Auglis seolah terpaku di tanah. Kakinya mengkhianati otaknya yang memerintah sepasang kaki itu agar pergi menjauh dari sana. Anehnya, meskipun takut setengah mati, Auglis merasa bahwa lelaki itu bukanlah ancaman.
“Kau manusia?” tanya lelaki itu. Suaranya terdengar agak kaku.