CAHAYA HITAM

Keita Puspa
Chapter #6

PERLINDUNGAN

Kabut putih menyelimuti puncak bukit tempat Dusun Awan berdiri. Atap-atap rumah kayu bergemerincing disapu angin, sesekali petir kecil menyambar di kejauhan, pertanda bahwa kaum Petir sedang berjaga.

Seorang tetua Gelap berjalan paling depan, tubuhnya yang bungkuk berusaha menegak meski lelah. Di belakangnya, puluhan kaum Gelap yang tersisa berjalan dengan wajah kusut. Mata mereka cekung, seolah cahaya siang yang baru-baru ini hadir di Umbrya menjadi siksaan tersendiri.

Di gerbang, Kauhi berdiri tegap bersama para prajurit Petir. Rambutnya yang panjang berwarna perak ikut bergetar diterpa energi listrik di udara. Tatapannya tajam, penuh keraguan.

“Hitma,” suara Kauhi berat, “apa yang membuat kalian datang ke tanah kami? Bukankah kalian yang dulu menolak semua ikatan dengan kami?”

Hitma, si wanita tua menundukkan kepala, sesuatu yang jarang sekali dilakukan oleh tetua Gelap. “Kami tidak punya tempat lagi. Helvin tidak ada. Arsen juga tiada. Kaum kami tercerai-berai. Sekarang kami… meminta perlindungan dari kalian.”

Bisik-bisik terdengar dari prajurit Petir. Beberapa mengangkat senjata, sebagian lain menahan diri. Kauhi mengerutkan alis. “Perlindungan? Setelah kegelapan kalian hampir menelan Umbrya? Bagaimana aku bisa percaya?”

Ketegangan merambat, udara makin penuh listrik. Saat itulah seorang tetua Petir melangkah maju. Rambutnya biru elektrik, kulitnya berkeriput, namun matanya menyimpan kilat kebijaksanaan. Ia menyentuh bahu Kauhi. “Kauhi,” ucap sang tetua lembut, “ingatlah pesan nenek moyang kita. Ketika salah satu kaum roboh, yang lain harus menopang, agar Umbrya tidak hancur. Jika kita menolak mereka, kita hanya mempercepat runtuhnya keseimbangan.”

Kauhi terdiam, menatap Hitma yang tetap menunduk dengan genggaman tangan mengepal. Ia bisa melihat betapa rendah hati sekaligus putus asanya permohonan itu. Akhirnya Kauhi menghela napas panjang setelah beberapa saat merenungkan ucapan Kakano. Petir yang menari di tubuhnya perlahan mereda.

“Baiklah. Kami akan menampung kalian di Dusun Awan. Tapi ingat, Hitma… tanggung jawab kaum Gelap kini ikut berada di pundakku. Satu kesalahan, dan aku sendiri yang akan mengusir kalian.”

Hitma mengangkat wajahnya. Ada rasa lega bercampur perih. “Kami akan mematuhi kalian, Kauhi.”

Kaum Gelap yang tersisa pun akhirnya melangkah masuk ke Dusun Awan membawa serta bayangan mereka ke tengah cahaya kilat yang baru. Mereka melewati gerbang dan mulai melangkah menaiki satu per satu awan putih yang terus naik ke udara. Sesuai namanya, Desa Awan berada di atas awan. Rumah-rumah di bukit hanyalah rumah singgah untuk para prajurit Petir yang bertugas.

"Bukankah anak itu selamat?" Kakano mendekati Hitma dan berbicara sangat pelan. "Maksudku anak Arsen. Kenapa dia tidak ada?"

Hitma mengangguk lemah. "Dia kuperintahkan untuk menemukan Helvin."

Mata Kakano melebar mendengarnya. Tetua Petir itu membelai janggut panjangnya pelan. "Apakah kalian akan menggunakan Lubang Hitam?"

"Jika harus, maka kami akan menggunakannya, Kakano. Terang sudah bertindak melampaui batas." Hitma berhenti bergerak dan memandang lurus Kakano. "Kudengar mereka juga membuunuh kaum mereka sendiri."

Lihat selengkapnya